Ambigu Sektor Transportasi Cegah Covid-19
Jakarta – Mulai Kamis (7/5/2020) hari ini semua moda transportasi mulai beroperasi normal dengan syarat tetap mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Banyak kalangan menilai kebijakan ini akan menambahk risiko penularan virus mematikan ini. Padahal Presiden Joko Widodo pada hari yang sama menginstruksikan agar kurva Covid-19 menurun. Kebijakan yang ambigu atau misskomunikasi?
Pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sehari sebelumnya cukup mengagetkan. “Mulai besok 7 Mei, pesawat segala macam dengan orang-orang khusus, tapi tidak boleh mudik sekali lagi. Nanti jam 13.00 saya dengan Dirjen Udara, besok pagi dengan tiga dirjen, perkeretaapian, darat, dan laut, agar penjabaran dan detail-detail itu akan disampaikan kepada khalayak,” ujar Menteri Perhubungan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi V DPR secara virtual, Rabu (6/5/2020).
Menurut Budi Karya, penumpang yang dibolehkan menggunakan layanan transportasi adalah orang dengan keperluan bisnis yang esensial atau kepentingan mendesak. Rinciannya, penumpang merupakan pegawai yang bekerja di bidang pelayanan pertahanan, keamanan, ketertiban umum, kesehatan, kebutuhan dasar, fungsi ekonomi, dan percepatan penanganan Covid-19.
Kemudian, pelonggaran ditujukan untuk penumpang yang membutuhkan penanganan medis; penumpang dengan kepentingan mendesak, misalnya ada keluarga yang meninggal; dan pemulangan PMI, WNI, dan pelajar dari luar negeri yang akan pulang ke daerah asal. Budi Karya menerangkan, kebijakan ini akan diatur dalam beleid turunan dari peraturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020.
Sontak saja pernyataan Menteri yang juga pernah terinveksi Covid-19 ini direspons banyak pihak. Kebijakan transportasi ini dinilai justru kontradiktif dengan keinginan pemerintah untuk menekan penyebaran virus Covid-19. Apalagi pada hari yang sama Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada jajarannya untuk menekan penyebaran virus itu sehingga kurvanya menurun pada Mei ini.
Karenanya, kebijakan semua moda transportasi beroperasi kembali dinilai bertentangan sekaligus melanggar perintah Presiden itu. “Kebijakan itu dikhawatirkan menaikkan kembali kurva penularan Covid-19 yang sempat mereda meski masih fluktuatif,” kata Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay.
Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya berpendapat, kebijakan Menhub Bui Karya Sumadi tidak masuk logika. Menurutnya, bila memang di bulan Juni nanti akan dilakukan relaksasi ekonomi, mestinya bulan Mei ini pembatasan lebih diperketat.
“Pak @jokowi coba instruksikan menteri anda jelaskan ke publik apa logika dari pelonggaran transportasi per-besok? Bagaimana membedakan yg berniat mudik atau gak? Kalo niat bikin pelonggaran di juni, bukankah logikanya skrg malah hrs diperketat?,” cuit Yunarto di lini Twitter-nya.
Pandangan senada juga disuarakan Ketua Umum Association of The Indonesia Tours and Travel (ASITA) Rusmiati. Ia mengatakan kebijakan tersebut menunjukkan pemerintah tak konsisten dalam mengatasi penyebaran virus corona. Kalau tetap dijalankan, kebijakan tersebut berpotensi membuat pengusaha termasuk sektor pariwisata merugi.
Menurutnya, pemerintah harus tegas dengan kebijakan larangan bepergian ke luar kota terutama dari zona merah pandemi. “Di samping untuk mencegah penyebaran virus Corona, pembatasan pergerakan orang juga penting agar kasus positif COVID-19 dapat segera ditekan dan perekonomian kembali pulih,” katanya.
Pernyataan Menhub ini pun diluruskan anak buahnya yakni Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati. Ia menegaskan aturan turunan tersebut tidak akan menganulir larangan mudik. Pemerintah tetap dengan tegas melarang kegiatan mudik untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
“Mudik tetap dilarang, tidak ada perubahan atas hal itu. Kami tengah menyusun surat edaran dari Dirjen Perhubungan Darat, Laut, Udara dan Perkeretaapian sebagai aturan turunan dari Permenhub 25/2020,” kata Adita.
Istana juga ikut berkomentar dan memastikan kebijakan larangan mudik tetap berlaku meski Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan membuka seluruh moda transportasi pada Kamis (7/5/2020). Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 merupakan penjelasan teknis Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idulfitri 1441 H Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19.
Dalam surat edaran itu, diatur setidaknya tiga penjelasan kreteria orang yang boleh menggunakan moda transportasi. “Pertama, orang-orang yang bekerja pada lembaga pemerintah atau swasta yang menyelenggarakan kegiatan seperti pelayanan percepatan penanganan Covid-19, pelayanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum, pelayanan kesehatan, pelayanan kebutuhan dasar, pelayanan pendukung layanan dasar dan pelayanan fungsi ekonomi penting,” kata Pratikno dalam keterangan tertulisnya.
Kriteria kedua, lanjut Pratikno, adalah perjalanan pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan darurat atau perjalanan orang yang anggota keluarga intinya sakit keras atau meninggal dunia. Ketiga, repatriasi pekerja migran Indonesia (PMI), WNI, dan pelajar atau mahasiswa yang berada di luar negeri, serta pemulangan orang dengan alasan khusus oleh pemerintah sampai ke daerah asal, sesuai ketentuan yang berlaku. “Jadi, mudik bukanlah yang dikecualikan dalam pembatasan perjalanan. Artinya, mudik tetap dilarang,” tegas Pratikno.
Entah apa yang melatar belakangi pernyataan Menteri Perhubungan ini. Apakah memang untuk menyelamatkan industri transportasi yang terus terseok karena pembatasan social yang dilakukan di berbagai wilayah terutama sektor angkutan udara.
Ataukah memang kebijakan Kemenhub memperbolehkan angkutan umum beroperasi ini sebagai langkah menghindari pemberian subsidi para pengusaha angkutan umum. Mengingat selama ini pengusaha di sektor ini babak beluar sehingga mengalami banyak kerugian bahkan bersiap gulung tikar. Ketika angkutan umum harus diberi subsidi karena pendapatannya yang merosot, pemerintah tentu akan kerepotan dan tidak mungkin dapat memenuhinya dalam waktu singkat.
Kini semuanya harus dibuka ke publik. Adalah hak publik untuk tahu tujuan dan yang melatarbelakangi setiap kebijakan. Jangan lagi dibikin bingung seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya yang kemudian diralat oleh pemerintah sendiri.
Masyarakat sudah sangat susah dengan kondisi di bawah ancaman penyebaran penyakit saat ini, di mana kesempatan berusaha makin sempit sementara harapan mendapatkan jaminan kehidupan saat pandemik dari pemerintah juga masih jauh dari harapan. [Zin]