Wacana Masa Jabatan Presiden Ditambah, Jokowi Tegaskan Tidak
JAKARTA – Usulan penambahan masa jabatan presiden yang menuai kontroversi rupanya sampai di telinga Joko Widodo (Jokowi). Ia menegaskan, menolak usulan tersebut.
Wacana penambahan masa jabatan, kata Jokowi, memiliki tiga makna. Pertama, ingin menampar wajahnya. Kedua, yang mengusulkan mencari muka. Ketiga, hendak menjerumuskan dirinya.
“Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya. Satu ingin menampar muka saya. Kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (3/12/2019).
Menurutnya, wacana tersebut justru merugikan dirinya sebagai Presiden, yang merupakan produk demokrasi hasil pemilu langsung. Karena itu ia menyesalkan hal tersebut, apalagi masih muncul, meski banyak penolakan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, Jokowi menambahkan, tidak akan menyetujui wacana presiden kembali dipilih oleh MPR. “Sejak awal, sudah saya sampaikan, karena saya ini produk dari pemilihan langsung,” katanya.
Bahkan, lanjut Jokowi, tidak usah melakukan amandemen UUD 1945. Sebab, usulan amandemen pasti tak hanya terpaku soal GBHN. Melainkan melebar ke hal lain, seperti perpanjangan masa jabatan presiden dan presiden kembali dipilih MPR.
Sebelumnya, sejumlah pihak menolak usulan tersebut. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Syarif Hasan, mengatakan tak ada urgensi atas wacana itu. Apalagi saat ini badan kajian yang akan mendalami masih dalam taraf penyempurnaan.
“Saya pikir sudah cukup dua kali lima tahun, tidak ada urgensinya, dan belum ada pemikiran sampai sejauh itu,” katanya beberapa waktu lalu.
Syarif menilai, amandemen yang diamanahkan MPR periode lalu terbatas, sehingga tidak akan sampai pada perubahan masa jabatan presiden. “Ini penyempurnaan terbatas, jadi tidak sampai kepada perpanjangan masa jabatan presiden,”katanya.
Senada dengan itu, Wakil Ketua (MPR), Arsul Sani, menjelaskan soal usulan revisi masa jabatan presiden bakal ditampung. Sebab wacana tersebut muncul ke ruang publik. Selain itu, pihaknya juga tak bisa membatasi amandemen hanya sekedar menghidupkan haluan negara. “Memang harus ditampung oleh MPR,” ujarnya.
Namun berbeda dengan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto. Partainya berkomitmen pada semangat demokrasi, karenanya amendemen UUD 1945 hanya mengenai haluan negara, bukan perpanjangan masa jabatan presiden.
Masa jabatan presiden yang dipakai Indonesia saat ini, kata Hasto, masih terbilang ideal, sehingga tidak perlu ada perubahan poin dalam amendemen terbatas. “Kekuasaan presiden itu dua kali berdasarkan konstitusi ketentuan, sekarang masih ideal,” ujarnya.
Diketahui, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia, Tsamara Amany, mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk masa jabatan presiden diubah menjadi tujuh tahun, tetapi dibatasi hanya satu periode.
Sebab masa jabatan satu periode akan membuat presiden terlepas dari tekanan politik jangka pendek dan lebih fokus untuk melahirkan kebijakan terbaik.
“Jika hanya satu periode, setiap presiden akan bekerja semaksimal mungkin, fokus bekerja buat rakyat dan tak memikirkan pemilu berikutnya,” katanya. [Fan]