Sebelum berbagai negara membatalkan kesepakatan pembangunan infrastruktur yang tidak efisien, lembaga riset independen Rhodium Group menyatakan, kemajuan atau pertumbuhan proyek-proyek BRI sudah mulai melambat bahkan sebelum COVID-19. Hal itu menegaskan bahwa investasi Cina stagnan dan bahkan melambat di sebagian besar negara berkembang dalam tiga tahun terakhir, lapor The Kabul Times.
JERNIH– Dari jebakan utang, pandemi COVID-19, hingga krisis ekonomi, terdapat sederet alasan mengapa banyak proyek Sabuk dan Jalan (OBOR) Cina yang berakhir mangkrak.
Tahun 2019, dalam pertemuan di Beijing, Cina antara para pemimpin dunia yang telah menandatangani Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), Presiden Cina Xi Jinping membumbui pidatonya dengan peribahasa. “Aliran sungai yang tiada henti membuat lautan semakin dalam,” merujuk pada bagaimana skema BRI yang melibatkan pengeluaran besar untuk infrastruktur di negara lain akan mendorong arus barang, modal, teknologi global, dan pertumbuhan ekonomi.
Di tengah pandemi COVID-19, banyak negara mungkin berharap demikian. Namun, beberapa proyek BRI terhenti ketika negara-negara kesulitan untuk membayar utang terkait. Ekonomi Cina sendiri juga goyah, menurut editorial The Economist, sementara jalan sutra baru pun semakin bergelombang.
Jebakan utang Cina yang menjadi momok
Februari 2020, Mesir menunda pembangunan yang didanai Cina tanpa batas waktu atas calon pembangkit listrik tenaga batu bara terbesar kedua di dunia di Hamrawein. Maret 2020, Bangladesh membatalkan rencana untuk pabrik batu bara di Gazaria. April 2020, Pakistan meminta persyaratan pembayaran yang lebih mudah dari Cina untuk proyek pembangkit listrik senilai 30 miliar dolar AS.
Pada April 2020, Presiden Tanzania John Magufuli, mengaku membatalkan proyek pelabuhan senilai 10 miliar dolar AS di Bagamoyo karena ditandatangani oleh pendahulunya dengan syarat yang serampangan, terutama bahwa Cina akan mendapatkan kendali penuh atas pelabuhan tersebut dengan sewa 99 tahun.
Mei 2020, legislator Nigeria melakukan pemungutan suara untuk meninjau ulang semua pinjaman Cina untuk proyek-proyek Cina di tengah kekhawatiran pembiayaan mungkin telah disepakati dengan persyaratan yang tidak menguntungkan. Para pemimpin Afrika telah menyerukan pengampunan utang darurat dari kreditur berdaulat termasuk Cina, yang meminjamkan sekitar 8 miliar dolar AS tahun ini dalam pembayaran sekitar 145 miliar dolar AS pinjaman ke negara-negara Afrika, banyak yang melibatkan proyek BRI.
Pengerjaan proyek-proyek BRI juga telah ditunda oleh karantina dan protokol kesehatan terkait pandemi, termasuk pembatasan yang diberlakukan beberapa negara terhadap pemulangan pekerja Cina yang kembali ke Cina untuk liburan tahun baru Imlek pada Januari 2020.
Impian Presiden Cina Xi Jinping untuk menetapkan tatanan dunia baru telah runtuh setelah COVID-19 memperlambat Inisiatif Jalan Sabuk (BRI), mendorongnya menjadi tidak layak secara finansial, lapor The Kabul Times. Cina terpaksa mengurangi pinjaman dan investasi baru di bawah BRI karena ekonomi negara yang menyusut, yang diperparah oleh pandemi.
Investasi Cina telah berkurang menjadi 47 miliar dolar pada 2020, kemerosotan besar sebesar 54 persen hanya dalam satu tahun, menurut organisasi penelitian Green Belt and Road Initiative Centre, tulis The Hindustan Times.
Wang Xiaolong, direktur jenderal Departemen Urusan Ekonomi Internasional Kementerian Luar Negeri Cina, menyebutkan 20 persen dari proyek-proyek BRI terkena dampak serius, sementara 30-40 persen lainnya mengalami dampak buruk, catat The Kabul Times.
