Amerika Berada di Balik Gerakan Anti-Maduro di Venezuela
Vox.com menulis, pemerintah Trump dan kambrat-kambrat internasionalnya menyokong penuh Guaido. Para pengamat internasional, yang memang tak pernah alpa dari kepentingan menyatakan Maduro bukan presiden Venezuela yang sah
CARACAS—Venezuela sepeninggal Hugo Chavez ternyata kian terbenam ke dalam lumpur aneka persoalan. Ekonomi yang suram, kemelaratan yang mencekik, harga-harga yang membumbung tinggi, menjadi masalah keseharian warga Venezuela.
Akibatnya, jutaan rakyat disebut-sebut telah meninggalkan negara itu karena krisis ekonomi yang kian mustahil dihadapi. Ah, yang membuat trenyuh dan kasihan, nama pahlawan negeri itu di masa lampau, Simon Bolivar, pun terpuruk. Paling tidak, pahlawan yang namanya diabadikan sebagai nama mata uang Venezuela itu tak lagi punya harga. Inflasi yang membumbung tinggi membuatnya tak lagi berarti. Bagaimana tidak, bila sekilo daging saja harus ditebus dengan 9.500.000 Bolivar, sebagaimana kertas tisu pun harganya sampai 2,6 juta Bolivar.
Senyampang itu, kemiskinan dan tingkat hidup yang buruk membuat krisis kesehatan pun datang. Penyakit-penyakit lama yang pernah hilang dari negara itu muncul kembali karena buruknya sanitasi. Wajar bila Presiden Maduro—wakil yang kemudian menggantikan Chavez, kini menjadi seorang pemimpin yang semakin tidak populer.
Akhirnya demonstrasi besar pun meledak pada awal 2019. Jalanan Venezuela padat oleh massa yang mendukung Juan Guaido, tokoh baru yang kalah dalam Pemilu itu digadang-gadang untuk melawan dominasi Maduro. Saat itu para demonstran berasalasan bahwa ada kecurangan terancana, sistematis dan massal alias TSM, yang memenangkan Maduro.
Vox.com menulis, pemerintah Trump dan kambrat-kambrat internasionalnya menyokong penuh Guaido. Para pengamat internasional, yang memang tak pernah alpa dari kepentingan menyatakan Maduro bukan presiden Venezuela yang sah. Mereka berargumen, pemilihan presiden yang digelar Mei 2018 itu dilakukan dengan penuh kecurangan, sehingga ‘Maduro Sang Diktator’ dapat memenangkan kembali masa jabatan enam tahun keduanya.
Sebagaimana pihak yang kalah dan ogah menerima hasil, Guaido menggalang kekuatan militer untuk mendukungnya. Ia melalukan rally demonstrasi, meminta rakyat turun ke jalan memprotes penetapan pemenang pada peringatan 61 tahun jatuhnya kediktatoran militer di Venezuela. Ia punya target yang jelas: memaksa Maduro mengundurkan diri. Ia salah, lawannya adalah Maduro—bukan Jowo atau Sundo, seorang yang pantang mengundurkan diri meski kehadirannya pun tak membuat kehidupan rakyat makin baik.
Dalam kampanye-kampanye demonstrasinya Guaido berjanji dirinya akan mengambil peran sebagai presiden, hingga pada saatnya tiba untuk menggelar pemilihan umum baru. “Saya sama sekali tak berencana mempertahankan kursi kepresidenan tanpa batas waktu,” kata dia, saat ini, sebelum benar-benar menjadi seorang presiden.
Tidak sebagaimana laiknya perilaku presiden Amerika Serikat yang lebih suka berpihak pada para diktator di seluruh dunia, mungkin karena Maduro menggantikan Chavez, dictator yang selalu memperlihatkan sikap anti-AS di muka umum, Presiden Trump kelihatan lebih pro-Guaido. Kemudian tampak sekali bahwa Trump memiliki minat luar biasa dalam urusan perebutan kekuasaan di Venezuela itu.
Para pejabat pemerintahan Trump, seperti Penasihat Keamanan Nasional John Bolton dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, secara terbuka menyatakan keinginan mereka untuik “…melihat pemerintahan baru di Venezuela”.
Pada 22 Januari 2019, Wakil Presiden Mike Pence bahkan mengunggah sebuah video di Twitter, yang ia tujukan langsung kepada orang-orang Venezuela. Bicara dalam bahasa Inggris dengan terjemahan Spanyol, Pence menyatakan, “Amerika menawarkan dukungan tak tergoyahkan, … karena Anda, rakyat Venezuela, angkat suara untuk menyerukan kebebasan.”
Pence bahkan tak ragu menyebut Maduro seorang diktator tanpa klaim sah atas kekuasaan yang ia pegang saat ini. Untuk itu ia menyatakan komitmen untuk mendukung ‘keputusan berani’ Guaido melawan kekuasaan Maduro dan menggantinya dengan pemerintah transisi.
Pemimpin yang tak diperhitungkan
Menurut pakar politik internal Venezuala yang tinggal di Kolombia, Ronal Rodriguez, Guaido bukanlah tokoh yang paling populer di kalangan oposisi. Rodriguez bahkan mengatakan, awalnya Guaido dipandang sebagai orang kelas tiga yang tak memiliki karisma apa pun untuk menjadi tokoh elit oposisi.
Namun, foto-foto saat dia berbicara kepada banyak orang telah membuat insinyur itu tampak sekelas dengan negarawan besar seperti Barack Obama. “Tentu saja, ia tidak memiliki keterampilan politik seperti mantan presiden Amerika itu,” kata Rodriguez.
Ada pun yang membuatnya begitu menjadi pusat pethatian dalam drama politik Venezuela saat ini, tak lebih dari klaim bahwa dirinyalah presiden yang sah di negara itu. Guaido mengutip Pasal 233 dari konstitusi Venezuela, yang pada dasarnya mengatakan jika presiden gagal dalam tugasnya— atau jika tidak ada kepemimpinan, ketua Majelis Nasional akan mengambil alih negara sementara negara. Guaido mengatakan, dia tidak memiliki rencana untuk mengambil alih istana presiden secara permanen. Namun dirinya akan menggunakan wewenang yang ada untuk mengadakan pemilihan baru yang adil, sambil mendistribusikan bantuan kemanusiaan. Maduro dan para pendukungnya bersikap skeptic atas klaim Guaido tersebut. Ia juga mempertanyakan interpretasi Guaido atas Konstitusi tersebut.
Kini Guaido dan rekan-rekan satu grupnya mengusung argumen ini bahwa dalam demokrasi, kehendak rakyatlah yang paling penting. Pada pidato 11 Januari di Caracas, Guaido berseru,”Apakah cukup bersandar diri kepada konstitusi dalam kediktatoran? Tidak. Perlu orang-orang, militer dan komunitas internasional yang mengarahkan kita untuk mengambil-alih.”
Menariknya, para pejabat pemerintah Trump dan para ‘analis asing’ pun sepakat, meski barangkali Guaido mampu mengumpulkan dukungan dari kalangan masyarakat bawah Venezuela, ia tidak terlihat bisa segera mendapatkan dukungan militer yang ia butuhkan untuk benar-benar memaksa Maduro hengkang dari kekuasaan. [vox.com]