CrispyVeritas

GREAT Institute Desak Pembentukan Dewan Keamanan Nasional: Dunia Tak Lagi Ramah untuk Bangsa yang Lengah

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan menutup forum dengan sebuah simpulan yang menampar. “Kalau sistemnya tetap begini, kita tidak hanya akan kalah cepat. Kita bahkan bisa kalah sebelum sadar sedang diserang.” Ia mendesak, pembentukan UU Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional tak bisa ditunda. Komcad harus diperkuat. Dan politik luar negeri Indonesia tak boleh lagi sekadar “bebas aktif” di atas kertas, tapi bebas aktif yang berpihak kepada keseimbangan dan keamanan nasional.

JERNIH– Dunia kian gelap. Krisis tak lagi datang bergantian, tapi serentak. Dan Indonesia, kata para pakar yang berkumpul dalam Focus Group Discussion (FGD) GREAT Institute Jumat (4/7/2025)siang, tak boleh lagi bersikap sebagai bangsa penonton.

Sebuah simpulan keras pun tercetus: negara ini mendesak dibentuknya Undang-Undang Keamanan Nasional, lengkap dengan Dewan Keamanan Nasional, guna menghadapi ketidakpastian global yang tak kunjung reda.

Dalam FGD bertajuk “Potensi Perang Dunia dan Kesiapan Indonesia ke Depan”, yang digelar di kantor pusat GREAT Institute, Jakarta Selatan, puluhan akademisi, diplomat, dan pakar pertahanan hadir. Mereka bicara lugas. Tanpa basa-basi. Bahkan, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Dr. Syahganda Nainggolan, langsung membuka diskusi dengan kalimat tajam: “Dunia tidak sedang baik-baik saja. Dan Indonesia tak boleh terus-menerus dalam posisi kalah langkah.”

Teguh Santosa, wartawan senior dan pengamat geopolitik internasional, menyampaikan peringatan lantang: “Dalam dunia yang anarkis, setiap negara harus selfish. Jangan berharap keamanan datang dari luar. Kalau China agresif, tak bisa kita menyalahkan mereka. Yang salah adalah kita yang tak siap.”

Teguh juga mengkritik rendahnya kesiapan sumber daya manusia Indonesia, menyebut, “kita ini negara dengan tingkat baca terendah, tapi pengguna gadget tertinggi.” Teguh mengatakan, Presiden Prabowo sudah membaca arah konflik global dan mempercepat pemeriksaan kesiapan alutsista sejak menjabat Menhan. “Perang bisa lebih cepat datang daripada yang kita kira,” ujarnya.

Diskusi berlangsung tiga jam, tapi ketegangan tema membuatnya seperti sekejap. Inti simpulan forum ini mencakup empat hal:

-Mendesak lahirnya UU Keamanan Nasional dan pembentukan Dewan Keamanan Nasional.

-Penguatan Komcad sebagai cadangan kekuatan rakyat semesta.

-Penegasan kembali bahwa politik luar negeri bebas aktif hanya relevan jika berbasis kepentingan nasional dan keseimbangan strategis.

-Keyakinan bahwa Presiden Prabowo Subianto memahami medan, tapi butuh dukungan sistem yang sigap dan berpikir jauh ke depan.

Visi tak Cukup: Butuh Detail, Butuh Kekuatan Fiskal

Ekonom sekaligus mantan anggota DPR RI Dr. Drajad Wibowo tampil dengan nada waspada. “Kita bicara alutsista, bicara ketahanan. Tapi lihatlah data fiskal kita. Semester pertama 2025 ini, penerimaan negara malah turun. Dari Rp1.458 triliun tahun lalu, kini hanya Rp1.451 triliun,” ujarnya. Itu artinya: kita bicara membangun pertahanan di atas tanah yang lapuk.

Menurut Drajad, Presiden Prabowo memang visioner. Tapi “visi saja tak cukup. Visi tanpa detail, hanyalah lukisan di atas kabut.” Ia menyebut Indonesia perlu menggali pendapatan baru. Di luar yang biasa. “Potensi Rp99 triliun dari pajak inkrah tak digarap. Potensi border economy diabaikan. Padahal kalau ini dikeruk, kita bisa bicara pertahanan dengan realistis,” kata dia.

