Synchronize Festival 2025: Saling Silang, Satu Dekade Merayakan Musik dan Seni Indonesia

Synchronize Festival 2025 bukan sekadar konser tiga hari, tapi perayaan sepuluh tahun perjalanan musik Indonesia modern. Ia adalah bukti bahwa kreativitas bisa tetap idealis di tengah komersialisasi, bahwa musik masih bisa menjadi ruang dialog.
JERNIH – Kendati gegap gempita festival musik terus menjamur di Indonesia, Synchronize Festival 2025 kembali menegaskan posisinya bukan sekadar panggung hiburan, melainkan ruang perayaan budaya dan kolektivitas. Bertempat di Gambir Expo, Kemayoran, pada 3–5 Oktober 2025, edisi ke-10 ini mengusung tema besar “Saling Silang” — simbol dari pertemuan lintas generasi, lintas genre, dan lintas dunia kreatif.
“Saling Silang adalah perayaan pertemuan. Musik bukan hanya tentang bunyi, tapi tentang bagaimana kita saling bertemu dan berbagi semangat,” ujar Kiki Aulia Ucup, direktur festival Synchronize, saat konferensi pers pembukaan.
Seperti angka Romawi X yang menjadi ikon tahun ini, dua garis yang berpotongan melambangkan pertukaran dan persilangan gagasan. Tidak ada batas antara masa lalu dan masa kini; tidak ada jarak antara seni dan musik; tidak ada dinding antara panggung dan penonton.
Sejak pertama kali digelar, Synchronize selalu punya satu semangat yang tak berubah: merayakan musik Indonesia dalam seluruh spektrumnya. Dari dangdut hingga metal, dari pop 2000-an hingga jazz kontemporer, dari musisi senior hingga talenta baru dari skena lokal—semuanya punya tempat di sini.

Namun, edisi 2025 membawa dimensi baru. Festival kali ini menjadi pertemuan besar antara musik dan seni rupa kontemporer, lewat kolaborasi erat dengan kolektif seni ruangrupa, yang sebelumnya dikenal lewat kiprahnya di ajang Documenta Fifteen di Jerman.
Di area Hall D2 JIEXPO, pengunjung bisa menemukan instalasi seni interaktif yang berbicara tentang memori, identitas, dan kebersamaan. Beberapa karya bahkan dibuat langsung oleh para seniman yang berkolaborasi dengan musisi.
“Musik dan seni rupa punya bahasa yang berbeda, tapi keduanya bisa bicara hal yang sama: tentang hidup, tentang manusia, tentang kebersamaan,” kata Ade Darmawan dari ruangrupa, dalam salah satu sesi artist talk.
Selain merayakan seni, Synchronize juga mengusung misi lingkungan lewat gerakan “Green Movement”—mendorong penonton menggunakan sepeda, mengurangi plastik sekali pakai, dan menyediakan area pengelolaan sampah terpadu. Seperti disebut dalam kampanyenya: “Merayakan musik boleh, tapi jangan lupa bumi tempat musik itu berpijak.”
Synchronize vs. Pestapora: Dua Dunia, Dua Jiwa
Nama Pestapora sering muncul sebagai perbandingan utama. Kedua festival sama-sama besar, sama-sama menampilkan ratusan musisi, dan sama-sama jadi barometer semangat kreatif generasi muda. Tapi ada satu perbedaan mendasar: roh di balik panggungnya.
Pestapora adalah pesta. Meriah, padat, dan euforik—sebuah perayaan pop-culture berskala raksasa yang menyatukan semua penikmat musik.
Sementara itu, Synchronize adalah refleksi. Ia tidak hanya menampilkan musik, tapi mengkurasi pengalaman. Ada narasi, ada pesan, ada kesinambungan antara satu panggung dengan panggung lain.
Seorang penonton veteran bahkan sempat berkata di media sosial, “Pestapora bikin kamu joget tanpa berpikir. Synchronize bikin kamu berpikir sambil tetap joget.”
Perbandingan itu mungkin terdengar ringan, tapi tepat. Synchronize punya ritme yang lebih personal—lebih artistik, lebih filosofis. Di tengah festival yang sering menjadi sekadar ajang selfie dan keramaian, Synchronize hadir seperti ruang sunyi di antara kebisingan: introspektif tapi tetap hidup.
Salah satu hal paling memukau di tahun ini adalah keberanian Synchronize menghadirkan musisi lintas generasi dalam format kolaboratif yang tak terduga.

