Oikos

Amerika yang Akan Menjadi Eksportir Tempe Dunia, Bukan Indonesia

Indonesia telah mengimpor kedelai Amerika senilai 1,1 miliar dolar AS setiap tahun, selama lima tahun terakhir

Oleh : Randy Mulyanto

JERNIH–Di sebuah lahan pertanian di Greensburg, sebuah kota berpenduduk 15.000 jiwa di negara bagian Indiana AS, Mayasari Effendi yang lahir di Indonesia telah memproduksi sekitar 150 bungkus tempe setiap minggu selama lima tahun terakhir.

Meningkatnya kesadaran kesehatan dan masakan rumahan selama pandemi Covid-19 mendorong permintaan tempe, yang dijual dalam kemasan masing-masing sekitar 230 gram, hingga suaminya–pria berusia 49 tahun, itu sekarang berencana mendirikan pabrik yang dapat menghasilkan 1,6 juta paket tempe sepekan.

Mayasari–yang keluarga suaminya juga memelihara babi dan menanam jagung di lahan pertanian seluas 600 hektare (kira-kira berukuran 860 lapangan sepak bola)– bermaksud untuk mendistribusikan tempe ke pengecer di seluruh Amerika Serikat,  dan mengekspornya ke Korea Selatan, Suriname dan berbagai negara Afrika di masa depan.

Tapi itu belum semuanya. Warga negara AS hasil naturalisasi itu terlibat dalam upaya besar antara pemerintah Indonesia dan petani Indiana untuk meningkatkan ekspor kedelai negara bagian tersebut ke Indonesia. Mereka juga ingin meningkatkan profil tempe, seiring dengan meningkatnya permintaan daging nabati.

Indonesia membutuhkan 2,5 juta ton kedelai setiap tahun untuk populasinya yang mencapai 270 juta. Tetapi Indonesia hanya menghasilkan sekitar 12,8 persen dari apa yang dibutuhkannya dan, rata-rata, telah mengimpor kedelai Amerika senilai 1,1 miliar dolar AS setiap tahun selama lima tahun terakhir. Sekitar 94 persen impor kedelai Indonesia tahun lalu berasal dari AS, menurut badan statistik pemerintah.

Tempe produksi Amerika Serikat

“Teknologi yang digunakan untuk pertanian kedelai skala besar di AS lebih maju karena mereka telah mencari cara untuk membudidayakan dan memasarkan kedelai dalam skala yang lebih besar selama lebih dari 100 tahun,” kata Mayasari.

Kedelai adalah ekspor pertanian teratas bagi AS, dan produknya telah menjadi berita selama dua tahun terakhir sejak AS dan Cina melancarkan perang dagang mereka dengan serangkaian tarif tit-for-tat–yang kini telah diperdalam lagi. persaingan dengan beberapa titik api itu mulai dari teknologi hingga uruan Laut Cina Selatan.

Awal tahun ini, Beijing berjanji untuk membeli miliaran dolar lebih banyak barang pertanian dari AS, sebagai bagian dari upaya untuk menenangkan perselisihan sengit mereka, dan sejak itu permintaan kedelai Amerika oleh Cina telah pulih kembali.

Bulan lalu, Bloomberg melaporkan sumber yang menyarankan Cina dapat mengimpor sekitar 40 juta ton total kedelai tahun ini. Hal itu akan menjadi sekitar 25 persen lebih banyak daripada tahun 2017, tahun dasar untuk kesepakatan perdagangan, dan sekitar 10 persen lebih banyak dari rekor yang ditetapkan pada tahun 2016, menurut data Departemen Pertanian AS.

Indiana diproyeksikan memproduksi 9,43 juta ton kedelai tahun ini—menjadikannya negara bagian Amerika terbesar keempat dalam produksi kedelai, setelah Illinois, Iowa dan Minnesota, menurut perkiraan Departemen Pertanian AS tahun 2020 pada 1 Agustus.

Dewan Ekspor Kedelai AS, sebuah kelompok perdagangan, mengatakan dalam sebuah posting di situsnya bulan lalu bahwa Indonesia telah menjadi pasar utama kedelai AS, sebagian besar untuk makanan tetapi juga sebagai pakan ternak. “Konsumen Indonesia telah mengembangkan preferensi untuk kedelai AS karena ukuran, warna dan kesesuaian mereka untuk pembuatan tempe dan tahu,” kata Dewan tersebut.

Tempe juga mengalami peningkatan permintaan global karena minat terhadap alternatif hidup tanpa daging yang terus bertumbuh. Pasar tempe internasional diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2030, menurut Persistence Market Research, dengan kawasan Asia-Pasifik diperkirakan akan tetap menjadi pasar terbesar hingga tahun 2030, diikuti Eropa.

Amerika Utara “diperkirakan akan mencatat pertumbuhan tinggi selama dekade berikutnya,” tulis Dewan Ekspor Kedelai AS.

Mayasari lahir di Manado, di bagian utara Indonesia, dan dibesarkan di Bogor, oleh ayah seorang polisi dan ibunya, seorang ibu rumah tangga. Dia memiliki empat saudara kandung tetapi semua anggota keluarganya telah meninggal.

Dia pindah ke Indiana pada 2004 untuk kuliah dan mendirikan Mayasari Indonesian Grill pada 2011, sebelum menikah dengan suaminya yang petani, Richard Mays.

