Saat Turis Cina Pergi, Pariwisata Pun Seolah Mati
Target kedatangan turis asing pada 2020 lalu dipangkas menjadi antara 2,8 juta dan 4 juta, turun dari 18 juta pada 2019. UNWTO memperkirakan, kondisi akan ‘normal’ kembali paling cepat 2023
JERNIH–Pirates Cafe, di kota tepi pantai Manado di Provinsi Sulawesi Utara, pernah dipenuhi dengan tawa dan celoteh dari sekelompok turis Cina yang biasanya memesan berbagai makanan seafood dalam sekali makan.
“Kafe kami berfokus pada turis Cina sehingga turis dari negara lain jarang datang ke sini. Kadang ada beberapa turis lokal dari Manado berkunjung,” kata Chris Pattiselano, pengelola restoran. “Orang asing biasanya ingin mencoba banyak hal di menu kami, sementara penduduk setempat hanya memesan satu item.”
Sekitar 115.000 wisatawan Tiongkok mengunjungi Manado pada tahun 2019. Angka itu meningkat delapan persen dari tahun sebelumnya, berkat penerbangan langsung dari Cina ke kota yang merupakan tempat Taman Laut Nasional Bunaken yang kaya akan terumbu karang dan hotspot scuba-diving, berada. Mereka meningkatkan pendapatan bisnis perhotelan seperti Pirates Café. Tetapi tanpa turis, sektor ini sekarang menderita dan bengong dalam ketidakpastian.
“Pendapatan kami turun karena pandemi Covid-19,” kata Pattiselano, 46 tahun. “Pada awal pandemi, kami memberhentikan hampir semua pekerja kami. Saya tidak tahu apa rencana kami ke depan karena situasinya belum kembali normal.”
Harapan yang meredup dari Pattiselano beresonansi dengan banyak pemangku kepentingan di industri pariwisata Indonesia yang bernilai 19,8 miliar dolar AS. Kedatangan turis asing pada Oktober tahun lalu hanya mencapai 158.000, penurunan 88,25 persen dari Oktober 2019. Indonesia telah memangkas target kedatangan turis asing tahun 2020 menjadi antara 2,8 juta dan 4 juta, dari 18 juta pada 2019.
Bukan hanya Indonesia yang merasakan kesulitan. Organisasi Pariwisata Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan pariwisata internasional turun lebih dari 70 persen pada tahun 2020, turun ke level 30 tahun yang lalu. Pada periode Januari-Oktober tahun lalu, UNWTO memperkirakan bahwa dunia kehilangan pendapatan ekspor pariwisata sebesar 935 miliar dolar AS, atau lebih dari 10 kali kerugian yang terjadi selama krisis ekonomi global 2009, karena 900 juta wisatawan membatalkan rencana perjalanan mereka.
Wilayah Asia-Pasifik mengalami penurunan terbesar dalam kedatangan turis asing, yaitu 82 persen. Diikuti Timur Tengah sebesar 73 persen dan penurunan Afrika sebesar 69 persen. UNWTO mengharapkan rebound dalam pariwisata internasional akan terjadi paling cepat tahun 2023.
Yang kian tidak membantu adalah keputusan baru-baru ini untuk memperbarui larangan perjalanan bagi orang asing selama dua minggu pertama bulan ini, karena pemerintah mengkhawatirkan varian virus corona baru yang lebih menular.
Pemerintah pun Ini juga telah memberlakukan persyaratan tes usap Covid-19 untuk semua wisatawan domestik yang ingin menghabiskan liburan akhir tahun di pulau resor Bali, menghancurkan harapan industri untuk meningkatkan pendapatan selama musim liburan.
“Saya berharap, tahun ini prospeknya lebih baik karena pariwisata adalah mata pencaharian banyak orang Bali. Tetapi… pemerintah terus memperketat persyaratan untuk masuk ke Bali,” kata Ida Bagus Purwa Sidemen, direktur eksekutif Asosiasi Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI) di Bali. “Ini mengecewakan bagi banyak operator hotel, tapi kami harus menelan pil pahit ini agar kami semua aman.”
Bagi banyak turis asing, Bali dipandang sebagai hub untuk mengeksplorasi lebih jauh destinasi wisata lain di Indonesia, terutama pulau tetangga Lombok, serta Labuhan Bajo di Pulau Flores, Jawa, serta Manado dan Bunaken. Tempat-tempat ini biasanya ditampilkan dalam brosur yang biasa ditemukan di kantor agen tur di seluruh pulau dan ditawarkan sebagai paket tur “Bali and Beyond“.
