Moron

Mencari Kutu, Tradisi Kuno yang Masih Asyik Sampai Kini

Hidupnya bergerombol, beranak pinak berbuyut canggah.  Mereka selalu berusaha menguasai kepala manusia tanpa pandang rambut, menyasar kaum cacah sampai kaisar. Keberadaanya selalu tersembunyi, namun  eksistensinya menebar teror saban waktu. Mereka penghisap darah yang lebih nyata bahkan lebih rakus dari vampir. Kedekatannya dengan manusia tak perlu disangsikan karena mereka adalah kutu. Dalam Bahasa Jawa disebu tumo atau koto dalam Bahasa Madura. 

Kutu rambut adalah hama laten bagi manusia tanpa memandang strata, dan rambut kepala seolah ditakdirkan sebagai rumah bagi kutu. Namun kepala yang dihuni kutu tidak dapat dijadikan tuduhan bahwa orang tersebut hidup jorok. Bagi yang selalu menjaga kebersihanpun kutu selalu datang. Maka pepatah tukang cukur mengatakan bahwa banyaknya jumlah kutu di rambut bukan ukuran kebersihan, karena kutu bisa berpindah dari satu kepala ke kepala yang lainnya tanpa memandang rambut bersih dan kotor.

Sejauh ini, Kutu kepala tidak berbahaya dan tidak menyebarkan penyakit. Hanya mengakibatkan rasa gatal yang membuat manusia gagaro alias menggaruk-garuk kepala. Gestur menggaruk  kepala juga memiliki beberapa makna. Pepatah kontemporer tentang kebiasaan menggaruk kepala mengatakan : Bila tidak sedang bingung, tentu sedang pusing oleh urusan utang, bila tidak dua-duanya maka orang itu sedang berbohong, bila tidak ketiga-tiganya pasti akibat banyak kutunya.

Namun gestur menggaruk kepala saat bingung, stress dan bohong bisa juga melanda mereka yang berkepala botak. Maka kasus menggaruk gatal oleh kutu, hususon dinisbatkan bagi yang berambut saja. Oleh karena itu, jika ada yang berkepala botak menggaruk-garuk kepala tanpa sebab dari luar tubuhnya, maka ia tengah dilanda tiga kasus diatas. Semakin sering menggaruk kepalanya yang botak maka semakin gawat urusan dihatinya.

Akan tetapi peranan ketombe sebagai penyebab rasa gatal juga tak dapat diabaikan. Maka sekali lagi pepatah mengatakan, bila seseorang menggaruk kepala dan mengibas-ngibaskan rambutnya pertanda ia sedang memanen ketombe. Di Dunia ini, ada sebagian orang merasa nikmat melihat ketombe yang jatuh berserakan dan kemudian dikumpulkan. Entah apa alasannya, karena yang namanya nikmat cenderung tak butuh alasan. 

Tentu saja kasus kenikmatan mengumpulkan ketombe adalah relatif dan masih bisa diperdebatkan. Lain halnya dengan kenikmatan mencari kutu. Inilah fakta manusiawi yang tumbuh di kalangan  wanita tanpa perlu perdebatan. Dari fenomena mencari kutu, tradisi tersebut banyak manfaatnya dan membuktikan adanya simbiosis mutualisma yang dapat dikaitkan dengan aspek, psikologis, ideologi, sosial, budaya dan politik. 

Mencari kutu, secara psikologis menimbulkan kenikmatan bagi keduanya sebagai subjek dan obyek, aktif dan pasif. Gerakan tangan pencari kutu terasa membuai menenangkan dan membuat ngantuk bagi si pemilik kutu. Sedangkan bagi pencari kutu, pengerahan konsentrasi dan kejelian serta keterampilan jari jemari saat ‘nyaliksik’ berburu kutu akan berbuah kenikmatan tiada tara ketika berhasil menangkap kutu atau kerabatnya seperti telur kutu dan kuar (anak kutu).

Puncak kepuasan itu adalah  kegemasan yang diverbalkan dengan tindakan menindes si kutu dengan kuku jari atau digigit tanpa ampun. Suara ‘peletuk’  sebagai tanda pecahnya tubuh kutu adalah momen sakral, buncah kenikmatan bagi kedua belah pihak.

Dari sisi sosial, momen mencari kutu di kalangan wanita membuka ruang percakapan yang menyasar berbagai tema. Peristiwa keseharian, bergosip ria,  politik soal pemerintahan, naiknya harga-harga, jodoh dan asmara, curhat rahasia pribadi sampai yang berbau seksual, disampaikan secara ngalor ngidul ‘sabulang bentor’ penuh canda. Kegiatan tersebut juga menjadi upaya alami dalam menjalin kedekatan sesama keluarga dan tetangga. pelepas penat setelah bekerja. Bagi seorang ibu yang mencari kutu di kepala anaknya adalah momentum  untuk menggelontorkan nasehat bijak dan  petuah agama secara sederhana.

Akhirnya, keberadaan kutu di rambut manusia menjadi tradisi yang asyik dan masyuk. Bahkan boleh jadi tradisi mencari kutu rambut atau nyiaran kutu (sunda), golek tumo (Jawa) alias dhidhi atau petan, nyellek koto (Madura) termasuk tingkah berburu paling primitif. Bukankah saudara terdekat manusia, yaitu monyet juga memiliki naluri yang sama dalam mencari kutu.

Sebagai kegiatan komunal yang tersebar luas di belahan dunia, sumber klasik yang menggambarkan tradisi mencari kutu dipaparkan M. Dwi Cahyono dalam tulisan berjudul  Tradisi “Dhidhis (Petan)” Di Kalangan Rayat Kecil, bahwa golek tumo divisualisasikan pada sebuah pilaster teras Candi Surowono, di Desa Canggu Kecamatan Pare Kabupaten Kediri. Candi tersebut merupakan pendharman bagi Bhre Wengker yang mangkat pada tahun 1388 Masehi.

Di salah satu reliefnya tampak pahatan yang menggambarkan dua orang desa sedang mencari kutu di bawah pohon rindang. Visualisasi dari dua orang tersebut digambarkan dalam perupaan panakawan di wayang kulit. Adegan yang ditampilkan menampakan seseorang tengah mencari kutu di kepala kawannya menggunakan semacam tongkat kecil berujung runcing  untuk  menyingkap helai-helai rambut  agar memudahkan menemukan si kutu. Sedangkan tangan lainnya bersiaga  siaga menangkap si kutu bila terlihat.

Dalam tulisannya M. Dwi Cahyono menyatakan bahwa relief tersebut mendokumentasikan kehidupan nyata rakyat kecil di pedesaan, terutama tradisi mencari kutu. Batur Candi Surowono memang memuat panil-panil relief yang menggambarkan realitas kehidupan pedesaan di sekitar candi ini, tak terkecali dalam mata pencaharian lokal, seperti memancing ikan, memancing katak (kodok ijo), menjerat anak babi (genjik), menyumpit burung, dsb.

Yang uniknya bahwa sosok dalam relief tersebut menunjukan  dua orang pria, gambaran punakawan. M. Dwi Cahyono mengintrepetasikan hal tersebut sebagai penegasan dan sekaligus sindiran bahwa kendati mencari kutu  lazim dilakukan oleh kaum hawa, namun kala itu lelaki yang berambut panjang dan kurang bersih dalam hal perawatan rambut, tidak terelakan dari serangan kutu rambut. (Pd)

Back to top button