Tentang Toegoe dan Depok yang Bukan Dutch Eerste Protestantse Onderdans Kerk

- Komunitas Kristen Togoe disebut mardijker, tapi orang Depok tidak.
- Cornelis Chastelein hanya menyebut satu marga dalam surat wasit untuk budak-budaknya, bagaimana dengan 11 marga lainnya.
JERNIH — Steven Adriaan Buddingh, dalam catatan perjalanan yang diterbitkan tahun 1859 dengan judul Nederlandsche-Oost-Indie Raizen, menyebut Toegoe dan Koeroes sebagai dua kampung komunitas Protestan Portugis. Jarak kedua kampung itu tidak terlalu jauh, dihubungkan jalan setapak yang di kiri dan kanannya terhampar sawah, belantara, pohon pisang, dan kelapa.
Jan-Karel Kwisthout, dalam Mardijker van Toegoe en Depok, sama sekali tak menyebut Koeroes. Alasannya tidak diketahui. Yang pasti, Toegoe adalah permukiman pra-kolonial, yang ditandai oleh banyaknya artefak di desa itu. Ketika VOC memutuskan menyediakan Toegoe sebagai tempat tinggal Mardijker, koloni dagang asal Belanda itu sedang mempersiapkan fase sejarah selanjutnya sebuah bernama Toegoe.
Vinck, Mardijker, dan Gereja Toegoe
Toegoe sebagai pemukiman mardijker muncul tahun 1661, ketika 23 keluarga yang berasal dari Bengali dan Coromandel mendiami tanah itu. E. Niemeijer, dalam Batavia, een koloniale samenleving in de zeventiende, menyebutkan bukan 23 tapi 29 keluarga yang kali pertama datang ke Toegoe.
Muncul perdebatan, apakah VOC memberikan tanah Toegoe kepada keluarga-keluarga mardijker pertama, atau sebaliknya. Kwisthout berkeras para mardijker mendiami dan mengolah tanah VOC untuk batas waktu tertentu. Niemeijer mengatakan 29 keluarga mardijker menerima surat sumbangan untuk tanahnya. Artinya, tanah Toegoe milik mereka untuk dikelola agar bisa membayar pajak dan dapat diwariskan.
Mereka adalah keturunan Portugis. VOC semula tidak menyebut mereka mardijker, tapi Topasses atau zwarte Portugezen, atau Portugis Hitam. Mereka bicara dalam Bahasa Kreole, campuran Melayu Portugis, karena mereka berkembang di Malaka. Setelah VOC menaklukan Malaka, mereka dibawa ke Batavia sebagai budak. Status mardijker disematkan setelah mereka dibaptis menjadi penganut Protestan.
Tahu 1676 jumlah mardijker di Toegoe menjadi 30 keluarga, dan terus meningkat. Tahun 1688, populasi Toegoe bertambah menjadi 211 orang, dan jelang pergantian abad menjadi 263 penganut Protestan di Toegoe.
Tahun-tahun berikut muncul pertanyaan siapa orang Toegoe asli di antara populasi di kampung Kristen itu? Apakah mereka yang berasal dari keturunan 23 keluarga, atau mardijker berikut yang bukan keturunan Portugis-Melayu. Fakta sejarah, seperti dituturkan Kwisthout, memperlihatkan Toegoe kedatangan banyak mardijker non-Portugis sejak kawasan itu dibuka tahun 1661. Mereka adalah orang Tionghoa, Moor atau Muslim asal India, Papangers, dan bahkan warga bebas Jawa dan Eropa. Tidak ada konsensus di antara pakar sejarah tentang hal ini.
