Kenangan Mereka Tentang Almarhum Kolonel Herman Ibrahim
“Bagi para aktivis-intelektual, Pak Herman adalah lawan debat yang memikat dengan pikiran-pikiran kritis, yang kerap melampaui koridor sebagai tentara dan aparat negara, yang pada masa itu rezim pemerintahan sangat membatasi ruang kritik, apalagi protes ekstraparlementer.”
JERNIH— Konon, ada yang tak ternafikan dan pasti suatu saat datang menghampiri kita di kehidupan. Hidup selalu meniscayakan air mata, senyum, dan kenangannya sendiri. Namun air mata pada saatnya mengering, senyum memudar, hanya kenangan yang bisa bertahan selama hidup itu sendiri masih ada, dan ia kerap datang kembali untuk menghangatkan hati kita.
Kenangan yang paling mampu menghangatkan hati dan mendatangkan inspirasi, adalah kenangan tentang orang-orang baik. Mengenang mereka membuat kita kembali mendapatkan asa, membuat semangat lagi menyala, sementara hati penuh huzun dalam ingatan akan kebaikan dan kharisma mereka.
Almarhum Kolonel (purn) Herman Ibrahim tak diragukan telah menjalani hidup sebagai orang baik. Berikut pengakuan itu, dari beberapa orang yang sempat dekat di saat-saat almarhum berkiprah untuk negara dan masyarakat.
Amich Alhumami, Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Bappenas, aktivis HMI Bandung dan PB HMI 1990-an
Saya mengenal Pak Herman Ibrahim ketika menjadi aktivis HMI Bandung, awal 1990-an, yang kerap berinteraksi dengan beliau baik dalam konteks gerakan, aksi sosial, maupun percakapan intelektual.
Dalam posisi sebagai Kepala Pusat Penerangan Kodam III Siliwangi, beliau dikenal sangat dekat dengan para aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Meskipun kerap bersitegang dengan aparat di medan aksi ekstraparlementer, namun bila bertemu dan berdialog dengan Pak Herman, para aktivis merasa menemukan saluran aspirasi, mengingat beliau sangat terbuka, komunikatif, dan akomodatif atas berbagai pandangan, pendapat, dan pemikiran kritis, bahkan yang keras sekalipun.
Di kalangan para aktivis mahasiswa, Pak Herman Ibrahim dikenal sebagai tentara pemikir, tentara intelektual. Pandangan dan pemikiran beliau sangat bernas dan menggugah, selalu memicu diskusi intelektual yang menarik.
Jarak kantor beliau di Kodam III Siliwangi dan sektretariat HMI Bandung hanya selemparan batu saja, sehingga kami kerap datang ke ruang kerja beliau atau beliau kami undang ke sekretariat, untuk diskusi intensif tentang beragam tema. Bacaan beliau sangat luas dan kerap merujuk buku-buku berbobot ketika berdiskusi dan berargumen.
Bagi para aktivis-intelektual, Pak Herman adalah lawan debat yang memikat dengan pikiran-pikiran kritis, yang kerap melampaui koridor sebagai tentara dan aparat negara, yang pada masa itu rezim pemerintahan sangat membatasi ruang kritik, apalagi protes ekstraparlementer.
Ketika sedang mengecek berita mutakhir di grup WhatsApp, saya membaca kabar duka: Pak Herman Ibrahim wafat dalam usia 74 tahun. Saya turut berbela sungkawa atas berpulangnya tentara intelektual yang sangat dekat dengan para aktivis mahasiswa ini, dan sungguh sedih sejak saya bermukim di Jakarta belum bernah bersilaturahmi ke beliau. Selamat jalan Pak Herman, Insha Allah khusnul khatimah!
Syaiful Rahman Soenaria, pengajar FEB UNPAD, Ketua Presidium Senat Mahasiswa UNPAD 1993-94
Pak Herman Ibrahim sedang aktif di Kodam III/Siliwangi saat kami kuliah di sepanjang 1989-1994. Beliau perwira TNI yang rajin berdialog dengan mahasiswa sehingga dalam pandangan kami beliau saat itu jadi jembatan penghubung yang efektif antara aktivis mahasiswa dengan TNI, khususnya teritorial Kodam III Siliwangi.
Wawasan sejarah dan wawasan kebangsaannya luas dan kuat bila kita berdialog dengannya. Tak heran karena memang sejak SMA beliau sudah jadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII).
Saat ada rentetan aksi mahasiswa di Bandung dan Jawa Barat khususnya tentang jilbab (1989/1990), tabloid monitor (1993) dan SDSB (1993/1994) beliau intens berinteraksi dengan aktivis mahasiswa. Bahkan bila besok akan ada aksi mahasiswa, beliau malam sebelumnya jumpa dengan aktivis mahasiswa untuk membuat “gentlemen agreement“. Paling tidak dua kali hal itu saya saksikan terjadi di Masjid Unpad, Jalan Dipati Ukur 35, Bandung.
Kita berharap para perwira tinggi dan menengah TNI saat ini bisa meniru teladan beliau: rajin berdialog dengan mahasiswa Semoga Allah selalu menyayangi beliau di alam kubur dan memasukkan beliau kedalam syurgaNYA. Aamiin.
