Crispy

Tabuni Cs adalah Tahanan Kriminal Bukan Tahanan Politik

JAKARTA- Sidang terhadap tujuh terdakwa kasus kerusuhan Papua di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur, memasuki babak baru.

Pasca Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan terhadap terdakwa kerusuhan, Buchtar Tabuni, selama 17 tahun penjara, muncul berbagai opini yang nampaknya sengaja dilempar ke publik dengan menyebut Tabuni merupakan korban rasisme, sehingga Tabuni diancam hukuman terlalu lama.

Namun masyarakat Papua nampaknya tidak terprovokasi dengan provokasi tersebut, halmana terlihat dari berbagai pernyataan tokoh di Papua terkait provokasi tersebut.

Seorang pengguna media sosial, J. Kogoya yang juga mahasiswa dan berada di Jayapura ketika rusuh terjadi, menyebut Tabuni dan kelompoknya pantas mendapatkan hukuman seperti tuntutan jaksa.

“Saya rasa ada kelompok tertentu yang bermain dan mencoba melakukan provokasi. Jika itu benar terjadi tentunya mahasiswa sendiri yang akan menjadi korban.”.

Menurutnya kerusuhan yang terjadi pada 2019 lalu cukup membuat seluruh elemen masyarakat geram dan ketakutan. Hal tersebut disampaikannya pasca terjadi aksi penyampaian pendapat oleh Badan Eksekutif Mahasiswa di Auditorium Uncen kemarin (06/06/2020).

Demikian juga Sekjen Barisan Merah Putih (BMP) Jayapura yang Nico Mauri (Sekjen BMP Jayapura) menyatakan bahwa aktor intelektual kerusuhan Jayapura bukanlah tahanan politik.

George Awi, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay, mengatakan bahwa dalang kerusuhan Jayapura bukan tahanan politik. Hal ini mengingat banyaknya kerugian akibat kerusuhan yang terjadi pada Bulan Agustus 2019.

Dari Jakarta, Lestari Moerdijat (Wakil Ketua MPR RI) juga tidak sependapat masalah yang tejadi di Papua dikaitkan dengan rasisme. Sebab menurut Lestari, tidak ada ruang rasisme tumbuh di Indonesia

“Saya tidak sependapat bila masalah-masalah yang terjadi di Papua dikaitkan dengan rasisme. Saya menilai pendapat itu tidak proporsional,”.

Lestari bahkan mengkritisi berbagai pendapat yang bersliweran di media sosial yang menyamakan isu rasisme di Amerika Serikat dengan masalah yang dialami sejumlah warga Papua di Indonesia. Dengan tegas ia menyatakan permasalahan di Papua bukan karena rasisme.

Saat ini sengaja dibangun opini tidak benar untuk mempengaruhi opini publik tersebut, sebab persidangan Tabuni digelar dengan menjadikan Tabuni cs sebagai terdakwa bukanlah kasus rasisme. Tabuni ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan di Jayapura pada tahun 2019 yang lalu.

Pemutarbalikan fakta diduga dilakukan Kelompok United Liberation Nation for West Papua (ULMWP) dan fraksi lain seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Mereka berupaya melakukan propaganda dengan memutar balikkan fakta sehingga ada kekawatiran publik yang awam dengan pelik kasus Papua akan membenarkan Tabuni dan kelompoknya.

Sebelumnya pada bulan Agustus 2019, telah terjadi unjukrasa di kota Jayapura sebagai respon tindakan rasisme mahasiswa Papua di Surabaya. Unjuk rasa yang awalnya  berjalan damai, namun selanjutnya memanas dan berubah menjadi kerusuhan yang menyebabkan pertokoan sepanjang Abepura dan Entrop dirusak oleh massa peserta aksi unjuk rasa, bahkan, Kantor MRP dan Grapari Telkomsel, serta Pelabuhan Jayapura juga dibakar massa aksi.

Kelompok Tabuni dituduh bertanggung jawab dalam kerusuhan di Jayapura dimana dalam aksinya mereka menunggangi aksi demonstrasi lainnya. Akibat kerusuhan tersebut muncul berbagai kekacauan dimana terjadi pembakaran rumah demikian juga kendaraan pribadi banyak yang hangus terbakar. Dampak yang ditimbulkan adalah ekonomi lumpuh total, penjarahan dan juga pembunuhan.

(tvl)

Back to top button