Komunitas mardijker di Toegoe berhutang banyak pada Melchior Leydecker, seorang pendeta Zeeland, terutama pada dekade pertama pembentukan komunitas itu. Leydecker mengabdi di Toegoe seraya mengolah sebidang tanah tak jauh dari situ. Atas permintaan 50 keluarga, seorang guru pribumi bernama Dominggo Pietersen dilantik pada November 1676. Bersama Leydecker, Pietersen mengerjakan pembangunan gereja kayu dan sekolah pertama di Toegoe. Inilah gereja pertama di luar tembok kota Batavia.
Gereja itu tak bertahan lama. Leydecker dan Pietersen membangun gereja kedua di lokasi yang sama. Bedanya, ada menara lonceng. Usia gereja kedua juga tak lama, karena Justinus Vinck — landheer Tjilintjing dan pembangun Antjolschevaart — datang ke Toegoe dan meminta izin membangun gereja batu. Pada 10 Juli 1744 izin keluar, dan gereja batu dibangun. Tiga tahun kemudian Gereja Toegoe menjulang dengan gagah.
Vinck tidak hanya membangun gereja, tapi juga memberikan sawah dan uang kepada setiap keluarga, dengan satu syarat; merawat gereja dan kuburan di sekitarnya. Dalam surat wasiat yang ditulis sebelum kematiannya, Vinck meminta agar bunga uang dari aset finansial yang diinvestasikan digunakan untuk membayar gaji guru dan mereka yang bertugas di gereja.
Landheer kaya itu menginginkan kondisi mardijker, terutama dari segi ekonomi, tetap baik. Leydecker, dan semua orang yang menerima amanat itu, menjalankannya dengan baik. Tidak aneh jika populasi mardijker di Toegoe terus bertambah, dan menjadi 800 orang saat Leydecker mengakhiri tugasnya.
Namun, sesuatu yang mengancam identitas komunitas mardijker Toegoe terjadi. Bahasa Kreole, atau campuran Melayu-Portugis, perlahan-lahan menghilang. Sebagai gantinya, penutur Kreol lebih banyak mengucapkan kata dalam Bahasa Melayu. Proses itu dipercepat karena mardijker Toegoe memahami dengan baik dua bahasa; Portugis dan Melayu.
Laporan perjalanan Steven Adriaan Buddingh mengungkap proses ini secara rinci. Ia menyaksikan misa di Gereja Toegoe dilaksanakan dalam Bahasa Melayu, dan terkadang Bahasa Portugis, atau campuran keduanya. Dalam kehidupan sehari-hari, Bahasa Melayu lebih sering digunakan ketimbang Kreol.
Komunitas mardijker Toegoe bertahan melewati zaman. Mereka komunitas Kristen Protestan dengan identitasnya sendiri, yang sangat berbeda dengan Depok. Hanya sedikit dari mereka yang yang mengidentifikasi diri berasal dari 23 keluarga pemukim pertama Toegoe. Sebab, sangat sulit melacak silsilah setiap individu. Di sisi lain, mereka — meski perlahan tapi pasti kehilangan Bahasa Kreol — tetap mempertahankan identitas sebagai komunitas Protestan Portugis.
Depok: Mardijker Sebenarnya
Di awal kemunculannya di abad ke-18, penduduk Kristen Depok sering disebut berasal dari Portugis, seperti mardijker di Toegoe. Frederick de Haan menulis budak-budak Kristen yang dibebaskan di Depok sama sekali tidak bisa berbahasa Portugis, tapi penutur Bahasa Melayu. Namun, seperti halnya penduduk Toegoe, mereka disebut orang Portugis.
Sejarawan L Suratminto menyebut orang Depok sebagai mardijkers dalam arti sebenarnya, yaitu budak-budak Kristen yang merdeka. Namun, orang Depok tidak mengunakan mardijker sebagai sebutan etnis atau budaya karena diragukan keakuratannya. Komunitas Kristen di Depok memiliki sejarah yang berbeda dibanding komunitas Toegoe, meski pada masa VOC keduanya secara resmi disebut mardijker.
