Pengamat Birokrasi: Kebijakan BLT Kemenko Ekonomi Sudah Tepat
BLT tidak hanya diadopsi di di negara-negara Asia, Amerika dan Afrika yang masih berkembang. Negara-negara Eropa, menurut dia, juga banyak mengadopsi kebijakan tersebut manakala diperlukan.
JERNIH—Pengamat kebijakan publik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Robi Nurhadi, PhD, menilai kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diinisiasi Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menjadi model tepat untuk mengatasi persoalan rendahnya daya beli masyarakat seiring naiknya harga-harga komoditas kebutuhan pokok akhir-akhir ini. Meski demikian Robi menyayangkan kurang piawainya Tim Komunikasi Menko Perekonomian, sehingga publik kurang terinformasikan.
Pernyataan tersebut dikemukakan Robi dalam perbincangan dengan wartawan-wartawan Jakarta, Ahad (10/4) malam. Robi, yang juga merupakan kepala Pusat Penelitian Pascasarjana di universitas yang sama itu mengatakan, kebijakan BLT telah lama menjadi kebijakan benchmark. BLT tidak hanya diadopsi di di negara-negara Asia, Amerika dan Afrika yang masih berkembang. Negara-negara Eropa, menurut dia, juga banyak mengadopsi kebijakan tersebut manakala diperlukan.
“BLT ini telah menjadi model kebijakan yang banyak digunakan. Negara-negara Eropa juga banyak memberikan bantuan kepada warganya dengan model BLT,” kata Robi.
Alasan utama mengapa model BLT dipakai, tak lain karena sangat cair dalam penggunaan serta umumnya memenuhi ekspektasi penerima bantuan. Distrubsi BLT umumnya juga lebih mudah dibandingkan distribusi bantuan lainnya, misalnya dalam bentuk natura atau sembako, pada umumnya di Indonesia.
“Kan lebih mudah, karena terdistribusi langsung pada rekening orang atau kelompok yang menjadi tujuan,” kata Robi. Di Eropa dan negara-negara maju lainnya, BLT umumnya diberikan bila ada kejadian yang membuat masyarakat mengalami ketidakmampuan yang tiba-tiba.
Karena itu, Robi sepakat manakala Kemenko Perekonomian, tentu saja atas inisiasi Menko Ekonomi Airlangga Hartarto, memilih model BLT untuk menyalurkan bantuan kepada rakyat. “Itu pilihan model kebijaksanaan yang tepat. Tinggal bagaimana melakukan implementasi dan pengawasannya,” kata dia.
Dia menunjuk contoh gagalnya bantuan salah satu kementerian di saat bantuan Pandemi COVID-19, yang belakangan menyeret sang menteri masuk penjara.
Saat ditanya tentang peluang suksesnya program Kemenko Ekonomi tersebut seiring isu kesulitan keuangan pemerintah, Robi menyatakan optimistis. Pasalnya, dalam logika sederhana pun urusan yang urgen itu tentu menjadi prioritas yang akan didahulukan. “Misalnya, membayar gaji pegawai negeri itu tentu lebih prioritas dibanding membangun gedung atau infrastruktur,” kata dia. Apalagi bila hal itu menyangkut potensi terjadinya bencana, misalnya, kekurangan daya beli, peluang merebaknya kelaparan di masyarakat dan sebagainya. “BLT itu tentu jadi jadi prioritas.”
Di saat menyoal kinerja Menko Perekonomian Airlangga, Robi justru mempertanyakan tim komunikasi Kemenko Ekonomi yang berada di belakang menteri. Pasalnya, sebagai menteri koordinator, kecil kemungkinan Airlangga tidak tahu, tidak terlibat, tidak berkontribusi, atau tidak mengintervensi kebijakan yang akhirnya menjadi program kerja di tingkat publik. “Bisa jadi, sebenarnya ia sendiri yang justru punya inisiatif atas banyak kebijakan ekonomi,” kata Robi.
Dengan kata lain, banyak kebijakan ekonomi mungkin ‘karya’ Airlangga. Tapi karena sifatnya yang cenderung diam, yang seolah juga didorong seperti itu oleh tim komunikasi di kementeriannya, hal itu membuatnya luput dari pengamatan publik, via pers. “Akhirnya, semua urusan ekonomi seolah menjadi prestasi Bu SMI, atau langsung Pak Jokowi,” kata dia.
Di luar fungsinya sebagai pemerhati kebijakan publik, sebagai anggota masyarakat pun Robi melihat beberapa kelemahan pada tim komunikasi Kementerian. “Paling tidak, saya lihat yang muncul di muka publik, misalnya isi baliho-baliho itu, datar saja. Kurang nendang!” kata dia.
Sebagaimana diketahui, seiring memburuknya kondisi geopolitik global, terjadi tekanan inflasi dan lonjakan harga komoditas, terutama energi dan pangan, yang berdampak pada perekonomian Tanah Air. Untuk itu, pemerintah dengan gesit segera mengumumkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Minyak Goreng yang diberikan kepada 20,5 juta keluarga, serta 2,5 juta PKL yang berjualan makanan gorengan.
Hal itu ditegaskan Menko Ekonomi Airlangga Hartarto dalam keterangan pers usai Sidang Kabinet Paripurna (SKP), 5 April lalu. Saat itu Airlangga menyatakan, bantuan akan diberikan untuk tiga bulan, dengan besaran sebesar Rp100 ribu setiap bulan, dibayar di muka pada April. Tidak hanya itu, Airlangga juga menegaskan bahwa Bantuan PKH dan Kartu Sembako serta BLT Desa juga terus digulirkan pemerintah. [ ]