Ekonomi Cina merosot drastis selama pandemi. Ada laporan bahwa pinjaman di bawah BRI telah turun dari 75 miliar dolar pada 2016 menjadi hanya 3 miliar dolar pada 2020. Selain itu, proyek-proyek BRI terlibat dalam berbagai masalah seperti korupsi, kurangnya transparansi keuangan, kondisi pinjaman yang tidak adil, ketakutan akan jebakan utang, serta dampak negatif sosial dan lingkungan.
Tingkat pertumbuhan yang berkurang telah memaksa pemerintah Cina untuk memperketat disiplin fiskal dan memperhitungkan risiko keuangan, yang akan diterjemahkan ke dalam prospek lebih rendah Cina untuk mengucurkan uang ke dalam proyek-proyek BRI.
Menurut lembaga riset independen Rhodium Group, kemajuan atau pertumbuhan proyek-proyek BRI sudah mulai melambat bahkan sebelum COVID-19. Hal itu menegaskan bahwa investasi Cina stagnan dan bahkan melambat di sebagian besar negara berkembang dalam tiga tahun terakhir, lapor The Kabul Times.
Cina telah merayu negara-negara berkembang atau miskin di Afrika dan Asia dengan pinjaman dan investasi sejak dimulainya proyek-proyek BRI. Namun, COVID-19 telah menyebabkan jutaan bisnis Cina bangkrut dan arus kas terganggu, sehingga berdampak besar pada perekonomian negara, tulis The Hindustan Times.
Kontraksi dalam pinjaman Cina kini akan memperlebar kesenjangan pinjaman luar negeri. Ketika BRI terhambat, citra diplomatik Cina sebagai mitra pembangunan yang dapat diandalkan akan rusak, The Kabul Times menyimpulkan.
Secara khusus, Cina telah dituduh menggunakan proyek “jebakan utang” untuk menjerat negara-negara miskin dan memperluas pengaruhnya hampir di seluruh dunia, News.com.au melaporkan. Dengan tawaran pinjaman dan proyek infrastruktur yang luas seperti jalan, kereta api dan jembatan, banyak negara akhirnya mendapatkan lebih dari yang mereka tawar dengan Cina. Terpesona oleh promosi penjualan mewah, banyak negara akhirnya tidak mampu melunasi pembayaran ke Cina. Proyek-proyek infrastruktur tersebut akhirnya terbengkalai atau tak terselesaikan sampai utangnya dilunasi.
Inisiatif BRI telah menyebabkan Cina menguasai pegunungan kaya sumber daya di Tajikistan dan diduga mengambil-alih saham di pelabuhan utama di Sri Lanka. Para ahli khawatir, ketika utang meningkat, banyak proyek-proyek tersebut tak kunjung selesai, sementara pemberi pinjaman Cina akan mengambil alih tanah dan aset strategis sebagai pengganti pembayaran.
News.com.au mencatat, negara-negara seperti Sri Lanka, Kenya, Montenegro, Laos, dan Kazakhstan telah dilumpuhkan oleh utang dan bergantung pada Cina. Ada semakin banyak pertanyaan tentang kebijaksanaan yang terlalu bergantung pada keuangan Cina dan berakhir dalam bentuk ketergantungan utang pada Cina.
Inisiatif BRI telah disebut para pejabat Cina sebagai dana pembangunan infrastruktur global yang bertujuan menghubungkan Cina ke seluruh dunia. Namun, beberapa pihak melihatnya sebagai rencana untuk memajukan ambisi Cina menggunakan “pinjaman predator” dan “jebakan utang” untuk merangkul negara-negara dunia di bawah lingkup pengaruh Cina.
Kekhawatiran Cina yang berkembang atas kelangsungan skema di inisiatif BRI telah meninggalkan proyek-proyek infrastruktur dalam keadaan terbengkalai bagi negara-negara miskin.
Mantan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, pernah mengatakan bahwa Cina “menggunakan kontrak abu-abu, praktik pinjaman predator, dan kesepakatan korup untuk menjerat negara-negara dalam utang dan melemahkan kedaulatan mereka, menghambat pertumbuhan mandiri jangka panjang mereka.”
Pada 2018, the Center for Global Development menyebut Djibouti, Kirgistan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan sebagai negara yang “sangat rentan terhadap tekanan utang” karena Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China, tulis News.com.au.
Kejatuhan ekonomi Cina?
Di dalam negeri, perusahaan-perusahaan bodong negara didukung pemerintah Cina, sementara perusahaan swasta kekurangan modal. Analisis ekonomi objektif digantikan oleh propaganda pemerintah. Inovasi menjadi lebih sulit dalam iklim keseragaman ideologis yang melemahkan. Sementara itu, kampanye anti-korupsi brutal Xi telah menghalangi kewirausahaan.
