“Tubuhku Otoritasku”, Slogan Kosong dan Diskriminatif Eropa untuk Perempuan Muslim
Ironisnya, pengadilan telah memutuskan untuk mengganggu hak asasi perempuan Muslim atas martabat, kebebasan berekspresi dan beragama, dan hak untuk bekerja.
JERNIH–Minggu ini, judul berita “Hijab dilarang di tempat kerja, menurut pengadilan Uni Eropa” terpampang di mana-mana. Mengapa slogan ‘Tubuhku Otoritasku’ tampaknya tidak berlaku bagi perempuan Muslim berhijab?
Pengadilan Eropa memutuskan bahwa perusahaan UE secara hukum dapat mencegah karyawan mengenakan simbol agama, dengan mengklaim kebijakan ‘citra netralitas’. Jika mereka menolak untuk melepas jilbab mereka, karyawan tersebut dapat dipecat, tulis Yasmin Al-Najar di Metro.co.uk.
Sayangnya, berita seperti ini bahkan tidak mengejutkan Yasmin Al-Najar lagi. Ia mengaku lelah. Lelah karena harus menjelaskan mengapa ia memiliki hak untuk otonomi atas tubuhnya sendiri.
Banyak negara Eropa seperti Belgia, Swiss, dan Denmark telah melarang burka dan niqab. Prancis berupaya memperluas pembatasan simbol agama melalui RUU Separatisme. Di delapan negara bagian Jerman, guru dilarang mengenakan jilbab.
Apa pun yang perempuan Muslim kenakan, itu sudah dikriminalisasi oleh hukum domestik.
Ironisnya, pengadilan telah memutuskan untuk mengganggu hak asasi perempuan Muslim atas martabat, kebebasan berekspresi dan beragama, dan hak untuk bekerja.
Wanita Muslim dikritik karena tidak cukup berpartisipasi dalam masyarakat, namun hukum seperti ini dibuat. Hak perempuan Muslim untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan dalam dunia kerja tidak boleh bersyarat, tulis Yasmin Al-Najar.
Satu-satunya contoh di mana jilbab dapat ‘menyebabkan konflik di tempat kerja’ adalah, jika ada orang di sana yang termakan oleh prasangka yang berasal dari narasi Islamofobia, yang mengaitkan jilbab dengan ekstremisme atau ‘kelainan’.
Pada dasarnya, pengadilan mengatakan bahwa kita harus menghalangi hak asasi perempuan Muslim untuk menyelamatkan beberapa orang agar tidak tersinggung.
Meskipun Yasmin Al-Najar tidak terkejut, ia masih merasa kecewa, dikhianati, dan mengaku frustrasi.
Mahkamah Eropa
Konotasi ‘afiliasi teroris’ tidak ada hubungannya dengan hijab, Islam atau perempuan Muslim, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan prasangka orang lain.
Perempuan Muslim tidak diidentifikasi dengan makna yang dituduhkan pada jilbabnya atau apa yang dipikirkan orang tentang hijab. Keputusan Uni Eropa akan memperburuk intoleransi ini.
Pengadilan menempatkan pentingnya interpretasi orang lain tentang identitas di atas apa yang sebenarnya mereka definisikan sebagai identitas mereka. Ini adalah cara lain untuk membungkam perempuan Muslim.
Menyarankan bahwa jilbablah yang menyebabkan ‘konflik’ dan bukan diskriminasi, adalah taktik lain untuk membelokkan isu Eropa dengan Islamofobia. Ini mengirimkan pesan bahwa identitas perempuan Muslim bermasalah, jadi perempuan Muslim berhijab harus menyembunyikannya untuk membuat orang lain merasa lebih nyaman.
Aturan seperti ini menempatkan perempuan dalam siklus terus-menerus untuk membela keberadaan mereka sebagai perempuan Muslim.
“Sungguh membingungkan bahwa apa yang ada di atas kepala saya lebih diutamakan daripada apa yang ada di dalam kepala saya. Jilbab saya tidak pernah menghalangi kompetensi saya atau menghentikan saya dari pertumbuhan intelektual, meskipun ada anggapan yang dibuat oleh orang lain tentang apa yang saya pilih untuk kenakan,” tulis Yasmin Al-Najar.
Standard ganda dari kaum liberal (termasuk banyak feminis) sangat mencolok. Prinsip ‘tubuhku otoritasku’ tidak diberikan kepada perempuan Muslim.
Cara perempuan Muslim berpakaian sudah diawasi oleh banyak negara, dan sekarang Pengadilan Eropa memberikan hak kepada perusahaan untuk mendikte apa yang mereka kenakan juga.
Putusan pengadilan UE ini lebih lanjut membuktikan bahwa ini bukan tentang melindungi wanita Muslim. Sebaliknya, ini memberitahu kita bahwa pengadilan percaya bahwa homogenitas budaya kebarat-baratan (asimilasi) adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian dan persatuan. Ini mengirimkan pesan bahwa wanita Muslim akan diterima di masyarakat hanya jika mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan orang lain dan memperlunak identitas.
Putusan ini bahkan bukan tentang prinsip bahwa ruang publik harus bebas dari campur tangan agama dan budaya, yang oleh banyak negara Eropa seperti Prancis dan Belgia disebut sebagai alasan mereka menentang jilbab.
“Saya tidak mengenakan jilbab untuk memaksakan keyakinan agama saya kepada orang lain. Saya memakainya karena itu adalah bagian integral dari iman saya, saya merasa lebih dekat dengan Tuhan, dan itu adalah bagian yang memberdayakan identitas saya,” catat Yasmin Al-Najar.
Argumen dan keputusan seputar jilbab penuh dengan kontradiksi. Melarang simbol keagamaan di ruang publik bukanlah netralitas; memberi perusahaan kebebasan untuk memaksa wanita Muslim melepaskan jilbab mereka, berarti bahwa keyakinan perusahaan dipaksakan kepada wanita Muslim.
Orang berhak atas pendapatnya. Mereka tidak harus menyukai hijab atau menyetujuinya. Tetapi mengatur kebebasan berekspresi karena seseorang tidak menyetujui bukan hanya salah, itu melanggar hak asasi manusia.
Ribuan wanita Muslim akhirnya harus memilih antara agama dan identitas mereka, dan pekerjaan mereka.
Sungguh mengerikan melihat ini terjadi pada orang-orang yang mirip Anda, karena pertanyaan Anda berikutnya selalu, ‘kapan ini akan terjadi pada saya?’
Islamofobia bersifat global dan semakin dinormalisasi, termasuk di Inggris. Islamofobia institusional di Partai Konservatif telah diabaikan. Namun 47 persen anggota Partai Tory percaya bahwa Islam adalah ‘ancaman bagi cara hidup Inggris’.
Perdebatan tentang apakah perusahaan memiliki hak untuk melarang jilbab juga bukan hal baru di Inggris. Hukum seperti ini paling mempengaruhi wanita Muslim, namun pendapat mereka dianggap tidak penting. Sudah saatnya wanita Muslim didengar daripada disuruh tidak terlihat, tulis Yasmin Al-Najar. [metro.co.uk]