Crispy

Titik Nadir ala Kahitna dan Keindahan Melepaskan yang Tak Pernah Selesai

oleh : IRZI Risfandi

Kahitna selalu punya cara untuk membuat patah hati terdengar manis, dan di lagu “Titik Nadir”, mereka kembali membuktikan bahwa sedih pun bisa dibungkus dengan keindahan, apalagi jika diiringi suara bening penuh rasa seperti Monita Tahalea. Ini bukan lagu yang hanya menyentuh karena kisahnya, tapi juga karena caranya menyampaikan: romantis tapi sadar diri, menyakitkan tapi lembut, dan—yang paling menyayat—jujur.

Kita langsung disambut dengan pernyataan yang berat tapi begitu puitik: “Sampai juga di titik nadir.” Titik nadir adalah istilah yang biasanya dipakai dalam astronomi—posisi paling rendah dari suatu objek terhadap cakrawala. Tapi di sini, ia jadi metafora paling tepat untuk rasa hancur ketika cinta sudah tak bisa diperjuangkan lagi. Ini bukan sedih biasa. Ini sedih yang sudah menyentuh dasar, dan yang tersisa hanya diam dan menahan tangis.

Lagu ini seperti cerita seseorang yang duduk di bangku tamu undangan, menyaksikan orang yang dulu ia cintai mengucap janji suci dengan orang lain. Bukan karena cintanya kurang, bukan karena tidak setia, tapi karena realitas kadang lebih kejam dari niat baik. Lirik “kau mengikat akad yang seharusnya milikku, kini miliknya” adalah potongan paling getir dari skenario perpisahan yang datangnya bukan karena cinta habis, tapi karena waktu dan keadaan tak lagi berpihak.

Yang menarik dari lagu ini adalah pengakuannya yang tulus bahwa cinta itu masih ada—“meski hatiku untuk kamu, dan hatimu tetap aku.” Dalam dunia percintaan kekinian yang sering terlalu cepat melabeli hubungan sebagai toxic atau terlalu mudah move on demi “healing,” lagu ini justru mengambil jalan yang sangat manusiawi: mengakui bahwa cinta bisa tetap tinggal walaupun tak lagi bersama. Tidak semua perasaan bisa disembuhkan dengan cut-off atau silent treatment. Kadang, yang tersisa hanya perasaan yang tetap hangat, tapi harus dirawat diam-diam, karena jika didekati, bisa meledak lagi.

Lagu ini juga menyuarakan satu bentuk kedewasaan emosi yang jarang muncul dalam lagu cinta hari ini: keberanian untuk tidak bertemu. “Jangan coba kita tuk bertemu, takkan sanggup aku bertahan diam.” Ini bukan kalimat klise. Ini adalah bentuk self-preservation paling puitik—karena tahu perasaan terlalu kuat untuk diredam, maka satu-satunya cara bertahan adalah tidak saling dekat. Ini bukan “ghosting,” ini perlindungan terhadap hati yang masih terlalu rapuh. Dan betapa indahnya, karena dalam kalimat itu tidak ada amarah, hanya kejujuran.

Lagu ini juga penuh dengan momen-momen visual yang dramatis namun tidak murahan. Salah satunya: “di pelaminan itu, masih sempat kau melihat tepat ke arahku, aku tertunduk.” Dalam satu baris, kita melihat semuanya—dekorasi pernikahan, tatapan terakhir, seseorang yang tidak lagi menjadi pilihan, dan satu momen pendek di mana dua hati yang pernah bersatu akhirnya benar-benar harus melepaskan. Ini bukan lirik yang dibuat untuk dramatisasi. Ini lukisan kecil tentang patah hati yang tidak akan pernah selesai sepenuhnya.

Secara musikal, lagu ini menenangkan. Ia tidak bermain di melodi minor yang terlalu suram, tapi tetap menjaga kesan melankolis lewat progresi akor yang lembut. Vokal Monita yang nyaris berbisik memberi ruang bagi liriknya untuk bicara lebih banyak. Seolah dia tidak ingin lagu ini menjadi seruan sedih, tapi pengakuan lirih yang pelan-pelan menusuk. Dalam produksi Kahitna yang khas—halus, jazzy-pop, dan tidak pernah berlebihan—lagu ini menemukan rumahnya. Ia tidak butuh klimaks, karena rasa patahnya justru datang dari betapa tenangnya ia menerima luka.

Dan inilah yang membuat “Titik Nadir” begitu menyentuh di zaman sekarang: ia centil, tapi tidak dangkal. Ia kekinian karena bahasanya mudah diakses, tapi tidak kehilangan kedalaman. Ia romantik karena bicara soal cinta yang masih tinggal meski tubuh harus pergi. Ia juga bicara tentang cinta yang tidak diabadikan di IG story atau TikTok, tapi tinggal sebagai gema di hati seseorang yang berusaha baik-baik saja, walau tahu dirinya tidak akan benar-benar sembuh.

Ada sesuatu yang menyentuh dalam pengakuan bahwa “pernah kumiliki”. Kalimat ini diulang di bagian akhir bukan hanya sebagai pengingat, tapi sebagai bentuk pengikhlasan yang penuh air mata. Bahwa cinta yang pernah ada, walau tidak jadi milik selamanya, tetap layak untuk dikenang. Lagu ini mengajari kita bahwa cinta tidak harus diabadikan dalam kepemilikan. Kadang cukup disimpan sebagai cerita yang pernah indah.

Dan mungkin, justru dari situ kita belajar: bahwa luka paling dalam adalah yang datang dari cinta paling tulus. Tapi juga bahwa keindahan cinta bisa tetap hidup dalam kenangan yang tidak menghakimi, hanya merindukan. Lagu ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang bagaimana cara kehilangan dengan lembut, tanpa marah, tanpa ingin merebut kembali. Hanya dengan satu keinginan kecil yang tidak terucap: andaikan bisa satu kali saja lagi, aku memelukmu.

2025

Back to top button