September: Penjualan Ritel Rusia Ambruk, Tingkat Pengangguran Meningkat
Hess sendiri secara sinis menyebut strategi Putin itu seolah berharap bahwa “jembatan yang dia bakar akan menerangi jalannya ke depan”. “Ini adalah kebodohan bersejarah yang akan membuat Rusia lebih lemah, dan lebih miskin, karena mendatangkan malapetaka ekonomi di seluruh dunia,”tulis Hess.
JERNIH– Penjualan ritel Rusia turun lebih dalam dan tingkat pengangguran kian meningkat pada bulan September, sebagaimana data resmi dari layanan statistik negara Rusia, Rosstat, Rabu (2/11/2022) lalu. Hal ini menjadi sisi lain yang terjadi di Rusia, setelah Kremlin mengumumkan mobilisasi pertamanya sejak Perang Dunia Kedua.
Sejak September, Kremlin telah memanggil sekitar 300.000 tentara cadangan untuk apa yang disebutnya “operasi militer khusus” di Ukraina. Ratusan ribu orang telah meninggalkan negara itu sejak saat itu, karena takut dipaksa untuk berperang dalam invasi tersebut.
Menurut Rosstat, penjualan ritel Rusia anjlok 9,8 persen pada bulan September secara year-on-year setelah penurunan 8,8 persen pada bulan sebelumnya. Sementara tingkat pengangguran meningkat menjadi 3,9 persen dari tenaga kerja dari rekor terendah Agustus sebesar 3,8 persen.
Mengambil pendekatan hati-hati pada inflasi, bank sentral Rusia mempertahankan suku bunga utamanya pada 7,5 persen pada hari Jumat, memperingatkan bahwa ekspektasi kenaikan harga telah tumbuh dan bahwa mobilisasi parsial dapat memicu inflasi jangka panjang karena tenaga kerja yang menyusut.
Menurut Rosstat, pendapatan nyata yang dapat dibelanjakan memperpanjang penurunan mereka tahun ini, dan turun 3,4 persen pada kuartal ketiga tahun 2022 secara year-on-year, setelah naik 8,9 persen pada periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, dalam hubungan dengan strategi pemimpin Rusia, Vladimir Putin untuk memainkan politik minyak dan gas, konsultan mitigasi politik dan pakar Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri yang berbasis di London, Maximilian Hess, mengatakan kepada Al-Jazeera bahwa strategi migas yang dilakukan Putin ia prediksi akan gagal. “Akan gagal, dengan memotong (pasokan) gas ke Uni Eropa, Kremlin sejatinya menembak kakinya sendiri,”kata Hess.
Hess yang menuliskan pandangannya kepada Al–Jazeera mengatakan, ketika Rusia terus melancarkan serangan yang menghancurkan infrastruktur sipil Ukraina, Eropa menimbang masa depan tanpa gas Rusia. “Negara-negara Uni Eropa sedang merundingkan tanggapan bersama terhadap krisis energi sambil berusaha mencapai kesepakatan dengan penyedia gas alternatif,” tulis Hess.
Ia juag menyoroti penurunan aliran gas ke Eropa yang berdampak signifikan terhadap perekonomian Rusia. “Terlepas dari harga energi setinggi langit baru-baru ini, rekor surplus anggaran yang dicatat Kremlin dalam enam bulan pertama perang telah terhapus. Kremlin tetap tanpa dukungan kredit yang signifikan dari luar negeri, karena bahkan Cina tetap enggan untuk memberikan dukungan keuangan,”kata dia.
Sementara Beijing dan beberapa negara non-blok seperti India dengan senang hati membeli minyak dan gasnya dengan harga diskon, pengurangan pengeluaran diskresioner dan penurunan produksi industri sebagai akibat sanksi akan semakin menekan ekonomi Rusia dalam jangka pendek. Prospek jangka panjang Rusia juga semakin redup karena dampak sanksi dan populasi negara yang menurun-–sebuah tren yang diperburuk oleh rancangan Putin dan ratusan ribu orang yang melarikan diri sebagai akibatnya.
