Crispy

Unlocked Historical Tour: Berkunjung ke Lokalisasi Pelacuran Pertama era Hindia-Belanda di Glodok

  • Penulisan yang benar adalah Ji Lak Keng — kata dalam Bahasa Hokkian yang artinya 26 rumah.
  • Banyak literatur menyebutkan sebelum menjadi nama jalan, Toko Tiga adalah nama sebuah toko, yaitu ‘Toko Tiga’.

JERNIH — Sabtu 18 Oktober lalu, Unlocked Historical Tour — komunitas yang kerap menyambangi sudut sudut bersejarah di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) — berkunjung ke sejumlah lokasi di kawasan Glodok, yaitu Pintu Kecil, Jelakeng, dan Toko Tiga.

Adi Mulyana, penyelenggara tur, tidak secara spesifik menyebut tema ‘walking tour’ kali ini. Namun jika melihat lokasi yang dikunjungi, yang berakhir di Jelakeng, penyelenggara tampakya mengajak peserta ke masa keemasan wilayah plesiran paling terkenal era Hindia-Belanda. Jelakeng sejak dekade pertama abad ke-19 sampai memasuki abad ke-20 adalah surga bagi penikmat madat, seks, dan semua kesenangan.

Walking Tour dimulai dari Stasiun Jakarta Kota. Di sini, sebelum bergerak ke Pintu Kecil, peserta mendapat penjelasan tentang sejarah Stasiun Beos — demikian penduduk Batavia dan Jakarta menyebutnya. Penduduk yang lalu-lalang di Stasiun Beos, tepat di seberang Museum Bank Mandiri, sama sekali tak mengganggu keseriusan peserta mendengan pejelasan yang relatif singkat tapi padat.

Saat diresmikan Gubernur Jendera Hindia-Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff tahun 1929, nama resminya Stasiun Benedestadt Batavia, atau Stasiun Kota Bawah Batavia. Namun, penduduk pribumi lebih suka menyebutnya Stasiun Beos, dan penduduk kulit putih kadang menyebutnya Stasiun Batavia Zuid.

Ada dua versi soal Stasiun Beos. Versi pertama menyebutkan Beos mengacu pada BOS — kependekan dari Batavia Ooserspoorweg Maatschappij, perusahaan yang membangun stasiun itu tahun 1877. Kedua, Beos adalah kependekan dari Batavia en Omstreken, atau Batavia dan Sekitarnya.

Sedangkan Batavia Zuid mengacu pada letak stasiun di sebelah selatan Stasiun Batavia Noord milik Nederlands Indische Spoorweg (NIS) Maatschappij, yang hanya 200 meter dari Stasiun Beos atau BOS. Stasiun Batavia Noord dibangun 1869 untuk melayani Kleine Boom di dekat Sunda Kelapa ke Koningspein, dan tahun 1871-1873 dikembangkan ke Buitenzorg.

Stasiun Batavia Zuid melayani jalur Batavia, Kedoeng Gedeh, dan dilanjutkan ke Karawang. Jalur ini dibangun atas kesepakatan BOS dengan tuan-tuan tanah Bekasi, Tambun, Cikarang, sampai ke Karawang.

Tahun 1899 Stasiun Batavia Zuid dinasionalisasi. Tahun 1913, era kereta api swasta berakhir ketika Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch–Indie, perusahaan KA milik pemerintah Hindia-Belanda, mengakuisisi jalur KA Batavia-Buitenzorg milik NIS.

Tahun 1923, Stasiun Batavia Zuid atau Stasiun Beos ditutup sebagai persiapan pembongkaran dan pembangunan kembali. Aktivitas perkeretaapian sekujur Batavia en Omstreken dialihkan sepenuhnya ke Stasiun Batavia Noord. Tahun 1926 Stasiun Batavia Zuid atau Beos mulai dibongkar dan dibangun kembali. Tiga tahun kemudian pembangunan selesai dan segera digunakan. Tahun yang sama Stasiun Batavia Noord mengakhiri sejarahnya.

Stasiun Beos dirancang tiga arsitek; Frans Johan Lowrens Ghijsels, Heins von Essen, dan F Stolt. Ketiganya mengembangkan gaya arsitektur baru yang disebut Het Indisch Bouwen, yang memadukan unsur Barat modern dan lokal, dengan balutan art deco. Dibanding karya Ghisjels lainnya, yaitu RS Pelni di Petamburan, Staisun Beos mungkin yang paling menarik.

