Crispy

Tjilintjing: Kisah Tuan Tanah Bangkrut, Landhuis Terbengkalai

  • Tjilintjing adalah sejarah, karena di tempat ini Inggris mendarat dan mengakhiri kekuasaan Prancis di Pulau Jawa.
  • Namun di Tjilintjing terdapat kisah tuan tanah bangkrut dan landhuis kesepian sampai pergantian era.

JERNIHHet nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 14 November 1935 menurunkan laporan perjalanan ke Tanah Partikelir (Land) dan Landhuis Tjilintjing dengan judul Geschiedenis van Vergane Glorie, atau Sejarah Kemuliaan yang Pudar, dan subjudul berbunyi; Vergeten Ligt te Tjilintjing een Groot Oud Landhuis, atau yang juga terlupakan adalah sebuah rumah pedesaan yang besar.

Judul dan sub-judul itu cukup membetot perhatian pembaca dari kalangan kulit putih di Hindia-Belanda. Terlebih, kalimat pertama laporan itu berbunyi; Sekarang kita berasumsi sebagian besar warga kita belum pernah mendengar nama Tjilintjing, apalagi sebuah rumah pedesaan yang besar dan indah di desa kecil yang dipenuhi pohon kelapa dan dikelilingi empang pemancingan.

Bagaimana mungkin Tjilintjing, dengan Landhuis Tjilintjing di dalamnya, terlupa sedangkan Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie, terhitung sejak awal abad ke-19, secara berkala mencatatnya. Selain itu, ada sejarah di tempat ini, yaitu pendaratan pasukan Inggris tahun 1811 yang mengakhiri kekuasaan Prancis di Jawa.

Land Tjilintjing

Aslinya, seperti tertera dalam Geschiedenis particulier landbezit op West-Java 1893, land ini bernama Tjilingsing. Berdasarkan resolusi tanggal 16 Agustus 1746 dan 15 Oktober 1748, Tjilingsing — terletak dua setengah jam berkuda dari Batavia — dijual kepada Inslunus Vinck dengan harga 3.000 rijksdalders dan berstatus kepemilikan penuh.

Seperti kebanyakan nama tempat di Batavia dan Ommelanden, nama Tjilingsing berevolusi akibat kesalahan penulisan dan penyebutan. Andries Teisseire, dalam catatan perjalanan ke sekujur Ommelanden yang diterbitkan 1792, menyebut Tjilintjing.

Teisseire menulis; “Tjilintjing adalah perkebunan milik Johannes Christoffel Schultz, mantan hakim dan pengacara. Ada heeren-huis dan pasar yang diselenggarakan setiap Selasa. Tidak jauh dari heeren-huis terdapat gereja kecil Toegoe dan Rumah Tjilintjing yang dibangun Andries Vinck.”

Tidak ada catatan berapa kali Tjilintjing berpindah dari ke satu lain tangan selama kurun waktu 50 tahun setelah Teisseire menuliskan catatan perjalanannya. Yang pasti, Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1876 mencatat Tjelintjing (kemungkinan salah tulis) dimiliki Oey Kim Tjeng dan dikelola Lim Song Gok.

Bevolking Statistiek van Java 1867 mencatat Tjilintjing memiliki sebelas kampung dengan total penduduk 1426. Rincinya; 930 pribumi, 496 Tionghoa, dan tidak ada orang kulit putih Eropa. Saat itu Tjilintjing belum menjadi bagian Meester Cornelis, tapi distrik Bekasi.

Tahun 1900 terjadi perubahan. Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1900 mencatat Tjilintjing masuk residensi Meester Cornelis. Tanah partikelir seluas 1.330 bouw, atau 984 hektar, itu dimiliki Cultuurmattschappij Hong Hin atau Kongsi Landen Tjilintjing dan dikelola Oey Keng Hin sebagai perkebunan kelapa dan penghasil padi. Jumlah penduduk Tjilintjing menyusut menjadi 931, tanpa rincian jumlah kampung dan etnis.

Dalam dua dekade pertama abad ke-20, Tjilintjing menggeliat lagi. Kampung-kampung di sekujur Tjilintjing ramai penduduk. Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1920 mencatat jumlah penduduk Tjilintjing meningkat lebih dua kali lipat, dari 931 pada tahun 1900 menjadi 2240 pada 1920. Sayangnya tidak ada rincian jumlah kampung dan etnis.

Cultuurmattschappij Hong Hin mengubah sebagian lahan menjadi tambak bandeng dan menjalankan bisnis pemancingan. Sebagian lahan lainnya dibiarkan sebagai perkebunan kelapa. Ang Kong Pan, huurder (pengelola) Tjilintjing, membuka perkebunan mangga. Namun, ketidakhadiran pemukim kulit putih membuat Tjilintjing seolah terisolir dibanding tanah partikelir lain di Batavia dan Ommelanden.