Kenyataannya adalah bahwa seluruh model ekonomi Rusia bergantung pada ekspor hidrokarbon ke Eropa. Putin telah memilih untuk mempertaruhkan segalanya atas kebodohannya di Ukraina. Saat aliran gas berkurang, begitu pula sumber kehidupan ekonomi Rusia. “Presiden Rusia tampaknya memainkan permainan energi, sambil berharap nasibnya akan terbalik,”tulis Hess.
Hess sendiri secara sinis menyebut strategi Putin itu seolah berharap bahwa “jembatan yang dia bakar akan menerangi jalannya ke depan”. “Ini adalah kebodohan bersejarah yang akan membuat Rusia lebih lemah, dan lebih miskin, karena mendatangkan malapetaka ekonomi di seluruh dunia,”tulis Hess.
Sementara itu di Eropa, kawasan itu menghadapi krisis energi yang semakin dalam seiring penangguhan Moskow untuk memasok gas alam, sebagai tanggapan atas sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh Barat. Untuk itu pemerintah negara-negara Eropa mencoba untuk mendiversifikasi pasokan dan memperkenalkan langkah-langkah untuk mengurangi permintaan dan menghemat energi.
Rabu lalu, Perdana Menteri Norwegia, Jonas Gahr Store, memperingatkan bahwa krisis energi dapat menyebabkan lebih banyak nasionalisme energi di Eropa. “Dalam situasi kritis yang kita hadapi sekarang, dengan harga listrik dan gas yang tinggi mempengaruhi orang-orang biasa, industri, tempat kerja dan ekonomi, ada bahaya bahwa kita semua akan menjadi lebih peduli dengan kondisi nasional dan bagaimana kita memastikan pasokan listrik kita,” kata Store kepada kantor berita Norwegia, NTB.
Dia mengatakan krisis energi dapat menyebabkan masing-masing negara memprioritaskan kebutuhannya sendiri, sehingga kolaborasi antarnegara sangat penting untuk menghindari ketertinggalan beberapa negara.
“Saya pikir para pemimpin Eropa tahu bahwa jika setiap negara mulai melakukan hal sendiri, maka semua orang akan kalah. Tapi ini tantangan komunikasi untuk menyampaikan bahwa kita harus mencari solusi untuk ini bersama-sama,” katanya.
Store menekankan bahwa Norwegia akan terus berbagi energi dengan negara tetangga. “Jika setiap negara memiliki sistem tertutupnya sendiri, kita harus membangun cadangan yang sangat besar untuk dapat memenuhi masa kekurangan. Sekarang kita telah berhasil menyeimbangkan ini dengan cara yang baik, dan kita harus menjaga kerjasama itu,”kata dia.
Di Belanda, industry roti menghadapi ancaman penutupan di tengah meningkatnya biaya energi setelah perang Rusia di Ukraina. Hasan Atik, seorang pembuat roti di kota Schiedam, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa bisnis roti sangat terpukul oleh krisis energi di negara itu. “Sementara tagihan energi bulanan adalah €1.800 ($1.782) sebelumnya, sekarang menjadi €5.400. Ini adalah jumlah yang sangat besar bagi kami,” kata Atik.
Atik mengaku berusaha menghemat energi dengan mengurangi produksi dan tidak terlalu banyak menggunakan oven. “Kami melakukan sedikit perubahan harga, tetapi ini sangat luar biasa bagi masyarakat, karena 25 atau 30 sen pun bisa terlalu banyak untuk anggaran semua orang. Daya beli masyarakat menurun drastis,” kata dia.
Zeki Solmaz, yang telah menjadi pembuat roti selama 30 tahun di Rotterdam, mengatakan krisis energi paling mempengaruhi pembuat roti. “Saya sekarang membayar (untuk tagihan energi) hampir tiga kali lipat dari sebelumnya,” katanya kepada Anadolu Agency. “Dulu saya membayar €1.600 per bulan, tagihan bulanan meningkat menjadi €5.600 setelah kontrak saya dengan perusahaan energi berakhir.” [Reuters/Al-Jaeera/Anadolu Agency]