Berbeda dengan Toegoe, Depok tidak punya artefak pra-kolonial yang menunjukan tanah itu pernah menjadi permukiman pribumi. Namun, ada bukti yang menyebut wilayah itu — sebelum kedatangan VOC — pernah diduduki orang yang menyebut permukimannya sebagai kadepokan, kata dalam Bahasa Sunda yang artinya tempat tinggal terpencil. Terdapat pula mata air dan danau air tawar di daratan, yang mungkin merupakan tempat suci komunitas pra-Islam.
Pendiri Depok era kolonial adalah Cornelis Chastelein. Sebelum Chastelein mendirikan Depok, ia melakukan penelitian apakah warga Muslim — yang telah ada di Depok saat itu — dapat memperoleh hak atas tanah, apakah penduduk Muslim saat itu adalah keturunan mereka yang melarikan diri usai pengepungan Jakarta di era Jan Peterzoon Coen tahun 1619? Kesimpulannya, tulis Chastelein:
“…tampaknya tidak lebih dari segelintir sampah dan orang-orang busuk lainnya, baik dari Banten maupun Jawa Timur, yang secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi menyerbu wilayah ini dari waktu ke waktu, bermukim dalam jumlah kecil, sehingga wilayah itu menjadi sedikit penduduk.”
Temuan Chastelein ini menjadi alasan VOC memberitahukan kepada direktur perusahaan dagang Belanda itu pada 31 Desember 1748 untuk menyerahkan Depok. Sebelum mendapatkan Depok, Chastelein membeli tanah Seringsing (sekarang Lenteng Agung) tahun 1695. Seringsing terletak 25 kilometer selatan Batavia. Di tempat inilah Chastelein kali pertama membangun landhuis kayu untuk dirinya. Di tanah Depok, Chastelein — kelahiran Amsterdam 1657 — juga membangun landhuis kayu.
Antara 1693-1697 Chastelein membawa budak-budaknya ke Depok untuk membuat ladang tebu, kebun, dan sawah. Budak-budak inilah penduduk pertama Depok. Setelah kematiannya tahun 1714, Chastelein mewariskan Depok kepada budak-budaknya. Ini tertera dalam surat wasiatnya, yang isinya mewariskan tanah Depok kepada 150 budak beragama Kristen sebagai milik bersama. Semua budak; Muslim dan Kristen memperoleh kemerdekaan.
Kebanyakan budak berasal dari Bali, tapi ada juga yang berasal dari tempat lain di Indonesia saat ini. Terdapat pula budak asal Benggala dan orang Jawa asal Surabaya. Mengenai budak asal Surabaya, ternyata bukan orang Jawa. Sebab, orang Jawa tidak diperbudak. Jadi, budak asal Surabaya adalah mereka yang lahir di Surabaya dari rahim budak entah dari mana.
Membebaskan budak bukan sesuatu yang istimewa saat itu. Siapa pun bisa melakukannya. Budak yang dibebaskan biasanya mendapat banyak uang, merasa dekat dengan orang Eropa karena bisa Bahasa Belanda, dan bermalas-malasan. Banyak cerita budak yang dibebaskan bangkrut finansial karena perilakunya dan jatuh miskin.
Chastelein melihat semua itu. Ia membuat syarat lebih rinci kepada budak Kristen yang dibebaskan. Salah satunya, memastikan koloni pertaniannya berumur panjang dan taraf hidup mereka meningkat. Chastelein juga menulis aturan-aturan hidup yang harus dijalani budak-budak Kristen yang telah dibebaskan sesuai ajaran agama.
Masyarakat Agaris Impian
Chastelein menjadikan Kekristenan sebagai landasan gagasan tentang masyarakat agraris yang ia impikan. Ia menyebut budak-budak yang telah di-Kristen-kan dengan sebutan ‘budak Kristen saya’. Ia ingin budak-budaknya hidup mandiri dan berkembang di tanah Depok.
