Rezim Myanmar Tutup Akses Internet Wilayah Rakhine
Serangan itu terjadi hanya dua hari setelah Pengadilan Internasional di Den Haag memerintahkan Myanmar untuk melindungi Rohingya dan mencegah terjadinya genosida
RAKHINE— Seiring serangan artileri yang dilancarkan rezim Myanmar terhadap sebuah desa Rohingya, pemerintah menutup layanan internet di Rakhine tanpa sepengetahuan militer. Aktivis mengecam kebijakan itu telah mempersulit penyaluran bantuan kemanusiaan.
Myanmar kembali menutup akses internet di dua negara bagian, Rakhine dan Chin, hanya lima bulan setelah mencabut pembatasan internet di wilayah yang sama. Perintah penghentian layanan yang diberikan operator, antara lain sebuah perusahaan Norwegia bernama Telenor Group, yang kemudian membocorkannya ke publik.
Dalam waktu dekat akses internet dan komunikasi seluler di lima daerah di negara bagian Chin dan Rakhine akan diputus selama setidaknya tiga bulan. Pemerintah Myanmar beralasan kebijakan tersebut diperlukan atas dasar “keamanan dan kepentingan publik”, tulis Telenor. Penutupan internet di empat wilayah lain yang berlaku sejak Juni tahun 2019 juga belum akan dicabut.
Awalnya Naypyidaw membuka akses internet di Maungday, Buthidaung, Rathedaung dan Myebon menyusul negosiasi damai dengan kelompok separatis pada September 2019 lalu. Anehnya, kata Juru Bicara Tatmadaw Tun Tun Nyi, kebijakan tersebut diambil tanpa melibatkan militer. “Kami tidak tahu dan belum mendengar kabar tersebut,” ujar Tun Nyi ketika dihubungi Reuters.
Langkah pemerintah menghentikan layanan internet dan komunikasi seluler itu diambil menyusul eskalasi kekerasan di kedua negara bagian tersebut. Sebelumnya dua orang perempuan tewas dan tujuh lain mengalami luka-luka ketika sebuah desa milik warga Rohingnya dihujani tembakan senjata artileri.
Militer Myanmar menepis tudingan mereka berada di balik insiden tersebut. Serangan itu terjadi hanya dua hari setelah Pengadilan Internasional di Den Haag memerintahkan Myanmar untuk melindungi Rohingya dan mencegah terjadinya genosida.
Lebih dari 730 ribu warga Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari Rakhine pada 2017 silam menyusul operasi militer yang digelar Tatmadaw. PBB menuduh operasi tersebut dijalankan dengan niat melakukan genosida, tulis pemantau PBB dalam laporannya.
Belakangan Rakhine kembali membara ketika pertempuran antara Tatmadaw dan kelompok separatis Arakan Army, memuncak. Akibatnya puluhan ribu penduduk mengungsi dan belasan dinyatakan meninggal dunia.
Anggota legislatif dari kawasan yang terkena dampak penutupan akses internet mengatakan kebijakan pemerintah berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi. Selain itu penyaluran bantuan kemanusiaan ke desa-desa terpencil juga terancam berhenti. “Sebagian penduduk desa harus mengungsikan diri ketika pertempuran terjadi,” kata Khin Saw Wai, anggota parlemen dari Rathedaung. “Kami bisa menolong mereka jika kami membaca pengaduan mereka di Facebook, entah itu membutuhkan makanan atau sedang dalam bahaya.”
Anggota parlemen lain, Maung Kyaw Zan, juga mengritik pemerintah karena penutupan internet “tidak bagus buat Rakhine,” terutama jika melihat dampak pertempuran yang kian membebani warga sipil.
“Tanpa internet, warga akan kesulitan mengakses informasi,” kata Aung Marm Oo, pimpinan redaksi sebuah situs berita online di Rakhine. “Penutupan akses internet berdampak buruk bagi jurnalisme. Buat kami internet adalah sangat penting untuk mengirimkan data video atau gambar untuk pemberitaan kami,” kata dia. [DW/reuters]