Hari Ini 30 Tahun Lalu Tembok Berlin Runtuh
Berlin — Hari ini 30 tahun lalu, Tembok Berlin (Berlin Wall) — yang membelah Jerman menjadi Barat dan Timur — runtuh. Penghalang kasat mata itu runtuh dan Jerman bersatu, tapi penghalang tak terlihat masih membelah negara itu.
Banyak orang masih mengenang saat tembok itu runtuh. Hari itu, 9 November 1989, warga Jerman Timur berkerumun di sepanjang tembok yang memisah kota sekian menit setelah pemerintah Jerman Timur mengumumkan mencabut pembatasan perjalanan dari Timur ke Barat.
Warga Jerman Timur yang semula takut tiba-tiba menjadi berani. Mereka menyuarakan kebebasan, dan menyanyikan lagi persatuan.
Jam-jam berikutnya adalah dunia menyaksikan keruntuhan tembok yang selama 30 tahun membelah sebuah bangsa. Di sekujur Jerman Timur, warga Jerman Timur keluar rumah menyaksikan peristiwa itu.
Orang-orang di sebelah timur Berlin larut dalam euphoria bisa melewati tembok, berlarian di jalan-jalan sebelah barat Berlin, dan kembali lagi.
Peta Eropa berubah. Jerman tidak lagi terbelah, tapi menyatu. Namun, setelah 30 tahun keruntuhan tembok Berlin, Jerman tidak pernah benar-benar bersatu.
Steffen Mau, profesor sosiologi Universitas Humboldt Berlin, mengatakan orang Jerman sebelah barat dan timur masih memiliki perbedaan sikap dan mental. Orang sebelah timur Jerman masih mewarisi sikap mental lama, yang tidak mempercayai lembaga-lembaga demokrasi.
Lainnya, menurut Mau, ada perbedaan pandangan antara orang-orang di barat dan timur mengenai elite dan media, dan hubungan Jerman saat ini dengan Rusia.
“Sebagian besar orang Jerman Barat mengatakan tidak ada perbedaan lagi, semua tersapu transformasi,” kata Mau. “Orang Jerman Timur mengatakan masih ada perbedaan mencolok antara timur dan barat.”
Beberapa survei memperlihatkan lebih setengah warga sebelah timur Jerman masih merasa warga kelas dua. Soal kemakmuran, enam negara bagian eks Jerman Timur — terhitung sejak Tembok Berlin runtuh — masih harus melakukan banyak hal untuk kaya.
Alasannya, komunisme di Jerman Timur menghancurkan ekonomi dan memiskinkan seluruh penduduk.
Tahun 1991, Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman Timur mencapai 9.701 euro per kapita. Jerman Barat 22.687 euro per kapita. Selama tiga dekade, Jerman Barat berusaha menutupi kesenjatangan ini, tapi PDB dan pendapatan per kapita Jerman Timur tetap tertinggal.
Holger Schmieding, ekonom Berenberg Bank, mengatakan perbedaan yang tersisa bermuara pada satu masalah, yaitu sebagian besar orang terkaya di Jerman tinggal di Barat. Lainnya, perusahaan-perusahaan besar dan berpenghasilan tinggi lenyap dari Timur.
Halle Institute for Economic Research mengatakan hanya 36 dari 500 perusahaan terbesar di Jerman berkantor di Timur. Kesenjangan juga terjadi antara kota dan desa. Alasannya, sebelah timur Jerman adalah pedesaan, dengan banyak daerah tertinggal.
Populasi sebelah timur Jerman lebih sedikit, hanya 12,5 juta orang — itu pun sudah termasuk mereka yang tinggal di Berlin. Di sebelah barat, 66 juga orang memadati desa dan kota.
Di industri sepakbola, hanya dua klub Bundesliga yang berasal dari sebelah timur. Lainnya, atau 18 tim, berasal dari barat. Jerman sebelah barat lebih banyak memiliki peraih medali Olimpiade.
Lebih rinci lagi, sebagian besar penduduk Jerman berusia tua, miskin, dan kebanyakan laki-laki. Ini disebabkan eksodus besar-besaran dari timur ke barat setelah Tembok Berlin runtuh.
Dua juga orang meninggalkan rumah-rumah mereka di sebelah timur, untuk mencari kerja di barat. Yang mengejutkan kebanyakan yang eksodus, sekitar 70 persen, adalah perempuan.
“Pria dan wanita di timur menikah lebih awal, tapi setelah Tembok Berlin runtuh mereka bercerai,” kata Mau. “Wanita Jerman Timur sangat mandiri, percaya diri, dan yakin bisa bekerja di barat.”
Perempuan dari timur jauh lebih mampu berintegrasi dengan masyarakat barat. Laki-laki dari timur yang mencoba peruntungan di barat umumnya kembali ke tanah kelahiran. Akibatnya, perempuan dari timur bisa hidup lebih baik di barat.
Contoh sukses perempuan sebelah timur Jerman adalah tiga dari empat wanita yang menjadi eksekutif perusahaan besar di Jerman berasal dari timur. Hanya satu perempuan dari sebelah barat Jerman yang mencapai posisi tertinggi di perusahaan besar.
Tidak sulit menjelaskan perbedaan ini. Budaya di timur mendorong perempuan untuk bekerja. Artinya, akses ke pengasuhan anak gratis jauh lebih baik di timur.
Di bidang pendidikan, anak di timur mendapat nilai lebih tinggi dalam membaca dan matematika. Anak-anak dari timur juga selalu lebih unggul dalam ujian sekolah.
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan (OECD) mengatakan di timur sekolah adalah sumber kebanggaan. Sistem pendidikan di timur lebih adil, karena tidak membagi anak-anak ke dalam kelompok kemampuan.
Yang membuat sistem pendidikan di timur lebih baik adalah, menurut peneliti Bastian Betthäuser, adalah orang di timur bersemangat melakukan segala sesuatu lebih baik dengan cara barat. Akibatnya, anak-anak di timur dipacu untuk tidak tinggal kelas.
Secara politis, Jerman masih terpecah. Pemilih di bekas neara komunis cenderung memilih partai sayap kanan. Mau mengatakan semua itu disebabkan trauma masa lalu.
“Hidup semakin berat bagi warga timur setelah penyatuan Jerman, karena lingkungan mereka bertransformasi dengan kecepatan luar biasa,” ujar Mau.
Banyak orang, masih menurut Mau, terpaksa menganggur sangat lama. Dalam politik, para pengangguran menolak menerima perubahan sosial lebih banyak. Di sisi lain, warga barat masih belum berubah, dan selalu memandang saudara mereka di timur dengan tatapan negatif.
Di sebelah timur, banyak anak lahir dari pasangan belum menikah. Di barat, sangat sedikit anak lahir dari pasangan belum menikah. Artinya, masyarakat di barat masih konservatif dan relijius. Menariknya, semakin banyak perempuan di barat tidak memiliki anak.
Orang di barat punya mobil lebih banyak. Di timur, warga jarang belanja. Orang timur lebih suka ke hypermarket. Di barat, orang lebih suka mampir ke toko grosir.
Di timur, orang masih setia dengan merk lama peninggalan komunis, salah satunya Vita Cola — Coca Cola versi komunis Jerman Timur.