Sidang Korupsi Migor: Kelangkaan Migor Tanggung Jawab Siapa?
JERNIH– Ada yang menarik dari proses sidang kasus korupsi minyak goreng, Selasa (27/9) lalu. Pada saat pemeriksaan atas saksi Ringgo, Demak Marsaulina, dan Almira, terkuak pertanyaan penting: siapa atau direktorat mana yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas kelangkaan minyak goreng yang terjadi?
Pertanyaan yang diajukan para penasihat hukum kepada para saksi tersebut umumnya mereka jawab dengan lugas. Menurut saksi, tanggung jawab itu bukan pada Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri, melainkan ada di Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri dan Direktorat Jendral Perbandingan Konsumen dan Tata Niaga. Berdasarkan jawaban tersebut, dalam pandangan penasihat hukum terdakwa, tuduhan kelangkaan minyak goreng itu disebabkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indra Sari Wisnu Wardhana (IWW) dan jajarannya, salah alamat.
Pada persidangan tersebut juga terungkap bahwa apapun arahan yang diberikan Direktur Ekspor Tanam Pertanian dan Kehutanan, Farid Amir, tetap diproses secara normal. Menurut saksi, tidak ada pengkhususan, dan apabila permohonan PE dari group tertentu tidak memenuhi ketentuan yang sudah ditetapkan, maka permohonan tersebut akan ditolak.
Dalam siding terungkap pula bahwa Ditjen PKTN tidak pernah membentuk tim khusus untuk menyelidiki kelangkaan minyak goreng. Yang ada, kata saksi, adalah Kemendag melakukan pengecekan lapangan terhadap ada tidaknya minyak goreng di lapangan dan apakah pabrikan sebagai produsen migor berjalan seperti biasa.
Para penasihat hukum, antara lain Juniver Girsang, juga menanyakan kembali soal ada tidaknya kewajiban dari unifikator untuk melakukan verifikasi di lapangan. Pertanyaan itu dijawab saksi tidak pernah ada verifikasi lapangan. Permendag 19/2021 menyatakan verifikasi lapangan diperlukan jika eksportir belum pernah melakukan ekspor, adanya usulan atau rekomendasi usulan pemeriksaan, dan adanya kondisi khusus lainnya.
Saat diberi kesempatan oleh Majelis Hakim, berkaitan dengan tuduhan penjualan antara perusahaan afiliasi, terdakwa Pierre Togar Sitanggang (PTS) bertanya kepada saksi Demak mengapa saksi menyatakan bahwa “Asianagro sudah paling benar.” Padahal empat Persetujuan Ekspor (PE) yang terbit pertama kali adalah penjualan antara grup perusahaan yang tergabung dalam APICAL group, di mana tiga perusahaan menjual ke Asianagro sebanyak 38.000 ton, sedangkan Asianagro hanya menjual 2.000 ton untuk mengajukan permohonan PE mereka.
Sidang sempat diskors untuk makan siang, dan dilanjutkan dengan memeriksa saksi Fadro dan Fadhllan Organon Hoegan.
Pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap kedua saksi seputar kelengkapan dokumen, serta bisa tidaknya kedua saksi bisa mengambil keputusan. Pertanyaan itu dihentikan hakim dikarenakan salah satu saksi masih berstatus honorer dan saksi lain hanya staf. Keduanya tentu sama sekali tidak mempunyai kapasitas untuk membuat keputusan.
Dalam persidangan sebelumnya, Selasa (6/9), Juniver Girsang menilai jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung tidak cermat membuat dakwaan dalam kasus dugaan korupsi perizinan persetujuan ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) itu. Menurut Juniver, kasus yang menjerat Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia itu bukanlah perkara tindak pidana korupsi.
“Apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana dan tidak masuk ke dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi,” ujar Juniver, saat itu. Juniver menilai, Master Parulian bukan pihak yang menerbitkan peraturan atau keputusan yang terkait dengan izin ekspor yang berimbas pada tingginya harga minyak goreng di masyarakat. Akan tetapi, katanya, PT Wilmar Grup dipaksa pemerintah untuk mengikuti program yang telah diatur untuk mengatasi masalah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng tersebut. “Justru Wilmar Grup yang menderita kerugian dan menjadi korban inkonsekuensi kebijakan program penyediaan minyak goreng kemasan sederhana untuk kebutuhan masyarakat,” ujar Juniver.
Selain itu, Juniver Girsang menekankan bahwa tidak ada satu pun Pasal tentang ketentuan pidana dalam Undang-undang Perdagangan. Ia menyebutkan, pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 19 Tahun 2021 juga bukan sanksi pidana, melainkan hanya sanksi administratif. Atas aturan hukum tersebut, Juniver meminta majelis hakim menyatakan surat dakwaan penuntut umum terhadap kliennya tidak dapat diterima dan batal demi hukum.
“Dakwaan penuntut umum error in persona, bahwa dalam ilmu hukum pidana pengertian error in persona diterjemahkan sebagai adanya penetapan seseorang sebagai pelaku tindak pidana dimana pelaku sebernarnya adalah orang lain,” ujar Juniver. “Dakwaan tidak cermat tidak jelas dan tidak lengkap,” katanya melanjutkan.
Dalam perkara ini, Master Parulian menjadi terdakwa bersama Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA, dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.
Sidang Selasa lalu diskors dan akan dilanjutkan tanggal 30 September, dengan menghadirkan saksi mantan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan, serta Isy Karim dan Arif Sulistyo, jika waktu memungkinkan. [rls]