Gelombang peraturan yang didorong oleh politik telah menghapus lebih dari 1 triliun dolar AS dari kapitalisasi pasar perusahaan teknologi terkemuka Cina. Xi tidak hanya menghentikan proses liberalisasi ekonomi yang mendorong pembangunan Cina, tetapi telah membaliknya dengan keras.
Kerusakan ekonomi yang disebabkan tren-tren tersebut mulai menumpuk, memperburuk perlambatan yang akan tetap terjadi ketika ekonomi yang tumbuh cepat menjadi matang. Menurut analisis Hal Brands dan Michael Beckley di Foreign Policy, perekonomian Cina telah kehilangan tenaga selama lebih dari satu dekade: tingkat pertumbuhan resmi negara menurun dari 14 persen pada 2007 menjadi 6 persen pada 2019. Studi yang ketat menunjukkan tingkat pertumbuhan sebenarnya kini hingga September 2021 mendekati 2 persen. Lebih buruk lagi, sebagian besar pertumbuhan itu berasal dari pengeluaran stimulus pemerintah.
Menurut data Conference Board, total faktor produktivitas turun rata-rata 1,3 persen setiap tahun antara 2008 dan 2019, berarti Cina menghabiskan lebih banyak untuk menghasilkan lebih sedikit setiap tahun. Hal itu menyebabkan utang besar: total utang Cina melonjak delapan kali lipat antara 2008 dan 2019, melebihi 300 persen PDB sebelum COVID-19.
Setiap negara yang telah mengakumulasi utang atau kehilangan produktivitas yang mendekati kecepatan Cina saat ini telah menderita setidaknya satu dekade yang hilang dari pertumbuhan ekonomi mendekati nol.
Semua ini terjadi ketika Cina menghadapi lingkungan eksternal yang semakin tidak bersahabat. Kombinasi pandemi COVID-19, pelanggaran hak asasi manusia terus-menerus, dan kebijakan agresif menyebabkan pandangan negatif terhadap Cina mencapai tingkat yang tidak pernah terlihat sejak pembantaian Lapangan Tiananmen pada 1989. Negara-negara yang khawatir tentang persaingan Cina telah memberlakukan ribuan hambatan perdagangan baru pada barang-barangnya sejak 2008.
Lebih dari selusin negara telah keluar dari BRI, sementara Amerika Serikat melakukan kampanye global melawan perusahaan-perusahaan teknologi utama Cina, terutama Huawei. Negara-negara demokrasi kaya di berbagai benua menimbulkan hambatan bagi pengaruh digital Cina. Dunia menjadi kurang kondusif untuk pertumbuhan Cina yang mudah, menurut analisis Hal Brands dan Michael Beckley di Foreign Policy, sementara rezim Xi semakin menghadapi semacam pengepungan strategis yang pernah mengguncang para pemimpin Jerman dan Jepang.
Sementara itu muncul gagasan samar tentang “Jalur Sutra Digital”, yang telah diadaptasi untuk penggunaan selama pandemi termasuk membantu negara-negara lain mereplikasi keberhasilan Cina dengan pendekatan berbasis aplikasi untuk melakukan pelacakan COVID-19, menurut editorial The Economist.
Para pejabat Cina mungkin memanfaatkan jeda dalam pekerjaan pembangunan untuk memikirkan ulang mana proyek yang perlu dilanjutkan. Mereka telah dihantam kritik Barat terkait dampak sosial dan lingkungan infrastruktur BRI dan kesepakatan buram yang terlibat. Dalam pertemuan pada 2019 dengan para pemimpin dunia, Xi menekankan bahwa BRI harus “terbuka, hijau, dan bersih”.
Pandemi menawarkan kesempatan secara diam-diam untuk menghapus proyek bendungan yang tidak populer, yang dapat mengalami penundaan mahal karena protes, dan pembangkit listrik batu bara yang kotor, yang memang bukan investasi yang baik.
Jika dilakukan dengan benar, tanpa menenggelamkan negara-negara dalam utang, proyek BRI mungkin akan memberikan dorongan yang baik bagi ekonomi global. Sebelum pandemi, Bank Dunia memperkirakan bahwa proyek transportasi BRI di Asia, termasuk kereta api berkecepatan tinggi, akan meningkatkan PDB negara-negara peserta hingga 3,4 persen secara keseluruhan. Beberapa proyek terhenti dan Cina sekarang disibukkan dengan ekonominya yang terpukul keras.