Restorannya yang berkapasitas 50 kursi itu menawarkan masakan Indonesia “dengan sentuhan khas Amerika”, dengan menu online yang menampilkan hidangan seperti gado-gado, nasi goreng, pisang goreng, burger, dan steak. Harganya berkisar dari 9  dolar AS hingga 15 dolar AS. Sejauh ini para tamu memuji makanan dan layanan resto itu dalam berbagai ulasan online.

Mayasari mengatakan dia ingat sering makan tempe saat tumbuh dewasa karena keluarganya tidak mampu makan daging setiap kali makan. Bulan lalu, Mayasari mengadakan makan siang di restorannya untuk mempertemukan Konsulat Jenderal Indonesia di Chicago, dengan pejabat Indiana dan pemilik bisnis.

Ia menyajikan tempe goreng yang dibumbui tepung beras, garam, lada hitam, dan daun bawang kepada para tamu; salad dengan tempe kubus, bayam dan saus kacang; tempe rendang (hidangan populer di Indonesia dan Malaysia biasanya terbuat dari daging sapi dengan santan, kunyit, serai dan bumbu lainnya) dengan nasi dan tumis sayuran; serta tempe bruschetta dengan mentega, bawang putih dan keju.

Dalam keterangan pers usai acara tersebut, Konsulat Indonesia mengatakan, Indonesia telah mengimpor kedelai dari Indiana sejak 2007, dan negara bagian tersebut merupakan mitra dagang terbesar ketiga di US Midwest setelah negara bagian Ohio dan Illinois. “Mayasari juga akan mendirikan “pabrik tempe skala besar pertama di Midwest,” pernyataan itu menambahkan.

“Indonesia mengakui bahwa Indiana terkenal dengan kedelai berkualitas tinggi yang didukung oleh teknologi pertanian yang unggul,” kata Konsulat Jenderal RI dalam keterangannya.

“Indonesia dan Indiana juga dapat mengembangkan kerja sama di luar perdagangan, seperti pusat penelitian tempe yang dapat digunakan untuk meningkatkan nutrisi tempe, meningkatkan kualitas produk akhir, dan membuka pasar baru untuk tempe.”

Amadeus Driando Ahnan-Winarno yang meraih gelar PhD bidang ilmu pangan di University of Massachusetts Amherst dan menulis disertasinya tentang tempe mengatakan, proses pembuatan tempe dimulai dengan memasak kedelai hingga empuk dan kulitnya terkelupas. Kedelai kemudian ditiriskan dan didinginkan hingga suhu kamar agar dapat dicampur dengan Rhizopus oligosporus sebagai starter kultur.

“Campuran kacang dan ragi tersebut kemudian akan dikemas ke dalam kantong plastik berlubang atau daun yang dilipat secara tradisional, dan disimpan selama tiga hari pada suhu 27 hingga 32 derajat Celcius hingga menjadi putih dan padat,” kata Driando.

Seiring perkembangan zaman, tempe semakin populer, baik di dalam maupun luar negeri. “Ini tercermin dari banyaknya pergerakan, akun media sosial, perusahaan, termasuk start-up yang fokus pada tempe,” kata Driando, seraya mencatat bahwa tempe masih lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain, di mana tahu dan sumber protein lainnya lebih dikenal.

Amalia Primahastuti, dokter spesialis gizi klinis Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo, Jakarta, mengatakan, kedelai memiliki manfaat kesehatan dan harganya terjangkau, baik sendiri maupun diolah. “Kandungan serat dan indeks glikemik yang rendah membuat kedelai bermanfaat dalam menjaga kadar gula darah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes,” kata Amalia.

“Serat larut yang terdapat pada kedelai dapat menjaga kesehatan pencernaan dan mengurangi risiko kanker usus besar,” kata dia.

Produk kedelai juga populer di seluruh Asia. Susu kedelai adalah pilihan sarapan yang populer di Taiwan, sedangkan dadih kedelai adalah makanan ringan yang disukai di Hong Kong dan Singapura. Edamame atau kedelai hijau yang belum matang sering dikonsumsi sebagai makanan ringan di Jepang. Kecap juga sering ditampilkan, di antaranya, dalam masakan Cina, Korea, dan Asia Tenggara.

Meri Binsar Simorangkir, konsul jenderal Indonesia di Chicago, menggambarkan tempe sebagai “makanan dominan yang menjadi ciri khas Indonesia, seperti halnya kimchi di Korea, atau miso dan natto untuk Jepang”.

Ketika mantan Presiden AS Barack Obama mengunjungi Indonesia pada 2017 dalam perjalanan keluarga, dia makan tempe untuk makan malam–dan meminta dua porsi, menurut pernyataan konsulat Indonesia di Chicago.

Mayasari mengatakan bahwa dia tetap menjadi orang Indonesia yang “sangat bangga” dan berharap untuk “mempersembahkan dari mana warisan saya berasal”. “Misi tempe saya adalah untuk melayani dunia melalui tempe warisan Indonesia, dengan bahan lokal kami dari Indiana,” ujarnya. [South China Morning Post]

Randy Mulyanto adalah jurnalis lepas Indonesia, sebelumnya tinggal di Taipei. Karyanya telah muncul di Al Jazeera, BBC, The Interpreter dan OZY dari Lowy Institute.

Back to top button