Ujaran Kebencian Bukan Kebebasan Demokrasi
“Maraknya ujaran kebencian, tak luput dari faktor kepentingan-kepentingan terselubung. Untuk menyelesaikan masalah ini, negara juga harus mampu belajar dari pengalaman masa lalu”
BANDUNG – Fenomena ujaran kebencian dan provokasi, sebetulnya berlindung di bawah tameng kebebasan. Hal itu sebagai akibat dari degradasi rasa syukur sebagai anak bangsa, sehingga memanfaatkan kebebasan sebagai negara demokrasi, tetapi cenderung sebagai kebebasan yang liar, bukan kebebasan yang bertanggung jawab.
Demikian dikatakan Ketua Bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Barat, Utawijaya Kusumah, di Bandung, Sabtu (15/1/2022).
Peraturan yang ada, kata Utawijaya, seringkali dinafikan hingga mudah dijumpai fenomena saling lapor, saling tuduh, dan saling gugat. Karena itu, perlu ada kesadaran agar mampu menahan diri serta tidak terpengaruh ujaran kebencian.
Menurutnya ada dua syarat untuk melakukan itu. Pertama adalah melakukan satu upaya jangan menjadi ‘sumbu pendek’. Bahkan dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 134 artinya ‘dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan’.
” Jangan sedikit-sedikit marah,” kata dia.
Kedua, negara ini dipimpin oleh pemerintahan yang perlu diikuti, Sami’na Wa Atho’na. Maka kalau ada yang kurang diskusikan, dimusyawarahkan sesuai dasar negara yaitu Pancasila.
“Bangsa ini sudah terakomodir oleh Pancasila, dan perbedaan adalah karena rahmat Allah SWT. Dengan cara seperti itu maka tidak ada lagi yang saling benci, saling hujat, apalagi dengan berbungkus agama,” kata Utawijaya.
Ia menjelaskan, maraknya ujaran kebencian, tak luput dari faktor kepentingan-kepentingan terselubung. Untuk menyelesaikan masalah ini, negara juga harus mampu belajar dari pengalaman masa lalu.
Utawijaya juga menyinggung peran pemerintah dalam menghadapi fenomena ujaran kebencian yang kerap terjadi di masyarakat. Baginya ada tiga peran pemerintah yaitu pertama sosialisasi terhadap seluruh komponen masyarakat bahwa Indonesia memiliki undang-undang (tentang ujaran kebencian).
Kedua adalah melakukan pembinaan terhadap elemen organisasi masyarakat (ormas). Sebagaimana ormas memiliki massa yang dapat digerakkan dan disadarkan terkait bahaya ujaran kebencian.
Ketiga adalah bimbingan. Bagi mereka yang sudah terpapar atau sudah terlanjur (terjerumus) maka perlu dibimbing, dan diarahkan.
Karena itu, ia mengajak para tokoh agama untuk bersama membangun negara tanpa ujaran kebencian. Sebab oleh agama juga dilarang, secara kemanusiaan, dan sosial juga merugikan semua pihak.
“Kita bekali umat dengan wawasan keagamaan dan wawasan kebangsaan. Tentunya dengan cara seperti ini mereka akan menyebarkan wawasannya ke seluruh Indonesia,” katanya.
Ia mengimbau kepada masyarakat untuk selalu waspada dan tabayyun dalam melihat informasi agar tidak terjerumus pada ujaran kebencian dan provokasi, yang dapat merusak persatuan dan keutuhan bangsa.