CrispyVeritas

Tempe Jadi Pembicaraan di Inggris  

Dari pasar tradisional di Jawa hingga supermarket modern di London, dari camilan goreng sederhana hingga inovasi kuliner internasional, tempe terus menegaskan dirinya bukan sekadar makanan—tetapi warisan, identitas, dan solusi masa depan.

JERNIH – Tempe, kerabat dekat tahu yang berasal dari Indonesia, kini sedang mencuri perhatian dunia. Berbeda dengan tahu yang terbuat dari susu kedelai, tempe dibuat dari kacang kedelai utuh yang difermentasi, menghasilkan tekstur padat dan rasa kaya yang membuatnya begitu istimewa.

Makanan super ini tidak hanya kaya protein dan nutrisi, tetapi juga serbaguna—bisa diiris, diasapi, dimarinasi, digoreng, atau diolah menjadi burger, daging cincang, hingga pengganti bacon.

Tempe (yang di Inggris disebut “Tempeh”) jadi bahan makanan yang ternyata bisa beradaptasi. Ia bisa diolah bersama Bolognese dan hadirlah tempe pasta dish. Lalu ada tempe semur yang dihidangkan mirip dengan steak mahal.

Konsumsi Daging Jenuh

Di Inggris, tren daging tiruan mulai kehilangan pamornya. Burger nabati, sosis vegetarian, dan ayam tiruan tak lagi memikat hati konsumen. Pada 2024, Quorn dan Linda McCartney’s—dua merek besar pengganti daging—mencatat kerugian gabungan hingga 15,7 juta pounds, sementara total penjualan produk sejenis turun 30 juta pounds atau sekitar 6%.

Namun, ini bukan berarti masyarakat kembali berpaling ke daging. Survei Eating Better tahun 2024 menunjukkan konsumsi daging terus menurun selama lebih dari satu dekade: hanya sedikit yang makan daging setiap hari, 61% bersedia mengurangi, dan 24% benar-benar memangkas porsi daging mereka dalam setahun terakhir.

Sebagai gantinya, rak-rak supermarket dipenuhi oleh produk nabati yang lebih “alami”. Penjualan tahu naik 15,3%, sementara tempe mencatat lonjakan menakjubkan. Tiba Tempeh—produsen terbesar di Inggris—mengumumkan kenaikan penjualan 736% dalam setahun, disusul Better Nature dengan peningkatan 128%.

Tempe: Warisan Kuliner Jawa

Meski terasa baru bagi konsumen Barat, tempe bukanlah pendatang baru. Tempe telah menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia selama lebih dari 300 tahun. Referensi tertua tentangnya muncul dalam Serat Centhini pada abad ke-19, meski beberapa sejarawan berpendapat keberadaannya sudah melampaui seribu tahun.

“Tempe sangat penting dalam budaya Jawa,” ujar Petty Elliott, koki Indonesia yang bermukim di Inggris. “Di Indonesia, ia bukan sekadar makanan—ia adalah bagian dari identitas.”

Berbeda dengan tahu yang lembut, tempe menghadirkan tekstur padat, renyah, dan rasa kacang yang kaya. “Tempe punya karakter tanah, sedikit beragi, mirip jamur namun dengan kedalaman rasa yang lebih kompleks,” jelas Dr. Sammie Gill, ahli diet dari British Dietetic Association.

Koki kuliner Lara Lee menambahkan, “Tempe itu seperti spons. Saat dimasak dengan saus atau kaldu, ia menyerap semua rasa dengan sempurna.” Dari irisan goreng renyah, balok asap sebagai pengganti bacon, hingga cincangan dalam bolognese nabati, tempe membuktikan fleksibilitasnya yang luar biasa.

Nilai Gizi: “Superfood” dari Kedelai

Dalam 100 gram tempe terdapat sekitar 20 gram protein—setara dua pertiga dada ayam. Lebih dari itu, tempe kaya akan serat, isoflavon, vitamin B (termasuk B12, yang jarang ditemukan pada pangan nabati), serta prebiotik yang mendukung kesehatan usus.

Proses fermentasi membuat nutrisinya semakin mudah diserap tubuh sekaligus menurunkan zat antinutrisi yang biasa menghambat penyerapan mineral. Tak heran banyak ahli gizi menyebut tempe sebagai “makanan super” alami.

Di Indonesia, tempe paling sering digoreng tipis setelah dimarinasi dengan garam, ketumbar, dan bawang putih—hasilnya adalah camilan gurih nan renyah yang legendaris. Namun, ia juga bisa diolah dalam kuah santan, disiram kecap manis, dimasak dengan sambal, atau diadaptasi ke hidangan internasional seperti taco, salad, hingga pasta.

“Semakin luas permukaan tempe yang digoreng, semakin kaya rasa dan teksturnya,” kata Lara Lee, mengungkap trik “tempe rocks” yang dipelajari dari koki Belanda-Indonesia: menghancurkan tempe menjadi potongan kecil lalu digoreng hingga garing.

Popularitas Baru

Di Indonesia, tempe sempat dianggap makanan kelas bawah. Presiden Soekarno bahkan pernah berujar, “Kita bangsa besar, bukan bangsa tempe.” Namun, seiring kesadaran akan nilai gizinya, status tempe kembali terangkat, bahkan menjadi sumber kebanggaan nasional.

Kini, citra itu menular ke dunia. Konsumen global menginginkan pangan nabati yang alami, sederhana, sehat, dan tidak ultra-proses. Tempe pun hadir sebagai jawaban: lebih murah, lebih bergizi, dan lebih ramah lingkungan dibandingkan banyak alternatif daging tiruan.

Tempe terbukti jauh lebih efisien dalam menyediakan protein dibandingkan daging, dengan jejak karbon yang lebih rendah. Meski sebagian besar kedelai masih diimpor, gerakan “Tempe Indonesia” kini mendorong produksi dengan bahan lokal: kacang hitam, kacang pinto, buncis, singkong, hingga ampas kedelai.

“Meski begitu, kedelai tetap menjadi bahan terbaik,” kata Ross Longton dari Tiba Tempeh. “Ia salah satu kacang paling bergizi dan efisien di dunia.”(*)

BACA JUGA: Obesitas Jadi Isu Utama Malnutrisi Remaja Dipicu Pemasaran Agresif Makanan Ultra-Olahan

Back to top button