Dum Sumus

Sundar Pichai Bicara Valuasi Google dan Letusan Gelembung AI Meletus

Bos Alphabet memperingatkan bahwa ledakan investasi AI saat ini mengandung unsur irasionalitas. Meski Google percaya diri menghadapi turbulensi, Pichai menegaskan tak ada perusahaan—termasuk raksasa teknologi—yang benar-benar aman jika gelembung AI pecah.

JERNIH –  Pimpinan Alphabet, perusahaan induk Google, Sundar Pichai, mengungkapkan bahwa tidak ada perusahaan yang benar-benar aman jika gelembung investasi kecerdasan buatan (AI) pecah. Ia menyebut bahwa pertumbuhan pesat industri AI saat ini mengandung unsur kekaguman sekaligus irasionalitas.

Beberapa bulan terakhir, valuasi perusahaan-perusahaan teknologi AI melonjak drastis. Perusahaan berlomba mengucurkan dana besar untuk mengembangkan teknologi ini, memicu kekhawatiran di Silicon Valley akan terjadinya gelembung, sebagaimana yang terjadi pada era dotcom akhir 1990-an.

Ketika ditanya apakah Google akan kebal terhadap dampaknya, Pichai menjawab tegas, “Saya rasa tidak ada perusahaan yang akan kebal, termasuk kami.”

Ia membandingkan situasi saat ini dengan masa awal internet—periode yang penuh investasi berlebih, namun pada akhirnya melahirkan teknologi mendalam yang mengubah dunia. Menurutnya, AI kemungkinan akan mengikuti pola serupa: memiliki potensi besar, tetapi tetap berada dalam fase yang rawan spekulasi berlebihan.

Valuasi saham Alphabet telah melesat hingga dua kali lipat dalam tujuh bulan terakhir, mencapai sekitar 3,5 triliun dolar (Sekitar Rp 58,65 kuadriliun) , seiring keyakinan pasar bahwa Google mampu bersaing dengan OpenAI, pengembang ChatGPT.

Fokus utama Alphabet saat ini adalah pengembangan superchip khusus AI untuk menantang dominasi Nvidia—perusahaan yang baru saja menjadi perusahaan pertama di dunia dengan valuasi 5 triliun dolar (sekitar Rp 83,74 kuadriliun).

Meski demikian, sebagian analis mulai mempertanyakan nilai investasi raksasa yang mengelilingi OpenAI, yang pendapatannya diperkirakan masih sangat kecil dibandingkan total dana yang digelontorkan.

Alphabet juga memperluas investasinya ke Inggris. Pada September, perusahaan berkomitmen mengucurkan dana sebesar 5 miliar pounds (sekitar Rp 110,05 triliun)  untuk infrastruktur dan penelitian AI dalam dua tahun ke depan. Pichai menyebut Inggris sebagai lokasi penting bagi penelitian lanjutan, terutama melalui DeepMind yang berbasis di London.

Untuk pertama kalinya, ia menyatakan bahwa Google akan mulai melatih model-model AI-nya langsung di Inggris—sebuah langkah yang diharapkan pemerintah Inggris dapat menjadikan negara tersebut sebagai “kekuatan AI” nomor tiga di dunia setelah AS dan Tiongkok.

Meski optimistis, Pichai mengakui bahwa kebutuhan energi AI sangat besar. Menurut Badan Energi Internasional, industri AI memakan sekitar 1,5% konsumsi listrik dunia pada tahun lalu.

Ia memperingatkan bahwa negara-negara, termasuk Inggris, perlu segera memperluas sumber energi baru dan memperkuat infrastruktur listrik agar pertumbuhan ekonomi tidak terhambat.

Tekanan kebutuhan energi ini juga membuat Alphabet menunda sebagian target iklimnya, namun perusahaan tetap berkomitmen mencapai net-zero pada 2030.

Pichai menyebut AI sebagai “teknologi tercanggih” yang pernah diciptakan manusia dan menegaskan bahwa dampaknya terhadap pasar kerja akan sangat besar.

Menurutnya, AI akan menciptakan peluang baru sekaligus menuntut pekerja untuk beradaptasi.

Profesi seperti guru dan dokter tetap akan ada, namun mereka yang mampu memanfaatkan AI akan unggul dalam kompetisi.

“AI akan berevolusi dan mentransformasi pekerjaan tertentu. Orang-orang yang beradaptasi akan meraih hasil lebih baik,” ujarnya.(*)

BACA JUGA: Ini Dia 10 Chatbot AI LLM dan 5 Alasan Utama Orang Menggunakan

Back to top button