Ketika aktivitas pariwisata Bali gagal, begitu pula aktivitas di tempat-tempat itu, kata Syamsul Bahri, ketua Asosiasi Hotel Mandalika Lombok.
“Bali berperan penting bagi pariwisata Lombok. Bali cukup populer di kalangan turis internasional, menurut saya bahkan lebih populer dari Indonesia. Banyak orang tahu Bali tapi tidak tahu tentang Indonesia. Bali juga punya bandara internasional, jadi kalau Bali ditutup, Lombok dan daerah lain juga terkena imbasnya,”kata Syamsul.
Bali menyambut lebih dari 6,2 juta turis asing pada 2019, dengan Australia menyumbang jumlah turis masuk terbesar di lebih dari 1,2 juta. Diikuti Cina dengan 1,1 juta. Diperkirakan 10 juta turis domestik berbondong-bondong ke Bali tahun itu, menurut data pemerintah.
Syamsul mengatakan banyak hotel di Mandalika, kawasan resor pesisir selatan Lombok dan salah satu dari lima tujuan wisata prioritas di Indonesia, sebagian besar melayani wisatawan asing. “Jadi dalam tiga bulan pertama pandemi hampir semua hotel di Mandalika ditutup.”
Pada tahun 2019, Lombok masih belum pulih dari kehancuran akibat gempa bumi berkekuatan 6,9 skala Richter yang melanda pulau itu tahun sebelumnya. “Pandemi tersebut membuat kami semakin sulit pulih,”kata Muhammad Thahrir, pemilik restoran Taliwang Kebun Raja di Lombok Barat.
“Dampak gempa 2018 terhadap pariwisata di sini masih terasa hingga musim panas tahun lalu, karena kami masih merasakan gempa susulan lebih awal di tahun 2020,” kata Thahrir. “Pendapatan restoran saya pada 2019 sudah turun sekitar 30 persen, dan tahun lalu jauh lebih rendah lagi karena pandemi. Saya hanya menghasilkan sekitar 10 persen dari pendapatan tahun 2018, dan karyawan saya berubah dari 18 orang menjadi hanya dua.”
Pemerintah Indonesia telah menyatakan optimisme bahwa sektor ini akan meningkat secara bertahap, dibantu oleh wisatawan domestik.
“Perekonomian kita telah terpukul, terutama sektor pariwisata. Tetapi jika melihat data, ketergantungan kita pada wisatawan asing kurang dari 20 persen, kata Odo Manuhutu, wakil menteri koordinator pariwisata dan ekonomi kreatif di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Penanaman Modal, pada webinar yang diadakan oleh Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia.
“Orang mungkin takut pada tahap ini untuk bepergian lewat udara, tapi sekarang mereka bepergian dengan mobil… dan inilah yang kami lihat di Jawa,” kata Odo. “Orang lebih banyak bepergian dengan mobil dari Jakarta ke Semarang, ke Yogyakarta, atau dari Medan ke Danau Toba dan sebagainya. Kita diberkati karena memiliki pasar yang besar, dan pasar domestik membantu untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Prospeknya positif.”
Menteri Pariwisata Sandiaga Uno yang baru dilantik Selasa pekan lalu, mengatakan pariwisata negara akan mulai pulih tahun ini—dengan atau tanpa vaksinasi.
“Tahun 2021 adalah momentum untuk memulai pemulihan pariwisata kita, tetapi kita perlu disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan berdasarkan empat syarat yaitu kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan,“kata Sandiaga kepada wartawan. “Kita tidak perlu menunggu vaksin tetapi harus mematuhi aturan seperti memakai masker, cuci tangan, dan menjaga jarak.”
Namun, tidak semua pelaku industri menggantungkan harapan pada wisatawan domestik yang umumnya lebih hemat dan lebih pendek tinggal di hotel dibandingkan dengan wisatawan asing.
“Sejujurnya, turis domestik cenderung banyak menawar dan mengharapkan layanan yang sama seperti yang ditawarkan oleh jasa perjalanan dengan tarif lebih tinggi. Banyak dari mereka menggunakan kendaraan sendiri untuk perjalanan darat, sehingga hanya sedikit dari mereka yang menggunakan jasa biro perjalanan,”kata Budijanto Ardiansjah, wakil ketua Asosiasi Agen Perjalanan Wisata Indonesia.
“Turis asing lebih siap. Mereka memiliki sikap “Anda membayar harganya, Anda dapatkan layanannya.” [South China Morning Post]