Utak-Atik Minyak Goreng Bikin Kemendag Tak Berkutik
Ombudsman juga menyarankan agar BUMN turut serta mengambil peran dengan memasok 10 ingga 15 persen dari total kebutuhan pasar. Sebab bagaimana pun juga, pemerintah harus memprioritaskan kebutuhan di dalam negeri lebih dulu. Sebab dari data Kemendag, sepanjang awal Januari saja, persediaan minyak goreng justru menumpuk di gudang produsen hingga distributor. Tercatat, sampai Kamis 3 Februari, jumlahnya mencapai 628 juta liter berupa curah dan kemasan.
JERNIH-Ketika pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan satu harga komoditas minyak goreng senilai Rp 14 ribu, dengan mekanisme subsidi yang dananya diambil dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, sambil memberi ancaman berupa sanksi tegas kepada produsen atau pedagang yang menjual di atas harga tersebut, sepertinya malah dibuat tak berkutik. Sebab bukannya tuntas, permasalahan pada kelangkaan malah memasuki babak baru.
Ombudsman RI, justru menduga ada aksi penimbunan hingga membuat pasokan langka.
Seperti diketahui bersama, pemerintah mengklaim bahwa peningkatan harga CPO di kancah internasional, menjadi biang kerok mahalnya harga minyak goreng di tanah air hingga menyentuh angka lebih dari Rp 20 ribu. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikannya hampir 34 persen yakni, dari Rp 15.792 perliter pada Desember 2020, menjadi Rp 21.125 per Desember 2021.
Banyak kalangan menilai, tak efektifnya kebijakan satu harga yang sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 6 tahun 2022, lantaran dibarengi kewajiban domestic market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO). Artinya, produsen diwajibkan memenuhi kebutuhan dalam negeri lebih dulu dengan volume sebesar 20 persen dari total ekspor.
Jika ketentuan ini tak dipenuhi (DMO), maka keran impor ditutup. Namun, setelah Permen tersebut diterbitkan minyak goreng justru langka. Di lain pihak, Edy Priyono, tenaga ahli utama kantor staf Presiden menilai, waktu tunggu pengisian stok yang membutuhkan waktu 2 hingga 3 hari, malah memperparah kondisi.
“Tidak sebanding dengan tingginya daya beli masyarakat. Ini yang membuat minyak goreng sulit ditemukan. KSP harap waktu tunggu itu dipersingkat,” kata Edy.
Dari situ, Edy meminta Kementerian Perdagangan mengambil langkah secepat mungkin dalam rangka mendorong produsen untuk segera mengalirkan pasokan agar kelangkaan segera teratasi. Sambil, mengawal jarigan ritel yang sudah dibangun tetap mengikuti ketentuan terkait harga.
Ombudsman sendiri, sudah melakukan pemantauan di 34 provinsi. Hasilnya, ditemukan dugaan ada aksi penimbunan, termasuk perilaku pengalihan barang dari pasar modern ke pasar tradisional. Dari situ, lembaga ini menyarankan agar pemerintah segera membetuk satuan tugas guna menangani akses masyarakat ke minyak goreng dengan harga sesuai ketentuan.
Ombudsman juga menyarankan agar BUMN turut serta mengambil peran dengan memasok 10 ingga 15 persen dari total kebutuhan pasar. Sebab bagaimana pun juga, pemerintah harus memprioritaskan kebutuhan di dalam negeri lebih dulu. Sebab dari data Kemendag, sepanjang awal Januari saja, persediaan minyak goreng justru menumpuk di gudang produsen hingga distributor. Tercatat, sampai Kamis 3 Februari, jumlahnya mencapai 628 juta liter berupa curah dan kemasan.
Ini artinya, penimbunan malah terjadi setelah Permendag nomor 6 tahun 2022 terbit. Sebab aturan ini, mengamanatkan pengadaan minyak goreng satu harga dengan kemasan sederhana dan memerintahkan produsen memproduksi sebanyak 200 juta liter per bulan.
Tentu saja, dengan kebijakan tersebut, produsen merasa memiliki beban baru yakni menambah tenaga kerja dan bahan baku. Apalagi, dengan adanya kewajiban DMO, eksportir malah merugi dan kegiatan ekspor terganggu. Di sisi lain, banyak biaya dan denda yang harus ditanggung karena pembatalan ekspor.[]