H Usep Romli HM, Sang ‘Living Heritage’ Sunda itu Kini Telah Tiada
KABAR duka wafatnya sastrawan sunda H. Usep Romli HM, Rabu (8/7/2020) pagi, membuat kaget banyak sahabat. Kepergian almarhum terbilang mendadak mengingat sehari sebelumnya masih sempat menulis dan bersautan di grup WhatsApp.
Pada pagi hari Rabu, salah satu anggota keluarganya memberitahu bahwa Kang Haji, demikian saya biasa menyapanya, masuk ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian kabar mengejutkan itu datang yang menyebukan Kang Usep telah tiada.
Penulis banyak buku sastra berbahasa sunda dan Indonesia serta wartawan senior itu meninggal dunia pada 09.50 WIB di usia 71 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Klinik Al-Yamin Limbangan, Kabupaten Garut.
Selasa pagi, Kang Haji masih aktif di grup, dan biasa kami saling bersapa menanyakan kabar. Almarhum sempat mengeluhkan kadar gula darahnya yang tinggi mencapai 406. “Semoga cepat turun lagi ke 90,” tulis Kang Haji, sambil berbagi gambar hasil pemeriksaan tes gula darah.
Selama ini Kang Haji memang selalu menjaga kesehatan tubuhnya. Keluhannya selain gula darah adalah hipertensi. Beberapa kali almarhum diajak ke Jakarta untuk ikut acara di kantor Jernih dan ditawari jadi pembicara pada workshop untuk calon wartawan dan penulis, ia dengan halus menolak. “Akang mah bantuin dari Garut aja. Harus jaga tensi (tekanan darah tinggi),” ungkapnya.
Kang Haji juga sempat bercerita soal masa kecilnya ketika berada di Subang karena tahu penulis warga USA (Urang Subang Asli). Almarhum memang sempat menempuh Sekolah Rakyat (SR) sekarang sekolah dasar, SR 10 di Wesel Sukamenak, Subang tahun 1958. “Akang mah sok ngebak di Cipanggilingan (sering berenang di Cipanggilingan),” ujarnya menceritakan pengalamannya. “Seru” kata penulis yang juga besar di Wesel, Subang dan pernah berenang di sungai yang sama meskipun pada era yang berbeda. Kami pun sempat janjian untuk napak tilas bersama-sama ke Subang. Sayang keinginan untuk berdua menelurusi ‘sejarah’ kami itu kini hanya tinggal mimpi.
Dalam beberapa bulan terakhir, tulisan Kang Haji, banyak mewarnai Jernih.co, situs yang banyak menulis soal peristiwa, gaya hidup dan kebudayaan. Tulisannya meski di usia yang sudah tidak muda lagi, masih terlihat jernih, bernas dan masih tidak berubah yakni tetap tak bisa lepas dari unsur-unsur kesundaan dan tentu saja sarat dengan pesan-pesan religius.
Seperti dikutip dari NU.or.id, H. Usep Romli HM, lahir di Balubur Limbangan, Kabupaten Garut, 16 April 1949. Menempuh pendidikan SD dan SMP di Limbangan, sambil nyantri di beberapa pesantren kecil dekat rumah (1955-1964). Melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) di kota Garut (1964-1967), juga sambil nyantri antara lain di pesantren tradisional Galumpit.
Ia mengikuti “pengajian politik” di rumah KH Prof. Dr. Anwar Musaddad, Jl.Ciledug, Garut, yang berlangsung setiap awal bulan, dihadiri para politikus NU dan para ajengan pesantren terkenal dari Garut dan sekitarnya. Aktif sebagai anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan GP Ansor.
Tahun 1964, H Usep mulai mengumumkan tulisan sastra (prosa dan puisi),serta jurnalistik. Dimuat dalam surat kabar Harian Banteng (corong PNI Jabar), Harian Rakyat (corong PKI Jabar). Tapi tak pernah satu kalipun dimuat di Harian Karya (corong NU Jabar), walapun sering direkomendasikan oleh pengurus IPNU, GP Ansor dan PCNU Garut.
Lulus dari SPGN Garut (1967), langsung diangkat menjadi PNS Guru SD di pedesaan Kecamatan Kadungora. Professi guru dijalani hingga tahun1983, ketika diangkat menjadi Kepala Seksi di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jabar. Namun tahun 1984, mengundurkan diri dari PNS tanpa meminta pensiun karena ingin fokus kepada professi wartawan yang telah dirintis sejak tahun 1966 dengan menjadi koresponden freelance untuk beberapa surat kabar terbitan Bandung, Jakarta dan Medan.