Dr. Anton Permana, pengamat pertahanan yang dikenal vokal, mengingatkan bahwa peta dunia sedang menyusun perang. “Ada lima hotspot yang harus kita waspadai: Ukraina, Taiwan, Timur Tengah, Laut China Selatan, dan India-Pakistan,” ujarnya. Tapi justru yang paling diam-lah yang paling berbahaya: Australia.

“Di sana ada 23 pangkalan rudal yang mengarah ke kita. Sementara kita? Masih mengandalkan Sukhoi dan menunggu Rafale yang baru datang tahun depan,” ujar Anton. Ia menambahkan, anggaran militer Indonesia hanya sekitar 1 persen dari PDB, sangat jauh dari standar NATO yang 5 persen. “Pertahanan kita tidak cukup hanya dengan patriotisme. Harus ada struktur. Harus ada Dewan Keamanan Nasional.”

Mantan Dubes RI untuk Mesir Helmy Fauzy menyebut, “Dulu saat Perang Dingin, Amerika fokus di Eropa. Kini, 60 persen militernya pindah ke Asia Pasifik.” Artinya, Asia Tenggara bisa jadi panggung berikutnya. Dan ASEAN, jika tak dikuatkan, akan jadi ladang tempur superpower.

Ia menilai langkah Presiden Prabowo bergabung ke BRICS adalah keputusan strategis. “Zaman Jokowi kita ragu. Zaman Prabowo kita tegas,” katanya. Namun ia mengingatkan, ketegasan kebijakan luar negeri harus seimbang dengan kecepatan pembangunan dalam negeri.

Multidomain Warfare: tak Terlihat, Tapi Mematikan

Dr. Stepi Anriani, Direktur Intelijen dan Studi Keamanan Nasional, membeberkan wajah baru perang. “Hari ini, rudal bisa menghantam instalasi nuklir dengan presisi milimeter. Serangan tidak lagi frontal, tapi serentak dan multidomain—cyber, udara, laut, bahkan ekonomi,” katanya.

Ia menyebut pentingnya memperkuat Komcad, seperti China yang bahkan melatih nelayan sebagai bagian dari sistem pertahanannya. “Lemhannas itu akademik. Kita butuh institusi yang eksekutif, operasional, dan mampu memberi early warning ke kepala negara,” ujarnya.

Komjen (Purn) Izza Fadli mengingatkan bahwa politik internasional itu anarkis. “Lihat PBB, punya sidang tapi tak punya kuasa. Myanmar tak peduli sanksi karena senjatanya dari Rusia.” Menurutnya, Indonesia harus punya wewenang penuh untuk menyatakan darurat nasional secara cepat, dan itu hanya bisa dilakukan jika Presiden dibantu oleh sistem keamanan nasional yang solid.

Dr. Rizal Dharma Putra menambahkan bahwa kebijakan luar negeri kini lebih ditentukan oleh ego individu pemimpin dunia. “Putin, Xi Jinping, Trump—mereka memutuskan perang hanya berdasarkan kalkulasi pribadi. Ini bahaya laten abad 21.”

Dr. Syahganda Nainggolan menutup forum dengan sebuah simpulan yang menampar. “Kalau sistemnya tetap begini, kita tidak hanya akan kalah cepat. Kita bahkan bisa kalah sebelum sadar sedang diserang.”

Ia mendesak, pembentukan UU Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional tak bisa ditunda. Komcad harus diperkuat. Dan politik luar negeri Indonesia tak boleh lagi sekadar “bebas aktif” di atas kertas, tapi bebas aktif yang berpihak kepada keseimbangan dan keamanan nasional.

“Pak Prabowo sudah tahu ancamannya. Tapi dia tak bisa berjuang sendirian,” ujarnya.

Dalam atmosfer diskusi yang padat, seorang peserta mengutip George Kennan, perancang strategi containment Amerika di masa Perang Dingin: “You have no idea what an intelligent person, fully informed, could do for this country—if we would only give him the chance.”

Hari ini, Indonesia punya Prabowo. Tapi seberapa siap sistemnya menopang? Sebab sejarah tidak akan menunggu kesiapan siapa pun. Ia datang, menghantam—dan hanya bangsa yang siaga yang akan bertahan. [ ]

Back to top button