Tidak mudah bagi budak-budak Chastelein mengelola dan memerintah Depok. Alasannya, Depok sangat jauh dari Batavia. Pemuka agama Kristen lebih suka tinggal di dalam tembok kota ketimbang mengunjungi Depok secara berkala. Budak-budak Depok mengatasi situasi ini dengan meminta VOC mengirim imam-imam Protestan secara berkala mengunjungi Depok untuk berdakwah dalam Bahasa Melayu, membaptis, menikahkan pasangan, dan lainnya.
Apakah impian Chastelein akan masyarakat agraris berlandaskan Kekristenan berjalan?
Kwisthout, dengan menyebut sejumlah sumber, menunjukan masyarakat Depok tetap saja jatuh ke dalam kemiskinan dan kemerosotan moral dalam seratus tahun pertama keberadaannya. Gereja kayu yang dibangun tahun 1770 mengalami kehancuran tahun 1792. Orang Depok harus berangkat ke Buitenkerk Portugis di Batavia jika ingin membaptis anak-anak mereka.
Gereja Depok kedua dibangun tahun 1827, tapi runtuh tahun 1836. Berikutnya, dibangun gereja batu, yang dilengkapi rumah pendeta. Keduanya bertahan sampai saat ini, dan menjadi kantor Yayasan Cornelis Chastelein. Setelah itu gereja direnovasi secara teratur dan terpelihara.
Pada abad ke-19, berdasarkan informasi arsip baptisan dan perkawinan, budak-budak Kristen Depok dapat dikelompokan ke dalam 12 nama keluarga; Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense dan Zadokh. Khusus yang terakhir,yaitu Zadokh, telah punah.
Jika membaca kembali surat wasiat Chastelein, sang pendiri Depok hanya menyebut satu nama keluarga, yaitu Soedira. Nama-nama lainnya disebut sesuai nama budak; Floriaan van Benggala, William van Makassar, Cecilia van Batavia, Neetje van Surabaya, Joseph van Cust, dan Simon van Bali. Artinya, orang-orang Depok pertama tidak punya nama keluarga seperti saat ini dan dianggap sebagai keturunan dari 150 budak Kristen yang dibebaskan.
Jadi, hanya ada satu nama keluarga di Depok, yaitu Soedira. Seorang tukang kayu bernama Elias Soedira disebut dalam surat wasiat Chastelein. Ini yang menjadikan Soedira sebagai nama keluarga tertua, dan lainnya muncul entah kapan dan bagaimana nama-nama mereka ada tidak diketahui.
Chastelein tidak hanya mewariskan bidang tanah Depok kepada budak-budaknya, tapi juga Mampang, Karang Anyer (kini bernama Cinere), dan dua bidang tanah di sisi timur Sungai Ciliwung. Secara keseluruhan semua bidang tanah itu disebut Depok.
Pertanyaannya, apakah Depokers — budak-budak yang diwarisi tanah Depok oleh Chastelein — memiliki tanah-tanah itu?
Ternyata tidak. Kwisthout mengatakan VOC tidak menginginkan tanah-tanah penting dan luas jatuh ke tangan orang non-Eropa. Chastelein sempat membujuk VOC mengubah aturan itu, caranya dengan meratifikasi sumbangan tanah kepada budak-budaknya dengan status kepemilikan penuh. VOC menolak. Yang bisa diberikan VOC adalah budak Kristen Depok memiliki hak pakai tanpa batas waktu atas tanah yang diwariskan Chastelein.
Butuh seratus tahun bagi Depokers untuk memiliki tanah yang diwariskan Chastelein. Setelah VOC bubar, dan Hindia Belanda menjual tanah-tanah kepada investor non-Eropa, penduduk Depok mulai memperjuangkan hak kepemilikan atas tanah yang diwariskan. Tahun 1836, lewat aturan pemerintah HIndia Belanda, Depokers resmi menjadi pemilik tanah yang diwariskan kepadanya.