Selama menjadi wartawan full time di SK Pikiran Rakyat Bandung (1984-2004), pernah mendapat tugas jurnalistik ke seluruh penjuru tanah air dan luar negeri. Antara lain kawasan Timur Tengah, Balkan, Eropa Barat, Eropa Timur dan Asia Tengah. Terutama yang berkaitan dengan masalah politik dan kebudayaan Islam.
Tahun 1998-2002, menjabat Ketua Seksi Diklat PWI Jabar. Kini menjadi pemegang “kartu biru” keanggotaan PWI seumur hidup. Ia pun pernah menimba ilmu bahasa dan sastra Arab di IKIP Bandung (1983) dan IAIN Sunan Gunung Jati (1986).
Setelah pensiun sebagain wartawan aktip PR, menjadi kontributor tulisan untuk beberapa majalah dan surat kabar, sambil mengelola pesantren anak asuh du’afa wal yatama di kampungnya, Desa Majasari, Kecamatan Cibiuk, Kabupaten Garut.
Kang Haji terkenal sangat produktif menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia, yang sudah diterbitkan berupa buku antara lain:
Karya bahasa Sunda di antaranya, Sabelas Taun (kumpulan sajak), Nyi Kalimar Bulan (ceritera anak-anak), Oray Bedul Macok Mang Konod (humor pedesaan), Bongbolongan Nasrudin (humor terjemah dari bahasa Arab), Dulag Nalaktak (humor pesantren), Bentang Pasantren (novel), Dalingding Angin Janari (novel), Dongeng-dongeng Araheng (dongeng anak-anak), Ceurik Santri (kumpulan cerpen) Jiad Ajengan (kumpulan cerpen) Sanggeus Umur Tunggang Gunung (kumpulan cerpen) Sapeuting di Cipawening (kumpulan cerpen) Nu Lunta Jauh (kumpulan sajak) Jurig Congkang Bisul na Bujur (kumpulan cerita misteri-humor) Lalakon Ngatrok : Saba D esa Saba Nagara (kumpulan pengalaman jurnalistik) Saur Bapa Gubernur (kumpulan carpon), Nganteurkeun (novel), Paguneman jeung Firaon (kumpulan carpon), The Last Herro (novel).
Kang Haji juga menulis dalam Bahasa Indonesia di antaranya Si Ujang Anak Peladang (ceritera anak-anak) Pahlawan-Pahlawan Hutan Jati (ceritera anak-anak), Sehari di Bukit Resi (ceritera anak-anak), Desa Tercinta (ceritera anak-anak), Berlibur di Kaki Gunung (ceritera anak-anak), Aki Dipa Pemburu Tua (ceritera anak-anak), Bambu Runcing Aur Kuning (ceritera anak-anak), Pahlawan Tak Dikenal (ceritera anak-anak), Percikan Hikmah (kumpulan anekdot sufi), Pertaruhan Domba dan Kelinci (ceritera anak-anak bergambar), Zionis Israel di Balik Serangan AS ke Irak (analisa).
Belum lagi karya-karya sastra lainnya seperti novel dan sajak-sajak. Apresiasi pun banyak diberikan kepada Kang Haji di antaranya, Hadiah Sastra Mangle (1977), Hadiah Sastra LBSS (Forum Basa jeung Sastra Sunda) 1995, untuk puisi. Hadiah Sastra LBSS 2001, untuk essay. Hadiah Sastra LBSS, 2004, untuk essay. Hadiah Sastra LBSS, 2007, untuk cerpen. Hadiah Sastra Rancage (2010) untuk karya Sanggeus Umur Tunggang Gunung serta Hadiah Sastra Rancage (2011) untuk jasanya untuk dunia sastra Sunda.
Meskipun telah tiada, semua karyanya Kang Haji akan tetap hadir mewarnai jagat kesusastraan dan jurnalistik sepanjang masa dan menjadi warisan sangat berharga sekaligus penyemangat bagi kami, para generasi muda. Kang Haji ibarat living heritage atau pusaka hidup bagi orang sunda. Selamat jalan Kang Haji, selamat jalan menuju keabadian…