CrispyVeritas

Wilayah Mana di Dunia yang Luput Diserang Virus Corona?

Korea Utara dan Turkmenistan mungkin juga mendapat manfaat dari isolasi yang mereka lakukan. Dengan sedikit pelancong keluar-masuk, virus ini memiliki lebih sedikit peluang untuk memasuki negara-negara tersebut

Dari sekitar 200 negara di dunia, 181 di antaranya telah melaporkan setidaknya satu kasus penyakit akibat virus corona, Covid-19, sebagaimana kemudian tercatat di pusat penelitian virus corona Johns Hopkins University. Pandemi yang awalnya muncul pada akhir Desember 2019 di Wuhan, Cina, itu telah menyebar ke seluruh dunia pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hingga 2 April saja kasusnya telah melampaui 1 juta. Virus ini diyakini telah ada hampir di mana-mana.

Turkmenistan yang begitu santuynya belum membatasi diri untuk menjaga jarak sosial di antara mereka, jangankan lockdown. Namun pemerintah mereka melarang keras penggunaan kata ‘virus corona’.

Persoalannya, ketika ada negara yang sama sekali tak melaporkan adanya kasus virus corona di negara mereka, apa itu artinya? Apakah mereka sama sekali tak melakukan pengujian karena tidak ada alat uji? Atau justru mereka berbohong? Apakah mereka tak tertular itu karena terisolasi?

Sebagian besar negara yang belum melaporkan adanya kasus adalah negara-negara yang berada di Kepulauan Pasifik kecil (mikronesia), diikuti segelintir negara di Asia dan Afrika.

Negara-negara Kepulauan Pasifik sejauh ini tampak terhindar. Tetapi pemerintah-pemerintah di wilayah itu sepertinya belum puas hanya dengan itu. Pada akhir Januari, Negara Federasi Mikronesia (Federated States of Micronesia) mendeklarasikan keadaan darurat kesehatan masyarakat, dan pada 14 Maret segera memberlakukan langkah-langkah kontrol perbatasan yang ketat, termasuk melarang pelancong dari negara-negara dengan kasus COVID-19. Mereka juga melarang warga negaranya bepergian ke luar negeri, terutama ke negara-negara dengan catatan kasus (kecuali ke Guam dan Hawaii).

Pada 31 Maret, Presiden David W. Panuelo mengeluarkan siaran pers yang merefleksikan keadaan darurat selama dua bulan. Di dalamnya, Panuelo menekankan agar warganya, “Cucilah tangan Anda; hindari pertemuan sosial yang besar; dan di atas semua itu, pertahankan rasa empati dan belas kasihan khas Mikronesia terhadap rekan-rekan Anda.”

Dia kemudian mendesak orang Mikronesia di luar negeri untuk “mengindahkan nasihat dari pemerintah tuan rumah dan profesional medis mereka, jadikan itu seolah-olah datang dari Alkitab sendiri.”

Negara terbesar dari negara-negara Oseanik yang tidak memiliki kasus COVID-19 yang terkonfirmasi adalah Kepulauan Solomon. Dengan populasi lebih dari 600 ribu jiwa, pemerintah negara itu tidak tinggal diam. Pada 25 Maret, keadaan darurat publik diumumkan dan Honiara telah mengirimkan sampel ke Australia untuk pengujian (sejauh ini 10 tes kembali negatif, dengan tiga kasus yang diduga masih menunggu konfirmasi).

Saat ini, hanya Papua Nugini dan Fiji yang memiliki kemampuan pengujian dalam negeri. Tidak mengherankan bahwa keduanya telah mengidentifikasi kasus–masing-masing satu dan tujuh kasus. Guam juga telah mencatatkan adanya kasus, yakni 82 per 2 April dan belum menghitung meningkatnya jumlah kasus di USS Theodore Roosevelt yang sempat merapat di mulut Pelabuhan Apra.

Selain Kepulauan Solomon, Vanuatu, Samoa, Kiribati, Mikronesia, Tonga, Kepulauan Marshall Palau, Tuvalu, dan Nauru tidak memiliki kasus COVID-19 yang dilaporkan. Orang-orang pun banyak yang membatasi perjalanan dan mengambil langkah-langkah lain untuk mencegah kedatangan atau penyebaran virus.

Di tempat lain di area cakupan The Diplomat, tak mudah untuk percaya penyangkalan pemerintah tentang adanya kasus dan mengambil beberapa langkah untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Korea Utara belum melaporkan kasus apa pun. Negara yang sudah terisolasi itu mengambil langkah-langkah pencegahan sejak dini, menyegel perbatasannya dengan Cina pada Januari, menutup pintu untuk semua pelancong asing. Tetapi pengamat Korea Utara skeptis terhadap klaim tak adanya kasus di negara itu.

