Kopi, Kopi, Kepalaku Pusing!

Oleh IRZI Risfandi
Kisah aroma kopi palsu dalam kabin mobil yang bikin pusing kepala.
Sungguh aku percaya bahwa dunia ini akan sedikit lebih baik jika ada aroma kopi di udara. Tapi kepercayaan itu goyah, rontok, dan nyaris hancur saat aku naik mobil teman yang menggantung pewangi aroma kopi di spion. Sekilas, kelihatannya manis. Ada ilustrasi cangkir kecil dan tulisan ‘aroma mocha latte’ dengan font bergaya elegan—seolah-olah mobil ini adalah cabang Starbucks dalam versi portable. Tapi begitu pintu ditutup dan AC dinyalakan, serangan itu dimulai.
Awalnya masih oke. Aku pikir, “Ah, ya, ini wangi kopi, vibe-nya cozy, sejuk, santai.” Tapi dalam waktu tiga menit, aku mulai merasakan tekanan misterius di pelipis, mata rasanya agak berat, dan perut mulai mempertanyakan kenapa aku ikut naik mobil ini. Dalam lima menit, aku sudah tidak bisa membedakan lagi apakah yang aku cium ini adalah kopi, atau senyawa kimia dari neraka.
Ternyata memang ada alasannya. Pewangi mobil—apalagi yang memakai embel-embel “aroma kopi”—jarang sekali menggunakan kopi sungguhan. Yang mereka pakai adalah campuran senyawa kimia sintetis yang “mirip” aroma kopi. Tapi mirip di sini bukan berarti serupa secara harmonis, ya. Lebih seperti parodi. Seolah-olah seseorang mencoba menggambarkan aroma kopi dengan meniru ingatannya akan kopi yang pernah ia cium saat pilek. Hasilnya? Bau yang mencolok, kuat, dan jujur saja: menyerang.
Aku mulai menyadari, aroma kopi yang kita sukai itu sebetulnya adalah hasil dari proses rumit—biji yang dipanggang dengan suhu tertentu, digiling segar, diseduh dengan air panas, lalu dinikmati dengan tenang. Aroma itu hidup. Ia muncul dari panas, dari waktu, dari interaksi antara udara dan senyawa-senyawa volatil yang saling berdansa. Tapi pewangi mobil tidak bisa menyajikan itu. Yang mereka sajikan adalah tiruan statis. Dan parahnya, tiruan itu dipaksa bekerja keras di ruang sempit bernama kabin mobil yang sirkulasi udaranya sangat terbatas.
Belum lagi kalau mobilnya dijemur. Bau kopi palsu itu, yang tadinya hanya menyerang pelan-pelan, bisa berubah menjadi monster. Seperti uap yang tersimpan, lalu keluar mendadak begitu jendela dibuka. Sungguh pengalaman olfaktori yang tidak aku rekomendasikan. Bahkan sahabatku yang mengaku penggemar berat kopi berkata dia trauma mencium bau mocha selama seminggu setelah road trip kami. Setiap kali masuk kedai kopi, dia mendadak mual.
Dan jangan salah, ini bukan masalah “hidung sensitif.” Ini adalah respons tubuh yang sangat masuk akal. Banyak senyawa dalam pewangi sintetis bersifat volatile organic compounds—mereka menguap di udara, menempel di rongga hidung, dan bisa memicu iritasi, terutama dalam dosis tinggi. Jadi ketika kamu merasa pusing atau mual di mobil beraroma kopi menyengat, itu bukan drama. Itu valid.
Lucunya, kita semua terbuai oleh janji manis “aroma kopi” yang katanya bisa memberi ketenangan, kenyamanan, bahkan kesan stylish. Branding pewangi mobil sangat tahu caranya memanfaatkan nostalgia. Mereka tahu bahwa kita mencintai bau kopi karena kita mencintai pagi, obrolan hangat, atau meja kerja yang tenang. Mereka tahu betul bahwa aroma kopi itu romantis. Dan sayangnya, mereka juga tahu kita akan membeli pewangi mobil itu dengan semangat—lalu menderita diam-diam di balik kemudi.
Aku pernah iseng bertanya pada penjaga toko aksesori mobil: kenapa aroma kopi selalu jadi salah satu pilihan paling laris? Jawabannya simpel: “Soalnya orang mikirnya wangi dan nggak nyengat.” Padahal justru aroma kopi-lah yang sering kali paling keras menampar hidung, karena di ruang tertutup, intensitasnya jadi tidak terkontrol. Mobil bukan kafe. Spion bukan barista. Dan pewangi gantung itu bukan seduhan hangat di pagi yang tenang.
Aku pribadi sudah mulai menghindari pewangi semacam itu. Sekarang lebih suka aroma yang netral, bahkan kadang tanpa pewangi sama sekali. Udara segar dari jendela terbuka kadang lebih melegakan daripada “vanilla cappuccino deluxe” buatan pabrik. Teman-temanku banyak yang sudah sadar juga—dan satu demi satu mulai melepas gantungan beraroma kopi itu, seolah-olah mereka baru saja menyadari bahwa itu bukanlah aroma kenyamanan, tapi instrumen penyiksaan perlahan.
Tapi tetap saja, setiap kali aku naik ojek online, kemungkinan besar aku akan disambut oleh satu dari dua hal: aroma durian sintetis yang memukul tenggorokan, atau… ya, kopi gantung di spion. Mungkin, ini memang aroma nasional kedua setelah bensin.
Jadi, untuk siapa pun yang saat ini sedang membaca ini dari dalam mobil yang menggantung pewangi kopi: tolong tanyakan lagi pada diri sendiri. Apakah kamu benar-benar suka aromanya, atau kamu hanya terperangkap dalam mitos bahwa aroma kopi = aesthetic + rileks? Dan untuk semua produsen pewangi mobil: kalau mau meniru kopi, setidaknya undang barista jadi konsultan, bukan ahli kimia yang baru keluar dari laboratorium uji bau.
Pada akhirnya, kopi tetaplah cinta. Tapi bukan cinta yang digantung di spion, dibungkus plastik, dan diberi nama “Caramel Macchiato Extreme Scent”. Cinta itu seharusnya dinikmati perlahan, dengan cangkir, bukan kabin mobil yang berubah jadi ruang eksperimen. Jadi, yuk, cukup sudah penderitaan ini. Biarkan kopi tetap ada di cangkir, bukan di jalan tol.
Dan kalau kamu masih pusing gara-gara pewangi mobil itu… jangan khawatir. Kamu waras. Pewangi itu yang sinting.