Membuka Isolasi Tjilintjing

Tahun 1931, seperti diberitakan Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indiƫ, tiba-tiba populer. Penyebabnya, sinyo-sinyo dan noni-noni dari kawasan Menteng berbondong-bondong ke tempat ini pada hari libur hanya untuk satu hal; mandi di laut. Padahal, anak-anak itu kerap dinasehati untuk tidak mengunjungi Tjilintjing.

Di dalam benak kulit putih Belanda, Tjilintjing adalah kampung kumuh, terpencil di sudut Batavia dengan tingkat kriminalitas tinggi tak pernah terungkap. Tjilintjing, menurut pers Hindia-Belanda, adalah lingkungan Apache di Batavia.

Akses ke Tjilintjing saat itu sangat sulit. Hanya ada jalan setapak yang rusak. Di musim hujan, jalan berubh menjadi bubur lumpur. Di musim panas, jalan berselimut tepung tanah cokelat. Cara paling mungkin menuju pantai Tjilintjing adalah penggunakan perahu dari Tanjung Priok. Jika memaksa lewat jalan darat, siapkan perahu kecil menelusuri parit pengairan.

Bagi sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda, Tjilintjing adalah Petit Trouville dan Zandvoord, atau masalah kecil yang mengasyikan. Ada unsur petualangan untuk sampai ke pantai terpencil di Batavia ini. Lebih menarik lagi, penduduk Tjilintjing ternyata bukan Apache, salah satu suku Indian di AS yang digambarkan paling barbar, tapi penduduk yang santun.

Landheer Bangkrut, Landhuis Terbengkalai

Setelah kunjungan pertama pers Belanda ke Tjilintjing muncul kabar satu perusahaan Jepang, disebut Kongsi Jepang, mengajukan penawaran untuk membeli Tjilintjing. Namun, negosiasi dibantalkan karena Cultuurmaatschappij Hong Hin, dengan pemilik bernama Oey Tong Hin, berhutang luar biasa besar kepada perusahaan asuransi.

Setelah penjualan gagal, Land Tjilintjing jatuh ke perusahaan asuransi. Huurder (pengelola) baru, kebetulan seorang Tionghoa, diangkat untuk mengurus Land Tjilintjing. Semua penghasilan dari Land Tjilintjing, berupa tjoeke atau pajak hasil bumi yang dipungut dari penduduk penggarap, penghasilan empang bandeng — diperkirakan mencapai 2.000 gulden per tahun — dan pengelolaan pemancingan, jatuh ke perusahaan asuransi. Huurder juga bertanggung jawab atas pemeliharaan Landhuis Tjilintjing.

Perusahaan asuransi sempat menempatkan Land Tjilintjing di balai lelang. Pada 26 Oktober 1935, seorang Tionghoa mengajukan tawaran 30 ribu gulden. Tidak ada penawar lain yang mengajukan harga lebih tinggi. Akibatnya, lelang dibatalkan.

Koesa Tionghoa, demikian pengelola Tjilintjing disebut, mendiami paviliun Rumah Tjilintjing. Ia secara aktif menawarkan Land Tjilintjing dan Landhuis Tjilintjing kepada penduduk kulit putih. Seorang pengacara kulit putih sempat berminat membeli dan datang ke Tjilintjing untuk melihat dari dekat Landhuis Tjilintjing. Setelah itu tidak ada kabar lagi.

Meski dihuni pengelola, Landhuis Tjilintjing yang sedemikian besar relatif terbengkalai. Wartawan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie menyebut Landhuis Tjilintjing tak ubahnya kandang kambing dan ayam. Perabotan di rumah itu seolah masih asli peninggalkan Johannes Christoffel Schultz, tapi semuanya berdebu. Jelaga dan sarang laba-laba menghiasai bagian atas rumah. Tidak keliru jika banyak orang menyebut Landhuis Tjilintjing adalah rumah hantu.

Bagian depan Landhuis Tjilintjing adalah empang besar. Di seberangnya terhadap dua lumbung padi besar terbuat dari kayu. Tidak jauh dari Landhuis Tjilintjing terdapat klenteng kecil, tempat orang-orang Tionghoa — yang bermukim di tempat itu turun-temurun — beribadah. Klenteng kemungkinan dibangun saat Tjilintjing masih berada di tangan Oey Kim Tjeng.

Sampai 1940-an — sebelum kedatangan Jepang — tjenteng, mandoer, dan penduduk merindukan tuan tanah baru sambil bernostalgia akan masa-masa keemasan Cultuurmaatschappij Hong Hin di era Oey Tong Hin. Saat itu, setiap tahun akan ada pesta setelah panen; puluhan babi disembelih, ratusan ekor ayam dipotong, dan bandeng ukuran besar dimasak. Pesta dimeriahkan main judi bakarat, tjeki, dan koprok, sepanjang malam.

Landhuis Tjilintjing terlelap dalam kesunyian sempurna melewati tahun-tahun sampai terjadi perubahan besar setelah kepergian Jepang. Di satu sudut Molenvliet West, di sebuah rumah kecil kumuh, Oey Tong Hin — tuan tanah terakhir Land Tjilintjing — menghabiskan masa tua dalam kemiskinan absolut dan terlupa.

Back to top button