Crispy

Wabah Covid-19 Picu Perjanjian Bunuh Diri

  • Di India, keluarga korban Covid-19 dilecehkan tetangga dan diusir.
  • Di AS, seorang pria takut tertular Covid-19 dari sang istri. Ia bunuh istrinya, lalu bunuh diri.
  • Banyak pasangan sepakat bunuh diri ketika wabah berdampak pada kehidupan mereka.

London — Peneliti Inggris dan Bangladesh menemukan sejumlah pasangan berjanji bunuh diri bersama jika salah satu terinfeksi Covid-19, atau mengalami keuslitan ekonomi akibat penguncian.

Temuan ini menjelaskan betapa wabah Covid-19 telah mempengaruhi kehidupan pribadi setiap orang, dengan dampaknya pada kesehatan fisik, kesejahateraan keluarga, kesehatan finansial, yang semuanya berhubungan langsung dengan penderitaan mental.

“Alasan bunuh diri bersama beragam; ketakutan terinfeksi, masalah finansial akibat penguncian, dilecehkan karena terinfeksi, dan berada dalam tekanan hebat selama isolasi mandiri, adan perawatan,” kata peneliti.

Baca Juga:
— Vietnam Mati-matian Menyelamatkan Satu Korban Covid-19
— Cina Tutup Kota Jilin Akibat Penularan Misterius Covid-19
— Covid-19 Muncul Lagi di Wuhan, 14 Juta Penduduk Jalani Pengujian

Yang mengkhawatirkan adalah ketika pasangan membentuk ‘pakta bunuh diri’, lengkap dengan cara mereka melakukannya. Menurut peneliti, setidaknya ada 12 kasus yang melibatkan pasangan dari empat negara; Bangladesh, India, Malaysia, dan AS.

Berikut enam kasus yang dipaparkan situs english. al arabiya.

Kasus 1: Bunuh diri dengan tembakan di kepala melibatkan pasangan usia 54 dan 59 tahun. Keduanya asal Illinois. Pria usia 54 tahun menembak rekannya, yang berusia 59 tahun, di kepala sebelum bunuh diri.

“Pria itu takut terinfeksi Covid-19 dari pacarnya,” kata peneliti. “Keduanya menjalani tes, tapi tidak menerima hasil sebelum memutuskan bunuh diri. Hasil otopsi menunjukan keduanya tidak terinfeksi Covid-19.”

Kasus 2: Pasangan lansia asalIndia bunuh diri bersama dengan menelan zat beracun. Sebelum bunuh diri, salah satu dari mereka menulis; “Kami menyelesaikan hidup kami. Tidak ada yang bertanggung jawab untuk tindakan ini. Tidak ada ketegangan karena virus korona. Kami berdua juga sakit.

Polisi meneliti jenasah keduanya. Hasilnya, keduanya tidak terinfeksi Covid-19.

Kasus 3: Pasangan Malaysia. Pria usia 65 dan wanita 55 tahun. Keduanya coba bunuh diri dengan menelan pil tidur saat berada di Bandara India, karena tidak diberi kursi dalam penerbangan repatriasi virus korona.

Pejabat bandara mengatakan nama keduanya tidak ada dalam daftar penerbangan. Mereka kecewa. Polisi mencegah upaya bunuh diri bersama ini.

Kasus 4: Pasangan muda dari India, dan baru menikah. Gantung diri di pohon.

Pria usia 24 tahun harus dikarantina kendati tidak memiliki gejala Covid-19. Dia dilarang pulang. Istrinya dilecehkan tetangga, dan diusir dari desa.

Saat sang suami berhasil kabur dari karantina dan pulang, keduanya gantung diri.

Kasus 5: Pasangan Bangladesh bunuh diri di rumahnya. Pria usia 30 tahu, dan wanita usia 24 tahun. Pernikahan keduanya mengasilkan anak berusia tiga tahun.

Keduanya sibuk memerangi kemiskinan keluarga, dan frustrasi akibat menjadi sangat miskin akibat penguncian untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Kasus 6: Seorang pria usia 35 tahun gantung diri di rumahnya di India, setelah istrinya membakar diri. Penyebabnya, keduanya tidak bisa membayar pinjaman bank yang digunakan untuk membeli truk.

Selama penguncian, keduanya tidak bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk membayar cicilan. Keduanya bertengkar soal keuangan.

Sang istri pergi ke belakang dan membakar diri. Suami berusaha menyelamatkan, dengan membawa ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, sang istri meninggal.

Suami pulang, dan gantung diri. Dua anak mereka; usia tujuh dan 10 tahun, hanya bisa meratapi ayah dan ibu mereka.

Peneliti mengatakan masalah yang berhubungan dengan Covid-19, seperti pembatasan gerak dan kesulitan ekonomi, telah menyebabkan penderitaan psikologis jutaan orang.

“Bagi minoritas kecil, bunuh diri menjadi satu-satunya pilihan,” kata peneliti. “Sudah saatnya pemerintah setiap negara menerapkan strategi kesehatan mental publik.”

Back to top button