Kanal Pintu Kecil

Pintu Kecil di kawasan Glodok, Jakarta Barat, saat ini adalah seutas jalan dengan kesibukan bisnis luar biasa. Di masa lalu, setidaknya sampai 1936, Pintu Kecil adalah kanal, dengan pintu masuk ke dalam kota berada di samping Benteng Diest. Tak heran jika penduduk Batavia saat itu kerap menyebutnya Diestpoort, atau Gerbang Diest. Sedangkan nama resminya adalah Kleine Poort, kata dalam Bahasa Belanda yang artinya Pintoe Kecil.

Dibangun tahun 1638, Pintu Kecil semula hanya pintu terbuat dari kayu dengan jembatan bambu. Tahun 1658, pintu itu dibangun dengan batu. Sebagai kanal dengan pintu yang menjadi lalu-lintas penduduk keluar-masuk Batavia, yang saat itu masih dikelilingi tembok batu, Pintu Kecil adalah akses alternatif saat malam hari atau ketika dua gerbang kota di Binnen en Buiten Nieuwepoort, kini menjadi Pintu Besar Selatan dan Utara, ditutup karena VOC khawatir serangan pasukan Banten.

Sulit menemukan jejak masa lalu Pintu Kecil. Kanal Pintu Kecil saat itu merupakan penghubung antara Stadsbuitengracht dan Kali Besar. De Indische courant edisi 25 September 1936 menulis seutas jalan akan dibangun di atas kanal yang telah ditimbun. Disebutkan pula pertimbangan menimbun kanal Pintu Kecil dilakukan sejak lama untuk melihat akibat buruknya.

Foto terakhir kanal Pintoe Kecil masih dapat dilihat di halaman depan De locomotief edisi 2 Oktober 1936 dengan rakit dan perahu seolah saling tindih, dengan orang-orang yang mengoperasikannya berpose bebas. Di seberang kanal, bangunan berarsitektur Tionghoa berjajar. Jalan sempit memisahkan jajaran bangunan itu dengan tepi kanal. Saat itu, sisi kanal tampaknya mengalami abrasi, yang mengancam bangunan-bangunan di atasnya. Untuk mengatasinya, potongan bambu dan kayu ditanam tepi kanal.

Jilakeng

Penulisan yang benar adalah Ji Lak Keng — kata dalam Bahasa Hokkian yang artinya 26 rumah. Semula hanya ada 26 rumah berjajar di jalan ini, yang sejak awal abad ke-19 — beberapa tahun setelah VOC bangkrut dan penjajahan Belanda terhadap Nusantara dimulai — berubah menjadi lokalisasi pelacuran pertama dan terbesar di Batavia.

Dua atau tiga bangunan masih terlihat asli dari abad awal abad ke-19, terutama bentuk atap burung walet khas rumah-rumah Tionghoa. Yang lebih khas lagi adalah tembok sedemikian tebal, jendela kayu jati yang tak lapuk dimakan usia. Batu bata untuk rumah-rumah itu dibawa dari Belanda, karena belum banyak steenbakerij di sekujur Batavia. Setiap rumah terdiri dari dua atau tiga lantai, tiang dan lantai kayu jati, sedemikian kokoh.

Di masa keemasannya, sebagian besar — bahkan ada yang bilang seluruhya — rumah adalah tempat pelacuran, yang menyediakan fasilitas dansa-dansi, kamar kencan, dan kamar madat. Dansa-dansi diiringi orkes gambang, bentuk awal gambang kromong yang kita kenal saat ini. Perempuan yang dipekerjakan sebagai pelacur berasal dari Amoy — pelabuhan di daratan Tiongkok yang kini bernama Xiamen. Gadis-gadis dari Amoy, akibat kemiskinan, dijual keluarganya di pelabuhan dan diangkut ke Singapura untuk dijual di pasar-pasar prostitusi.

Mendatangkan gadis-gadis dari Amoy dianggap paling mengutungkan, karena pasar prostitusi yang mayoritas Tionghoa, dan berada di kawasan permukiman Tionghoa. Gadis-gadis lokal relatif mahal, apalagi sejak pemerintah Hindia-Belanda perlahan-lahan mengikuti jejak Prancis dan Inggris; melarang perbudakan di tanah jajahan. Menggunakan gadis-gadis lokal, yang notabene budak, menjadi berisiko.