Namun, Daniel Rosen dari perusahaan riset Rhodium Group berpendapat bahwa bank-bank Cina memiliki cukup kapasitas untuk mempertahankan tingkat pinjaman BRI saat ini. Hanya saja tidak bijaksana secara ekonomi bagi mereka untuk melakukannya, terutama sebelum pemulihan global.
Proyek saingan AS
Ketika itu terjadi, BRI dapat kembali ke fokus aslinya, editorial The Economist menyimpulkan, dan banyak negara yang sangat membutuhkan infrastruktur yang lebih baik akan menyambutnya. Mereka memiliki beberapa pilihan lain. Pada November 2020, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia mengumumkan alternatif untuk BRI yang disebut “Blue Dot Network” untuk mendanai proyek infrastruktur di negara berkembang.
Namun, seperti halnya pemberi pinjaman multilateral seperti Bank Dunia, kekuatan finansial di baliknya terlihat lemah jika dibandingkan BRI. “BRI memiliki janji terbaik untuk memenuhi kesenjangan infrastruktur yang mencolok dalam ekonomi global,” tutur Kevin Gallagher dari Universitas Boston. “Tidak ada lonjakan infrastruktur global tanpa BRI.” Namun untuk saat ini, dorongan itu harus menunggu.
Pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump meluncurkan “Blue Dot Network” yang bertujuan menetapkan standar blue-chip untuk proyek infrastruktur yang akan memikat investor swasta dan mengajak lebih banyak negara bergabung. Itu serupa dengan inisiatif “Clean Network” AS, yang bertujuan menangkis hegemoni Cina dalam teknologi seluler 5G canggih, yang tidak hanya mengancam menimbulkan jurang pemisah antara Amerika Serikat dan seluruh dunia tetapi juga menghadirkan risiko keamanan nyata.
“Prinsip kepercayaan di balik Blue Dot Network dan Clean Network ialah transparansi, akuntabilitas, keberlanjutan, penghormatan terhadap aturan hukum, properti, kedaulatan nasional, hak asasi manusia, lingkungan, dan kehormatan dunia yang bebas, yang tidak dihormati Partai Komunis Cina,” ujar Keith Krach, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk pertumbuhan ekonomi, energi, dan lingkungan selama pemerintahan Trump.
“Cina telah menggunakan prinsip-prinsip itu untuk melawan AS demi keuntungan ekonomi mereka. AS mengambil prinsip-prinsip itu dan, dalam satu manuver besar, menggunakannya untuk melawan Cina dan pada dasarnya mempersenjatai prinsip-prinsip yang melindungi kebebasan kami,” kata dia.
Setelah hampir satu dekade Cina menghadirkan permainan paling gigih, upaya pemerintahan Trump menghadirkan alternatif potensial bagi negara-negara yang membutuhkan investasi tetapi tidak siap untuk menjual diri ke Cina, menurut analisis Keith Johnson di Foreign Policy.
“Blue Dot Network dan Clean Network, seperti kata salah satu menteri keuangan negara anggota kepada saya, adalah ‘alternatif pemersatu dan setara atas jalan tol satu jalur satu arah China’,”ujar Krach.
Pemerintahan Presiden Joe Biden telah menerima tongkat estafet dan melanjutkan ambisi Trump. Musim panas ini, Biden mengumumkan inisiatif “Build Back Better World” (B3W) di KTT G7, merujuk pada dorongan infrastruktur domestik Biden, yang secara eksplisit dibangun di atas fondasi Blue Dot Network Trump yang diwarisinya.
Biden dan para pemimpin G7 membahas inisiatif infrastruktur terkoordinasi untuk negara-negara berkembang untuk melawan program Cina. Gagasannya adalah meningkatkan keuangan pembangunan AS dan Barat secara eksplisit melawan Cina, tetapi tidak secara frontal. B3W berfokus pada beberapa bidang inti seperti perubahan iklim, keamanan kesehatan, konektivitas digital, dan kesetaraan gender, yang tidak persis menyerupai upaya Cina mengeruk pelabuhan atau membuat jalan raya dari lereng gunung.
[The Economist/Foreign Policy/News.com.au/The Kabul Times/The Hindustan Times]