Kurangnya kapasitas pengujian, situasi yang diperparah dengan sanksi internasional; sistem pelayanan kesehatan yang lemah; dan tingkat kerahasiaan negara yang tinggi,  merupakan alasan untuk munculnya skeptisisme. Apakah Korea Utara tidak dapat memastikan apakah mereka memiliki kasus, atau berbohong secara terang-terangan,  adalah pilihan yang masuk akal.

Di tempat lain di Asia, ada alasan serupa untuk skeptis. Turkmenistan dan Tajikistan sama-sama mengklaim belum mengkonfirmasi kasus apa pun. Itu mungkin benar. Turkmenistan setara dengan Korea Utara dalam hal kerahasiaan dan isolasi negara, tetapi jauh lebih jauh dari sumber virus, Cina.

Dengan sedikit pelancong yang bepergian melalui negara ini, virus mungkin belum datang. Dan dengan sistem layanan kesehatan yang buruk, Ashgabat mungkin tidak memiliki kapasitas untuk menguji virus. Kami hanya tidak tahu: meskipun Turkmenistan tidak melarang kata “coronavirus,” ia tidak repot-repot menggunakannya atau menerapkan tindakan pencegahan.

Ada laporan tentang beberapa pembatasan gerakan internal dan, menurut Departemen Luar Negeri AS, Ashgabat telah melarang masuknya orang asing serta melarang keluarnya pesawat untuk penerbangan internasional.

Tajikistan, telah mengutak-atik berbagai pembatasan perjalanan yang berorientasi eksternal. Tetapi di dalam negeri Presiden Rahmon terus muncul di pertemuan publik yang besar, dikelilingi kerumunan wanita yang mengenakan pakaian tradisional dan dipeluk anak-anak yang berkerumun. Tajikistan mengumumkan akan memblokir masuknya warga dari 35 negara yang terkena coronavirus pada awal Maret, tetapi sebelum tanggal itu pun segera menjalankan pembatasan tersebut.

Pemerintah AS telah memberikan bantuan kepada Tajikistan, termasuk peralatan pelindung pribadi untuk menangani virus corona, atas permintaan Kementerian Kesehatan Tajikistan.

Jadi, pada akhirnya, apa yang harus kita lakukan terhadap negara-negara yang belum melaporkan adanya kasus? Apakah mereka tidak dapat menguji? Apakah mereka berbohong? Apakah mereka terisolasi? Kenyataannya, mungkin realitasnya memang campuran semua itu.

Pasifik, dalam pikiran saya, telah mendapat manfaat dari semacam isolasi dan upaya awal untuk mencegah apa yang bisa menjadi bencana total. Pemerintah lokal sangat menyadari betapa buruknya penularan virus di pulau mereka, mengingat wabah campak yang berasal dari Samoa yang tahun lalu memusingkan mereka.

Korea Utara dan Turkmenistan mungkin juga mendapat manfaat dari isolasi yang mereka lakukan. Dengan sedikit pelancong keluar-masuk, virus ini memiliki lebih sedikit peluang untuk memasuki negara-negara tersebut. Tapi ini hanya masuk akal sampai titik tertentu: analis percaya penyelundup melanjutkan bisnis dengan Korea Utara, dan Turkmenistan tidak harus memiliki kontrol perbatasan yang sangat kuat.

Dalam kolom “mereka mungkin berbohong”, kedua negara sangat otoriter, tidak transparan dan tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas. Singkatnya: mereka bisa berbohong dan lolos dengan (politik) itu  tanpa konsekuensi.

Tajikistan juga lebih dekat ke kategori ini daripada wilayah Pasifik, sebagai negara otokratis dengan sejarah yang sulit terbukti dekat dengan kebenaran. Tajikistan juga jauh lebih terisolasi dari Turkmenistan. Ibu kota Dushanbe harusnya punya kekuatiran sebagaimana terjadi di negara tetangga Kyrgyzstan, bahwa kasus-kasus pertama di negara itu yang diidentifikasi pada pertengahan Maret, muncul dari orang-orang yang baru-baru ini melakukan perjalanan ke Mekah, Arab Saudi. Orang-orang Tajik melakukan ziarah yang sama, sehingga menimbulkan risiko yang sama. Tetapi Bishkek memang telah memberlakukan penguncian, mendorong orang aar melakukan social distancing, menetapkan jam malam, dan secara aktif menguji individu-individu. Sementara kepemimpinan di Tajikistan kurang kuat dengan tindakan pencegahan dan mitigasi seperti itu.

Waktu akan memberi tahu kita. Tetapi bisa dibilang tidak ada sudut dunia yang berpenghuni yang akan nol kasus. Sepertinya. [ Catherine Putz/TheDiplomat]

Back to top button