Crispy

Tak Ada Nama Soeharto Dalam Keppres Hari Penegakkan Kedaulatan Negara, Ini Kata Sejarawan

Sementara itu, Sejarawan Andi Achdian mengatakan, polemik Keppres yang tak memuat nama Soeharto bisa menjadi kesempatan memperjelas masalah-masalah dalam sejarah di Indonesia yang masih abu-abu. Juga, bisa menarik minat publik untuk membahas revolusi Indonesia lebih dalam lagi dengan cara objektif.

JERNIH-Dua ornag sejarawan angkat bicara terkait polemik Keputusan Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakkan Kedaulatan Negara yang tak memuat nama Presiden RI ke dua HM Soeharto sebagai pihak berperan dalam peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949.

Senada dengan Menko Polhukam Mahfud MD, Sri Margana, Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada menilai, Keppres sangat berbeda dengan buku sejarah yang mengurai dengan detail peran masing-masing tokoh dalam sebuah peristiwa.

“Kalau mau lihat peran Soeharto, di buku sejarah,” begitu kata dia.

Soalnya, Keputusan Presiden disusun dalam bahasa administratif, ringkas dan representatif.

Mengutip CNN Indonesia, Sri bilang, fungsi dari Keppres tersebut sebagai peneapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara sebagai hajatan nasional dalam membangun nasionalisme dan semangat mengisi kemerdekaan.

“Dan bukan melegitimasi historiografi,” kata Sri melanjutkan.

Menurut Sri, Keppres yang dikeluarkan Presiden Jokowi itu sudah didasari pada sebuah naskah akademik yang disusun para sejarawan profesional dan telah diseminarkan dari tingkat lokal hingga nasional sambil menghadirkan sejarawan akademis lainnya. Dan Hari Penegakkan Kedaulatan Negara, dia bilang didasari serangkaian peristiwa penting pasca proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 sampai Desember 1949.

Serangkaian peristiwa penting itu yakni, kedatangan NICA ke Indonesia pada tahun 1945, pemindahan ibu kota RI ke Yogyakarta tahun 1946, perundingan Linggarjati 10 November 1946, agresi militer Belanda tahun 1947, perundingan Renville 17 Januari 1948 dan agresi militer Belanda II 19 Desember 1948.

Selanjutnya, ada juga peristiwa pendirian pemerintahan darurat RI di Bukittinggi pada 19 Desember 1948, pengasingan Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan beberapa Menteri ke Bangka Belitung pada 1948, SU 1 Maret 1949, perundingan Roem-Royen 17 April 1949, peristiwa kembalinya pemerintahan RI dari Bukittinggi ke Yogyakarta, Konferensi Meja Bundar di Den Haag, pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, bubarnya Republik Indonesia Serikat dan kembalinya NKRI.

Peristiwa-peristiwa inilah yang dijadikan dasar sebagai penegakkan kedaulatan negara, sementara SU 1 Maret 1949, dijadikan penanda Hari Penegakkan Kedaulatan Negara yang didalamnya ada ribuan pelaku sejarah dan ratusan pemimpin utama.

“Ratusan pemimpin-pemimpin utama yang dalam naskah akademik telah disebut sesuai dengan porsinya masing-masing,” kata Sri Margana melanjutkan.

Termasuk nama Letkol Soeharto, Sri bilang tak ada satu pun tokoh yang dihapus dalam sejarah SU 1 Maret 1949 tersebut. Naskah ini, justru menempatkan tokoh-tokoh penting yang dalam historiografi di masa lalu dihilangkan ayau direduksi perannya.

Sementara itu, Sejarawan Andi Achdian mengatakan, polemik Keppres yang tak memuat nama Soeharto bisa menjadi kesempatan memperjelas masalah-masalah dalam sejarah di Indonesia yang masih abu-abu. Juga, bisa menarik minat publik untuk membahas revolusi Indonesia lebih dalam lagi dengan cara objektif.

Sepengetahuan Andi, peristiwa SU 1 Maret 1949 masih bersifat bukti tak langsung dan bukan sumber informasi keras. Sedangkan posisi Soeharto, kesaksiannya berasal dari dirinya sendiri dan tak ada kolaborasi atau pengujian terhadap fakta itu.

“Jadi, setiap fakta atau informasi harus diuji,” ujar Andi.

Makanya, menurut dia dari sisi kajian sejarah tak adanya nama Soeharto dalam Keppres tersebut menjadi peluang bagus untuk menggali informasi lebih terang lagi.[]

Back to top button