Menulis Ulang Sejarah Perang Dunia II: Ambisi Besar Vladimir Putin
“Saya ingin menekankan sekali lagi,” katanya, merujuk orang-orang Polandia dan para pengkritik lainnya, “bahwa kita akan menjejali mulut kotor mereka dengan dokumen agar mereka belajar pelajaran sejarah mereka.”
JAKARTA– Presiden Rusia Vladimir Putin kembali menegaskan ambisinya untuk mengubah sejarah Perang Dunia II. Berbicara pada pertemuan informal Commonwealth of Independent States (CIS), 20 Desember 2019 lalu, Putin menyalahkan Polandia atas pecahnya perang tersebut sambil menyangkal tanggung jawab dan mengecilkan peran Uni Soviet.
“Ketika mewujudkan tentara bayaran dan ambisi yang terlalu tinggi, mereka (Polandia) telah menempatkan rakyat mereka, rakyat Polandia, rentan terhadap serangan dari mesin militer Jerman dan umumnya berkontribusi terhadap awal Perang Dunia II,” kata Putin.
Pernyataan Putin telah memicu serangkaian bantahan dari negara-negara tetangga Rusia. Kementerian Luar Negeri Polandia mengecam klaimnya sebagai propaganda Stalinis dan menuduh pemimpin Rusia itu merusak upaya bersama “untuk menemukan jalan kebenaran dan rekonsiliasi dalam hubungan Polandia-Rusia.”
Di Twitter, Perdana Menteri Belgia dan anggota Parlemen Eropa terkemuka, Guy Verhofstadt, mengunggah respons keras. “Gila!” tulis Verhofstadt. “Bisa-bisanya Putin menyangkal bahwa Stalin berkolusi dengan Hitler dan menghancurkan Polandia. Seekor monster masih dielu-elukan di Rusia era Putin.”
Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki melontarkan pernyataan emosional. Dia menuduh Putin dengan sengaja berbohong tentang Polandia pada banyak kesempatan. “Rakyat Rusia layak mendapatkan kebenaran.”
Putin terkenal gemar mengutip referensi sejarah, tetapi pernyataannya akhir tahun lalu sangatlah tidak biasa, bahkan dalam standardnya sendiri sekali pun. Putin berbicara masalah tersebut selama hampir satu jam kepada delapan sesama pemimpin yang memandangnya dengan wajah datar (meskipun Presiden Belarus Aleksandr Lukashenko tampak sesekali mencatat).
Ceracau panjang Putin atas revisionisme sejarah adalah reaksi terhadap resolusi Parlemen Eropa pada 19 September 2019 yang bertajuk, “Pentingnya Peringatan Eropa akan Masa Depan Eropa.” Resolusi itu antara lain mengutuk Rusia karena telah “melakukan whitewashing terhadap kejahatan yang dilakukan oleh rezim totaliter Soviet,” lantas menyalahkan Soviet bersama Nazi karena memulai Perang Dunia II dan menyerukan penghapusan peringatan perang Soviet di seluruh Eropa.
Gagasan terakhir itu khususnya telah membuat Putin sangat kesal. “Monumen-monumen di Eropa,” katanya kepada sesama pemimpin otoriter, “didirikan untuk prajurit Tentara Merah kami. Mereka kebanyakan adalah petani dan pekerja, banyak dari mereka juga menderita selama rezim Stalin. Beberapa dari mereka adalah pemilik lahan yang tertekan, beberapa anggota keluarga mereka juga dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Orang-orang tersebut mati ketika mereka membebaskan negara-negara Eropa dari Nazisme.”
Namun, bukan hanya komentar Putin yang tidak biasa, tetapi juga caranya menyampaikan. Di hadapannya, Putin membeberkan setumpuk dokumen arsip yang ia bacakan panjang lebar untuk mendukung versinya tentang sejarah.
***
Klaim Putin dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Pertama, ia berpendapat bahwa Pakta Molotov-Ribbentrop pada Agustus 1939, perjanjian yang akan disetujui oleh para sejarawan arus utama, berkontribusi besar terhadap pecahnya Perang Dunia II dengan membagi Polandia, yang lazim dilakukan dalam konteks zaman saat itu. Putin menyoroti Perjanjian Munich pada 1938 yang memungkinkan Nazi Jerman melahap bagian Cekoslowakia dengan dukungan penuh dari Inggris dan Prancis.
Namun, Putin melanjutkan dengan berpendapat bahwa jika Prancis terjebak oleh komitmen mereka untuk mempertahankan Cekoslowakia terhadap invasi Jerman (Prancis dan Cekoslowakia menandatangani perjanjian aliansi pada 1924), Uni Soviet yang juga memiliki perjanjian dengan Cekoslowakia pun siap untuk membantu. Masalahnya adalah bahwa Soviet tidak memiliki perbatasan bersama dengan Cekoslowakia dan karena itu bergantung pada kesediaan Romania atau Polandia untuk mengizinkan transit pasukan Soviet.
