Seperti Apa Dampak Meredanya Perang Dagang AS-Cina Pada Ekonomi Dunia?
JAKARTA— Sepertinya perang dagang AS-Cina yang dalam dua tahun ini menyulitkan dunia akan mereda. Presiden AS Trump tengah dirongrong berbagai masalah politik dalam negeri, termasuk upaya untuk memakzulkannya. Sementara Cina sendiri tengah berjuang menahan gempuran kampanye penghapusan utang (deleveraging).
Selama dua tahun ini, seolah perekonomian dan pasar keuangan global hanya berisi konflik antara Amerika dan Cina. Bila jauh sebelumnya hal itu hanya menjadi ancaman di atas kertas, setelah terpilihnya Trump, wacana itu serta merta menjadi persoalan nyata. Lihatlah, hampir dua tahun sudah dua perekonomian raksasa dunia itu saling pukul-piting, hajar di antara mereka dalam perang tarif paling serius sejak zaman depresi ekonomi 1930-an. Apalagi ‘Weaponisasi’ kebijakan perdagangan AS untuk menargetkan ancaman khusus kepada beberapa perusahaan seperti Huawei, telah memperluas medan tempur ekonomi tersebut.
Alhasil, inilah bukti paling telanjang tentang konflik politik yang diperjuangkan dengan berbagai senjata ekonomi. Hal itu juga menandai bahwa persoalan semacam itu ke depan akan makin wajar dan biasa. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai kesepakatan dagang tahap pertama yang diumumkan 11 Oktober 2019 lalu tak pelak menjadi penanda penting dalam persoalan ini. Meski secara ekonomi kesepakatan itu hampir tidak emmiliki dampak langsung, semua itu justru petunjuk teramat kuat bahwa Trump pun akhirnya sudah muak berperang dagang dengan Cina. Dengan perhatian yang kini tersita penuh untuk menghadapi upaya pemakzulan dan Pilpres AS 2020, Trump mau tak mau harus meredakan perang itu senyampang belum menyeret dirinya ke dalam pusaran yang lebih fatal.
Mau tak mau, Cina pun terlihat memiliki hasrat yang sama: mengakhiri perang dagang. Alasan keduanya tentu berbeda. Yang pasti, negara komunis itu tampak tak akan menyerahkan begitu saja prinsip-prinsip yang mereka pegang teguh dalam perang kemarin.
Tekanan ekonomi juga membuat Cina harus realistis. Cina harus lebih focus pada upaya untuk membendung kampanye penghapusan utang (deleveraging) yang kian hari makin menyudutkan posisi mereka. Bukankah kampanye itu jelas telah menjadi sebab penting dari realitas perlambatan ekonomi Cina saat ini? Artinya, bila perang dagang bisa dibuat mereda—kalau pun untuk sementara, itu akan menguntungkan mereka. Yang perlu bagi kedua negara tak lain hanya kesempatan untuk ‘selamat tanpa kehilangan muka’.
Satu hal lain yang pasti, Cina pun harus mempersiapkan diri untuk menjawab dunia pada dua hal besar yang kemungkinan akan membayang-bayangi negeri itu ke muka: gelombang protes di Hong Kong yang mereka hadapi dengan tangan besi, serta kejahatan HAM terhadap etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
Benar seperti dituliskan Steven Roach dalam South China Morning Post, kalangan internasional sepertinya harus meluangkan waktu untuk merenungkan seperti apa dunia setelah perang dagang. Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, seperti deglobalisasi, saling keterlepasan (decoupling), atau bahkan pengalihan perdagangan.
Deglobalisasi hanya kemungkinan kecil terjadi. Seperti gelombang pertama dari globalisasi yang berakhir memalukan antara Perang Dunia I dan Depresi Hebat, gelombang saat ini telah menghasilkan reaksi perlawanan yang semakin kuat. Populisme sedang populer di berbagai penjuru dunia. Sementara ketegangan atas ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan—yang diperparah oleh kekhawatiran bahwa inovasi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) akan merusak keamanan lapangan pekerjaan, tengah mendominasi wacana.
Namun terlalu jauh untuk kuatir bakal terjadi Depresi Besar’ seperti pada 1930-an. Runtuhnya Kapitalisme di zaman itu, yang menandai runtuhnya gelombang pertama globalisasi, adalah jatuhnya 60 persen perdagangan dunia. Peluang ke arah itu, menurut sebagian besar pengamat ekonomil sangat rendah.
Keterlepasan (decoupling) global juga nyaris kecil peluangnya. Berkaca dari pertumbuhan eksplosif dalam rantai perekonomian global 25 tahun terakhir, dunia justru terjalin lebih erat dari sebelumnya.
Sebuah penelitian Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini menemukan, rantai nilai global menyumbang sepenuhnya 73 persen dari pertumbuhan perdagangan global yang terjadi selama periode 20 tahun dari 1993 hingga 2013. Diaktifkan oleh tren yang tidak dapat dibalikkan seputar penurunan biaya transportasi dan terobosan teknologi dalam bidang logistik dan sumber daya, hubungan yang telah mendukung integrasi ekonomi global itu berisiko kecil mengalami keterlepasan.
Nah, pengalihan perdagangan adalah masalah yang sepenuhnya berbeda. Kemba,I ke Steven Roach dalam South China Morning Post, konflik perdagangan bilateral, bahkan decoupling bilateral, tidak dapat membantu menyelesaikan ketidakseimbangan multilateral. Menekan salah satu dari banyak mitra dagang—seperti dilakukan AS ketika menekan Cina untuk mengurangi defisit perdagangan dengan 102 negara, kemungkinan akan menjadi senjata makan tuan.
‘Kegagalan’ AS itu terutama disebabkan adanya defisit perdagangan multilateral Amerika yang mencerminkan kekurangan tabungan domestik yang akan kian memburuk karena defisit anggaran federal yang juga sudah di luar kendali. Tanpa mengatasi masalah tabungan yang kronis itu, upaya AS menekan Cina hanya akan berarti mendorong bagian Cina dari defisit multilateral, ke mitra dagang Amerika lainnya. Pengalihan seperti itu akan mengalihkan perdagangan ke sumber luar negeri berbiaya lebih tinggi, yang setara dengan kenaikan pajak bagi konsumen AS. [ ]
Sumber : SouthChinaMornngPost/matamatapolitik