Malam kedua menjadi saksi penampilan langka Guruh Gipsy, proyek legendaris milik Guruh Soekarno Putra dari tahun 1970-an. Di tangan mereka, gamelan bertemu progresif rock, menciptakan lanskap suara yang spiritual sekaligus eksperimental. Banyak penonton muda yang tampak tertegun — sebagian bahkan berbisik, “kayak nonton sejarah hidup.”
Guruh Gipsy berdiri sebagai salah satu karya paling fenomenal dan visioner yang pernah lahir. Dibentuk pada pertengahan 1970-an oleh Guruh Soekarno Putra bersama musisi muda seperti Keenan Nasution, Chrisye, Abadi Soesman, dan Bubi Sutomo, proyek ini melahirkan satu-satunya album mereka, Guruh Gipsy (1977). Album itu dianggap revolusioner karena memadukan gamelan Bali dan Jawa dengan musik progresif rock ala Genesis atau Yes, sebuah eksperimen yang sangat berani untuk zamannya. Bukan hanya soal musikalitas, tapi juga gagasan: bagaimana tradisi dan modernitas bisa saling menyapa, bukan bertabrakan.
Tak kalah mengejutkan, Elvy Sukaesih, sang Ratu Dangdut Indonesia, tampil bersama Tokyo Ska Paradise Orchestra dari Jepang. Tokyo Ska Paradise Orchestra (TSPO) adalah band ska legendaris asal Jepang yang telah berkiprah sejak akhir 1980-an, dikenal dengan gaya energik, aransemen kaya brass, dan kemampuan mereka memadukan berbagai genre seperti jazz, rock, hingga reggae ke dalam semangat ska yang khas. Selama lebih dari tiga dekade, TSPO telah menjadi simbol semangat lintas budaya dan konsistensi musikal yang jarang tertandingi di Asia.
Kolaborasi mereka dengan Elvy Sukaesih di Synchronize Festival 2025 lahir dari semangat itulah — sebuah pertemuan tak terduga antara “Ratu Dangdut Indonesia” dan ikon ska dunia. Ide kolaborasi ini disebut bermula dari inisiatif kurator festival yang ingin menabrakkan dua dunia musik yang berbeda namun sama-sama mengakar kuat di budaya rakyat: dangdut dan ska.

Hasilnya? Sebuah penampilan penuh kejutan dan keceriaan, ketika irama Sekuntum Mawar Merah menari dalam hentakan drum dan trombone, membuktikan bahwa musik sejatinya tidak mengenal batas bahasa maupun genre.
“Musik itu bahasa universal. Nggak penting kamu dari mana, kalau nadanya sama, kamu pasti nyambung,” ujar Elvy sambil tersenyum di akhir pertunjukan.
Lalu ada Letto, yang menghadirkan kejutan dengan membawakan Sandaran Hati versi dangdut—dan sontak penonton ikut bergoyang bersama. Letto benar-benar menyaling-nyilangkan pop dengan dangdut.
Band rock legendaris Jamrud membakar panggung utama dengan energi yang seolah tak lekang oleh waktu, sementara proyek nostalgia Stadium All-Star (Bobby Suryadi, Jacky, Zaldy Gracia) membawa aroma klub legendaris Jakarta era 2000-an ke tengah festival terbuka.
Setiap panggung punya kisahnya, dan setiap kisah punya cara sendiri untuk menyentuh penonton.
Dalam 10 tahun perjalanannya, Synchronize telah melibatkan lebih dari 5.000 musisi dan 700.000 penonton dari seluruh Indonesia. Namun yang membuatnya bertahan bukanlah angka, melainkan rasa memiliki yang tumbuh di antara komunitasnya.
“Synchronize itu kayak rumah. Tiap tahun kita datang bukan cuma buat nonton, tapi buat pulang ke suasana yang kita rindukan,” ujar salah satu penonton yang sudah datang sejak edisi pertama.

Festival ini menolak logika komersial yang hanya mengejar nama besar. Ia justru menumbuhkan musisi independen, memberi panggung untuk kolektif kecil, dan membiarkan penonton menemukan kejutan baru di setiap sudut area.
Mungkin di sinilah letak keajaiban Synchronize: ia tidak hanya menjual musik, tapi pengalaman.
Synchronize 2025 membuktikan bahwa festival musik bisa menjadi ruang hidup budaya, bukan sekadar ajang hiburan. Dalam tiga hari itu, musik berubah menjadi bahasa yang menyatukan. Gamelan bisa bersanding dengan synth, dangdut bisa berdialog dengan ska, dan mural bisa menjadi bagian dari lagu.
Tema “Saling Silang” terasa bukan hanya di panggung, tapi di setiap interaksi: antara musisi dan penonton, antara seniman dan ruang, antara masa lalu dan masa depan.
“Indonesia itu kuat karena keberagamannya. Synchronize hanya cermin kecil dari kekuatan itu,” tutur Kiki Ucup.
Dan benar—di tengah dunia yang semakin terpecah oleh algoritma dan selera, Synchronize menghadirkan sesuatu yang langka: rasa kebersamaan yang nyata.
Lalu, “Musik Indonesia itu seperti langit malam. Ada bintang lama, ada bintang baru. Tapi semuanya bersinar di langit yang sama,” ujar Guruh Soekarno Putra.(*)
BACA JUGA: Dari Gitar ke Orasi: Pestapora 2025 Menolak Diam atas Ketidakadilan