Interpretasi Putin sangatlah naif saat berpendapat Stalin akan memanfaatkan kesempatan untuk bergabung dengan Prancis dalam perang melawan Jerman pada 1938. Tidak ada bukti yang dikutipnya yang menunjukkan bahwa Uni Soviet benar-benar berkomitmen untuk turut mempertahankan Cekoslowakia. Bahkan, ketika Putin menuduh Inggris dan Prancis mempertahankan sentimen “sinisme”, dia tampaknya tidak bersedia melihat Stalin sebagai operator yang sinis yang akan sangat senang melihat Jerman dan Barat saling serang.
Bagian kedua dari narasi revisionis sejarah Putin menyangkut kebijakan Polandia menjelang Perang Dunia II. Singkatnya, ia berpendapat bahwa Polandia adalah arsitek dari banyak kemalangannya sendiri karena tidak hanya mencegah Soviet membantu Cekoslowakia, tetapi juga secara aktif berkolusi dengan Jerman untuk melakukan pembagian wilayah. Putin mengutip beberapa bukti menarik untuk mendukung gagasannya, termasuk dokumen-dokumen Polandia yang tidak jelas yang menjabarkan rencana aksi militer Polandia melawan Cekoslowakia jika mereka gagal menyerahkan wilayah itu dengan sukarela.
Putin juga merujuk pada dokumen-dokumen yang sudah lama dikenal oleh para sejarawan, termasuk kawat diplomatik dari Duta Besar Jerman di Polandia Hans-Adolf von Moltke mengenai pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Polandia Józef Beck. Dalam pertemuan itu, Beck “menyatakan rasa terima kasih yang nyata atas perlakuan loyal yang diberikan pada kepentingan Polandia di konferensi Munich, serta ketulusan hubungan selama konflik Ceko. Sikap Führer dan Kanselir sepenuhnya dihargai oleh pemerintah dan masyarakat.”
Yang bermasalah pada interpretasi Putin, ia gagal membedakan antara Polandia yang secara oportunis merebut bagian dari wilayah sengketa yang telah lama dianggap penting untuk pertahanan nasional setidaknya dari Jerman, dan kolusi aktif dengan Nazi Jerman untuk menimbulkan hasil ini.
Bagian ketiga dari penulisan ulang sejarah oleh Putin menekankan secara khusus pada pernyataan anti-Soviet dan anti-Semit oleh berbagai pemimpin Polandia. Salah satu buktinya berasal dari percakapan pada 20 September 1938 antara Adolf Hitler dan Duta Besar Polandia di Jerman Józef Lipski. Dalam percakapan khusus itu, Hitler mengatakan kepada Lipski bahwa ia telah berencana untuk mengasingkan orang Yahudi ke koloni (mungkin ke Afrika), jika orang Polandia, Hongaria, dan Romawi menyetujui solusi ini. Menurut laporan Lipski kepada Beck, ia menjawab bahwa, “Jika ini dituntaskan, kami akan mendirikan sebuah monumen yang indah untuk Hitler di Warsawa.”
Laporan ini telah beredar luas sejak setidaknya 1948, ketika muncul dalam koleksi dua jilid dokumen Soviet tentang asal-usul Perang Dunia II. Namun, hal itu sepertinya mengejutkan bagi Putin dan membuatnya marah. Presiden Rusia itu mengutip laporan Lipski pada pertemuan puncak CIS dan kembali menyebutkannya beberapa hari kemudian dalam sambutannya pada pertemuan Dewan Kementerian Pertahanan Rusia.
Referensi Putin terhadap anti-Semitisme membuatnya terdengar seakan Polandia bertanggung jawab atas Perang Dunia II, gagasan yang menyebabkan kekhawatiran besar di pemerintah Polandia.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa anti-Semitisme tersebar luas di Eropa Timur dalam periode antar perang maupun setelah perang, Polandia tidak terkecuali. Para pemimpin Soviet juga memiliki pandangan anti-Semit. Stalin sendiri melakukan kampanye anti-Semit di tahun-tahun terakhir hidupnya. Dalam konteks yang lebih luas itu, serangan Putin terhadap reputasi Lipski sama sekali tidak aneh.
Namun, yang lebih aneh lagi adalah kata-kata Putin yang mengatakan, tentara Soviet “menyelamatkan banyak nyawa” di Polandia setelah menduduki bagian timur negara itu pada September 1939. Jika bukan karena Soviet, Putin berpendapat, banyak orang Yahudi yang tinggal di Polandia “akan dikirim ke kamar gas.” Putin lupa menyebutkan bahwa Soviet kehilangan wilayah itu karena direbut Jerman pada 1941, yang kemudian melanjutkan pembantaian penduduk Yahudi.