Budhiana Kartawijaya (Mantan Pimpinan Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat)
Saya mulai mengenal nama Herman Ibrahim dari koran, pada akhir 1980-an saat almarhum menjadi Kapendam. Namanya sering muncul di Pikiran Rakyat. Saat itu ABRI sedang kuat-kuatnya.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya menyaksikan ketidaksukaan mahasiswa kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), termasuk kepada lembaga yang namanya Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas). Herman, kalau tidak salah adalah sekretaris lembaga represif Orde Baru itu (Bakorstranasda). Karena itu, saya tentu tidak menyukai Herman dan merasa tidak perlu bertemu almarhum.
Setelah menjadi wartawan Pikiran Rakyat, mau tak mau saya harus berhubungan dengan Herman Ibrahim. Hubungan mulai dekat, ketika saya bertugas di Jakarta, dan Herman menjadi kepala Humas Departemen Dalam Negeri. Dari situ, saya banyak mengobrol dengan beliau. Saya suka minta penjelasan latar belakang peristiwa di Jabar pada masa aktif di militer. Saya jadi kaya dengan informasi latar belakang peristiwa masa lalu.
Dari situ hubungan saya dengan kolonel ini bukan sekadar jurnalis dengan narasumber, akan tetapi sebagai teman. Saya semakin memahami bahwa setiap orang punya peran masing-masing dalam panggung kehidupan ini. Sewaktu menjadi pemimpin redaksi Pikiran Rakyat, kami sering menggelar diskusi politik dan kejawabaratan. Selalu saya minta almarhum sebagai narasumber, karena pemikiran-pemikirannya selalu segar dan memantik perdebatan.
Medrial Alamsyah, pengamat kebijakan publik dan aktivis mahasiswa 1980-an
Innalillahi wainna ilaihi rojiuun. Tentara yang nyeleneh, selalu berfikir out of the box serta tiap bertemu senantiasa mencerahkan, bersahabat dan penuh gelak tawa. Semoga almarhum diterima amal Islamnya, diampuni dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya dan diberi tempat terbaik di sisiNya. Aamiin
Abas Nurgaha, Wakil Ketua KNPI Jawa Barat akhir 1990-an
Salah seorang centara cerdas dan baik hati…(emoji menangis)
Saleh Hidayat, aktivis mahasiswa Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung (Bakor) 1980-90-an
Di zaman itu, malam-malam berkunjung ke Markas Kodam Siliwangi, disuguhi makan ayam bakar, disambung obrolan seputar “Peristiwa 27 Juli 1996”. Waktu itu ada organisasi yang oleh rezim saat itu dituduh sebagai pelaku utama di balik kerusuhan. Sementara tim intel Kodam Siliwangi sendiri menyebarkan bahwa mereka punya kaitan erat dengan beberapa aktivis Bandung.
Dengan alasan itulah direncanakan adanya penangkapan para aktivis Bandung. Alm bilang, selaku Kepala Penerangan Kodam, saya tegaskan kepada Panglima Kodam (waktu itu Mayjen Tayo Tarmadi—red Jernih) bahwa tak ada aktivis mahasiswa Bandung yang jadi anggota organisasi tersebut. Alhasil, manakala di berbagai kota ada penangkapan, di Bandung saat itu tak ada penangkapan aktivis.
Ichwan Ridho Akil, aktivis Bakor Bandung era 1980-1990-an
Saya jumpa Kang Herman Ibrahim pertama kali di salah satu hotel di Jalan Sudirman (Bandung), bersama Kang Avi Taufik Hidayat, difasilitasi oleh Darmawan Sepriyossa. Saat itu beliau menjabat Kapendam Kodam III Siliwangi.
Sebagai tentara, beliau berfikiran terbuka dan bebas. Sebagai kepala penerangan Kodam, waktu itu almarhum berani siaran langsung diskusi interaktif di radio Mara. Pada zaman itu mah diskusi di radio semacam itu sudah termasuk ‘berani’.
Saat itu tidak lama setelah peristiwa 27 Juli 1996. Waktu itu santer bakalan ada penangkapan para aktivis, di antaranya Pius Lustrilanang dan Efendi Saman.
Saya dan Avi menyakinkan Kang Herman bahwa di Jawa Barat tidak ada anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan hal ini karena peran Pius yang saat itu menjabat ketua Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera).
Atas jasa Kang Herman kemudian pembicaraan ini menjadi kebijakan Kodam III Siliwangi, seperti dari pernyataan Pak Tayo Tarmadi selaku Panglima Kodam III yang mengatakan di Jawa Barat tidak perlu ada kebijakan “tembak di tempat” (berbeda dengan pernyataan Kasospol ABRI saat itu, Jendral R Hartono). Saya bilang, saat itu, “Di Jawa Barat mah hanya ada aktivis LBH Nusantara dan Aldera yang ‘kekiri-kirian’.”
Selanjutnya saya sering kontak dengan beliau karena enak diajak diskusi. Lama-lama beliau malah sudah seperti kakak sendiri. Atas bantuannya, saya dinikahkan oleh kakak beliau, alm Pak Laksamana Ibrahim dengan saksi ‘ahli’ Kang Dyno Cressbone dan Kang Paskah Irianto. [dsy]