Crispy

Yang Terlupa di Tengah Pemboman Gaza: Komunitas Kristen Palestina

  • Umat Kristen ada di Gaza sejak Rasul Filipus melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Gaza untuk menyebarkan berita.
  • Populasi mereka menyusut dari 3.000 menjadi 1.000. Yang tersisa bersumpah tidak akan pergi.

JERNIH — Pers Barat, juga Timur Tengah, sama sekali tak menyinggung nasib komunitas ini ketika Israel membom RS Al Ahli Arab pada 17 Oktober, yang menewaskan 500 orang.

Bahkan, ketika dua hari kemudian Israel membom Gereja St Porphyrus — tempat ibadah umat Kristen tertua di Jalur Gaza — dan menewaskan 18 orang, tidak pula ada yang secara khusus menyinggung minoritas keagamaan ini.

RS Al Ahli Arab adalah institusi Anglikan, tapi Inggris lebih suka diam. Gereja St Porphyrus menginduk ke Patriarkat Ortodoks Yerusalem, dan milik Gereja Ortodoks Yunani.

Situs Aljazeera memberitakan komunitas Kristen terguncang oleh dua pemboman itu, tapi mereka belum meninggalkan Gaza — wilayah yang kaya akan warisan Kristen sejak dua milenium.

Siapa Umat Kristen Gaza

Ada dua pertanyaan menarik; siapa umat Kristen Gaza dan berapa jumlah mereka?

Tahun 2007, menurut catatan otoritas Palestina, terdapat 3.000 pemeluk Krsiten di Gaza. Setelah Hamas mengambil kendali penuh atas wilayah itu, populasi umat Kristen menyusut dan kini tersisa 1.000 orang saja.

Kamel Ayyad, juru bicara Gereja Saint Porphyrus, mengatakan umat Kristen Gaza saat ini adalah penduduk Gaza. Mereka lari dari wilayah lain di Palestina setelah pembentukan negara Israel.

Mereka adalah bagian dari 700 ribu warga Palesetina yang mengungsi dalam sebuah peristiwa yang disebut Nakba, atau bencana.

Setelah Hamas berkuasa gi Gaza, Israel menerapkan blokade darat, laut, dan udara. Gaza dilanda kemiskinan dan umat Kristen lari.

“Sangat sulit bagi masyarakat tinggal di sini,” kata Ayyad. “Banyak orang Kristen berangkat ke Tepi Barat, AS, Kanada, dan negara-negara Arab, mencari pendidikan dan penghidupan lebih baik.”

Sebagian besar umat Kristen Gaza adalah penganut Ortodoks Yunani, dan hanya sebagian kecil beribadah di Gereja Katolik Keluarga Kudus dan Gereja Baptis.

Ada ketidakstabilan di kalangan umat Kristen Gaza. Fadi Salfiti, yang melarikan diri dari Nablus ke Gaza tahun 1948, menghadiri semua gereja.

“Minggu pagi kami pergi ke Gereja Ortodoks, sore hari ke Gereja Katolik, dan malam hari kami hadir di Gereja Protestan,” katanya.

Salfiti sedang berada di Madrid, Spanyol, ketika bom jatuh di Gereja St Porphyrus. Tiga anak sepupunya; Majid (10), Juli (12), dan Suhail (14), tewas.

Kapan Umat Kristen Ada di Gaza

Umat Kristen telah ada di Gaza sejak agama itu masih berupa sekte teraniaya yang menjanjikan keselamatan bagi mereka yang tertindas. Kekristenan saat itu masih bagian dari sekte Judaisme.

Dalam Alkitab disebutkan setelah penyaliban Yesus Kristus, Rasul Filipus melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Gaza untuk menyebarkan berita. Filipus hadir pada pesta pernikahan di Kana, kini masuk wilayah Lebanon, saat Yesus mengubah air menjadi anggur.

Gereja St Porphyrus berdiri di Gaza pada abad kelima, setelah kematian uskup eponymous yang mengkristenkan orang kafir di tempat itu, serta membakar berhala dan kuil.

Setelah penaklukan Persia pada abad ke-7, gereja diubah menjadi masjid. Pada abad ke-12, Tentara Salib membangun kembali Gereja St Porphyrus.

Umat Kristen Palestina di seluruh wilayah pendudukan berjumlah 50 ribu. Terkadang mereka disebut batu hidup, metafora yang digunakan Rasul Petrus untuk menggambarkan perang orang-orang beriman dalam pembangunan rumah rohani Tuhan.

Saat ini, sebutan itu digunakan kepada mereka sebagai pemelihara agama yang lahir di tanah mereka.

Hubungan Muslim-Kristen di Gaza

“Kami adalah warga Palestina,” kata Ayyad. “Kami tinggal di kota yang sama dengan penderitaan sama. Kami semua terkepung, dan bernasib sama.”

Secara umum, komunitas Kristen memainkan peran penting dalam kehidupan Palesetina. Mereka punya Issa el-Issa, pendiri surat kabar berpengaruh di Jaffa, Falastin, yang mendorong nasionalisme Arab-Palesetina selama wilayah itu menjadi Mandat-Inggris.

Mereka punya Edward Said, yang mengungkapkan rasa puas diri Barat terhadap Timur dalam bukunya yang terkenal; Orientalisme.

Di Gaza, umat Kristen yang kecil memainkan peran besar karena cenderung berpendidikan tinggi, memiliki kehadiran yang kuat di dunia bisnis dan relawan.

Ada upaya menyabotase kemesraan Kristen-Muslim ketika tahun 2007 terjadi pembunuhan Rami Ayyad — manajer toko buku yang dikelola Gereja Baptis. Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab, yang membuat Hamas mengeluarkan kutukan dengan mengatakan tidak akan membiarkan siapa pun menyabotase hubungan Muslim-Kristen.

Seperti umat Islam yang kerap dicegah mengunjungi Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, umat Kristen Palestina tidak dapat mengunjungi Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem. Israel berusaha memutus komunitas Kristen Gaza dengan keluarga mereka di Tepi Barat.

Sebelum dibom Israel, umat Islam berlindung di Gereja St Porphyrus. Setelah gereja itu dibom, semua pindah ke Gereja Keluarga Kudus yang hanya 400 meter jauhnya.

Nisreen Anton, manajer proyek umum gereja itu, mengatakan Umat Kristen akan bertahan di Gaza apa pun situasinya. “Ini tanah kami dan kami tidak dapat meninggalkannya,” katanya.

Back to top button