Pada saat yang sama, Putin tidak mengatakan sepatah kata pun tentang para korban pendudukan Soviet, khususnya tentang pembunuhan sekitar 22.000 tentara Polandia di Hutan Katyn, kejahatan rezim Soviet yang masih membayangi sejarah Polandia. Kelalaian mencolok itu sama sekali tidak memperkuat argumen Putin.
Putin juga tidak berupaya meyakinkan gagasannya dengan mengecilkan arti penting Pakta Molotov-Ribbentrop melalu rujukan langsung tentang “pembagian beberapa wilayah.” Dalam membandingkan antara Perjanjian Munich dan Pakta Soviet-Jerman 1939, ia gagal mengakui bahwa Molotov tidak melihat Inggris dan Prancis menginvasi bagian negara yang berdaulat. Stalin, sebaliknya, melakukan hal itu di Polandia.
Selain itu, Putin sepenuhnya mengabaikan bukti lama dari diskusi Soviet-Jerman selama 1939-1940, termasuk catatan percakapan antara Hitler dan Molotov yang menggarisbawahi kepentingan teritorial Soviet di Eropa dan mengungkapkan Stalin sebagai tiran yang sinis dan brutal yang terekam dalam sejarah.
Mengingat fakta-fakta yang memutarbalikkan ini dan beberapa kelalaian yang mencolok, menurut analisis Sergey Radchenko dari Foreign Policy, pelajaran-pelajaran revisionis sejarah Putin tidak meyakinkan, meskipun beberapa bukti yang ia kutip valid dan bahwa gagasannya yang lebih luas tentang tanggung jawab bersama atas pecahnya Perang Dunia II merupakan pernyataan yang masuk akal.
Namun demikian, tanggung jawab bersama bukan berarti beberapa negara tidak memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar. Putin bertindak benar saat mengkritik gagasan yang dianut dalam resolusi Parlemen Eropa itu, bahwa Rusia dan Jerman sama-sama bertanggung jawab. Tidak diragukan lagi bahwa Hitler memikul tanggung jawab terbesar atas Perang Dunia II. Para anggota Parlemen Eropa yang berani berdebat sebaliknya tidak selaras dengan narasi sejarah arus utama. Pada saat yang sama, Putin bertindak sama tidak bijaknya saat ia menyangkal tanggung jawab Soviet.
***
Namun, ada hikmah dari perjuangan Putin menulis ulang sejarah reputasi bangsanya. Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar berkat usahanya untuk menghilangkan prasangka dari pemalsuan sejarah, arsip Rusia telah mempercepat upaya merilis ribuan dokumen ke domain publik, yang sebelumnya dirahasiakan rapat-rapat. Berbicara kepada para veteran Perang Dunia II Soviet pada 18 Januari 2020, Putin berjanji untuk mengungkapkan lebih banyak bukti sejarah. “Saya ingin menekankan sekali lagi,” katanya, merujuk pada orang Polandia dan para kritikus lainnya, “bahwa kita akan menjejali mulut kotor mereka dengan dokumen agar mereka belajar pelajaran sejarah mereka.”
Arsip Rusia saat ini sudah lebih terbuka kepada publik daripada sebelumnya. Dokumen yang awalnya sedikit dan tercecer kini telah terkuak dalam jumlah besar. Banyak dari dokumen-dokumen tersebut tersedia online, termasuk sejumlah besar sumber-sumber utama intelijen, militer, dan arsip kementerian luar negeri mengenai kebijakan luar negeri Soviet menjelang Perang Dunia II. Revisi sejarah Putin menunjukkan bahwa ini merupakan momen yang tepat bagi sejarawan sungguhan untuk mempelajari masa lalu Rusia.
Pernyataan Putin pada 20 Desember 2019 menyoroti pentingnya memahami sejarah era Perang Dunia II untuk memahami Rusia di masa kini. Putin mengecam apa yang dia lihat sebagai upaya terkoordinasi Barat untuk meremehkan kontribusi Rusia bagi pembebasan Eropa dari Nazisme. Dalam prosesnya, ia memutarbalikkan fakta untuk menyajikan versi peristiwa sejarah yang akan dinilai tidak meyakinkan oleh para sejarawan terpercaya.
Presiden Rusia Vladimir Putin tahu pasti bahwa sejarah peperangan tidak membutuhkan tinjauan rekansejawat. Sergey Radchenko dari Foreign Policy menyimpulkan, sasaran kisah revisionis sejarah Putin adalah orang Rusia biasa, yang kemungkinan akan mengingat satu pelajaran penting dari Putin: bahwa Barat berusaha menyangkal kejayaan nenek moyang mereka di medan perang. [foreignpolicy/matamatapolitik]