Sebagai lokalisasi prostitusi resmi, pengusaha bisnis lendir ini membayar pajak, dan pemerintah Hindia-Belanda memberikan jaminan keamanan. Sampai dekade kedua abad ke-20, kepolisian Batavia masih menugaskan personelnya berpatroli setiap malam di Jilakeng. Ini terlihat dari berita di Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 9 Oktober 1913, yang memberitakan pertengkaran dua pelacur berebut pelanggan.

Madat di rumah-rumah di sekujur Jilakeng dipasok opium pachter, atau bandar candu, atau pemegang hak edar madat di kawasan tertentu. Tidak boleh ada pasokan madat dari bandar lain. Jika itu terjadi, polisi akan bertindak.

Dari Jilakeng satu nama playboy Tionghoa Batavia naik daun, namanya Oey Tambasia. Mewarisi kekayaan dari Oey Thai Lo, ayahnya yang pachter tembakau, Tambasia hidup super hedon. Ada cerita, dan menjadi mitos, Tambasia menggunakan uang kertas sebagai tisu untuk membersihkan duburnya setiap kali buang air besar. Orang-orang akan berebut mengejar uang kertas itu yang mengambang di kali di Pak Tek Koan, kini Jl Petekoan.

Setiap malam, Tambasia keluar dari rumahya, berjalan di sepanjang Jilakeng hanya untuk nyawer semua perempuan di setiap rumah pelacuran. Ia punya suhian, atau rumah plesiran, bernama Bintang Mas di Ancol. Suhian Bintang Mas digunakan Tambasia melampiaskan hasrat seksual kepada setiap gadis yang diinginkan. Tambasia punya kebiasaan buruk. Ia tak segan membunuh perempuan yang menolak keinginannya. Korbannya adalah Ariah, yang kelak menjadi urban legend dengan sebutan Si Manis Jembatan Ancol.

Tan Eng Goan, majoor der chinezen saat itu, menginvestigasi kejahatan Oey Tambasia saat dia berusaha menjerumuskan Liem Soe Keng Sia, anak menantu sang majoor, dengan meracuni Tjeng Kie — pembantu setia sang playboy. Investigasi ini memakan banyak waktu dan dana, dan disebut-sebut menguras kekajaan Tan Eng Goan. Namun, Tan Eng Goan mendapatkan semua bukti, yang lebih dari cukup untuk mengirim Oey Tambasia ke tiang gantungan di depan Museum Fatahillah saat ini.

Jilakeng meredup saat memasuki abad ke-20. Sebagai gantinya, Suhian bertebaran di Ancol, Cilincing, Mangga Besar, dan Mangga Dua. Rumah-rumah madat tersebar di banyak sudut kota. Ada Gang Madat dan Gang Madat Kecil, kini Jl Kejayaan dan Jl Kesejahteraan, Taman Sari, Jakarta Barat. Belakangan, lokalisasi prostitusi tumbuh berdasarkan garis etnis. Ada prostitusi Jepang, pribumi, Tionghoa, dan perempuan mardijker macam Fientje de Feniks.

‘Toko Tiga’

Tidak ada cerita Jl Toko Tiga mendapatkan namanya dari tiga toko yang terdapat di jalan sepanjang 500 meter itu. Banyak literatur menyebutkan sebelum menjadi nama jalan, Toko Tiga adalah nama sebuah toko, yaitu ‘Toko Tiga’. Artinya, hanya ada satu toko di jalan itu, namanya ‘Toko Tiga’, milik Oey Thai Lo — ayah Oey Tambasia.

Berbeda dengan anaknya, Oey Thai Lo dikenal sederhana dan dermawan. Sebagai pachter tembakau, Oey Thai Lo menguasai pasar Batavia dan membuatnya kaya raya dan diangkat sebagai luitenan der Chinezen Kali Besar oleh Tan Eng Goan.

Menurut cerita Oey Thai Lo meninggalkan Pekalongan, tempat dia memulai bisnis tembakau, setelah salah satu putrinya menikah dengan Bupati Pekalongan saat itu. Oey Thai Lo malu dan meningglkan komunitas Tionghoa di Pekalongan untuk hidup di Batavia.

Oey Makouw Sia, salah satu putra Oey Thai Lo, relatif sukses. Ia memiliki anak yang kelak menjadi tuan tunah Tigaraksa, yaitu Oey Giok Koen.

Back to top button