Ali Audah Tentang Sastra Sufi
“Kalau Raja mengambil sebuah tufah dari pohon di kebun orang. Pejabat akan mencabut pohon itu dengan akarnya. Kalau Raja membolehkan mengambil lima butir telur. Maka seribu ekor ayam akan menyusul dipanggang. Orang yang zalim memang tak ada yang kekal. Tapi kutukan karena kezaliman akan abadi.”
Oleh : Ali Audah*
JERNIH– Risalah pendek ini tidak dimaksudkan menjelajahi latar belakang dan sejarah mula tumbuhnya ajaran tasauf, yang umumnya dikenal orang sebagai suatu cara dan bentuk hidup tapa brata, serba sengsara, tak acuh dan menjauhi segala macam kesenangan hidup duniawi, yang justru banyak dilakukan oleh mereka yang kurang memahami inti ajaran agama.
Mereka menjerumuskan diri ke dalam hidup asceticism dan quietism. Dalam perkembangan selanjutnya ajaran ini menjelma menjadi semacam kelompok-kelompok tarekat dengan upacara-upacara yang bersifat pseudo-agama, dengan pelbagai macam manifestasi yang aneh-aneh dan kompleks–dalam ucapan dan perbuatan.
Kecenderungan-kecenderungan para sufi yang sering sejalan dengan para ahli filosofi masa itu, telah menimbulkan pertentangan yang hebat sekali dengan sebagian para ulama fikih. Satu pihak menekankan pengertian agama itu pada hakikat, yang lain pada syariat. Bibit-bibit tasauf dan filsafat itu lebih banyak tumbuh di Iran dan sekitarnya, dan sebagian lagi di Mesir dan di Irak.
Hal ini berjalan selama berabad-abad dalam sejarah Islam dan dapat dikatakan mencapai puncaknya pada abad kedua belas Masehi. Pada waktu itulah Imam Gazali tampil. Tokoh yang sekaligus ahli tasauf, ahli fikih dan ahli filsafat yang menguasai benar filsafat Yunani ini juga harus sekaligus berhadapan dengan ketiga golongan itu.
Dengan kata lain Imam Gazali-lah orang pertama yang telah dapat mengembalikan ketiga komponen itu ke tempatnya masing-masing, dengan cara dan argumentasi yang gemilang.
Pengaruh tokoh Gazali ini ternyata besar sekali sehingga karena itu pula agaknya tak sampai setengah abad kemudian setelah Gazali wafat (1111 M), lahir karya-karya sastra sufi yang besar oleh seniman-seniman besar. Seperti penyair Sana’i (wafat 1150 M) penyusun antologi “Hadiqa” disusul lirik Fariduddin Attar dalam Mantiq at-Tair”, cerita panjang tentang seminar burung-burung mencari pemimpin, serta Gulistan dan Bustan oleh Sadi.
Pada masa itu jugalah kemudian tampil Muhammad Jalaluddin Rumi, penyair sufi terbesar yang telah menciptakan Masnawi yang sangat terkenal itu, terdiri dari sekitar 30.000 bait. Rumi yang menjadi penyair setelah berusia 34 tahun, dalam pengakuannya menyatakan sangat terpengaruh oleh kedua penyair sebelumnya itu, Sana’i dan Attar. Setelah mereka, menyusul kemudian Hafiz dan Jami (1414-1492) sebagai penutup penyair sufi, pencipta Salaman dan Absal, Majnun dan Laila serta Yusuf dan Zulaikha dengan gaya Firdausi.
Di bagian lain mungkin Umar bin Fariz di Mesir yang dianggap penyair Sufi terbesar sesudah Rumi, dikenal sebagai penyair cinta ilahi. Sajak-sajaknya penuh metafora dan kadang sukar ditangkap. Pada dasarnya puisi-puisi mereka itu banyak yang berpusat pada unsur-unsur cinta kasih seorang Sufi kepada Tuhan, yang dikenal dengan sebutan Cinta Ilahi, (seperti yang terdapat sangat menonjol pada penyair sufiwati Rabi‘ah Adawiyah di Basrah dalam abad ke-8) meskipun sudah tentu, banyak idea dan pandangan lain yang mereka terapkan dalam karya-karya itu, kadang dalam bentuk prosa, tapi kebanyakannya dalam puisi.
Penyair-penyair sufi yang berbicara dalam bahasa puisi tentang makrokosmos dan mikrokosmos sering tidak dimengerti atau sering menimbulkan salah pengertian kaum yuris, meskipun pikiran-pikiran mereka juga banyak bersumber dari Qur’an dan hadis.
Dari masalah-masalah berat yang bersifat teologis filosofis seperti soal tauhid, takdir, wahyu, kenabian, alam semesta, kodrat manusia dan sebagainya, sampai pada masalah-masalah sosial, etik dan tingkah laku manusia sehari-hari, terjalin dalam bentuk cerita-cerita, anekdot-anekdot, alegori, fabel, petuah, tamsil, dengan melibatkan para malaikat, nabi-nabi, raja-raja sampai kepada manusia-manusia biasa dan binatang-binatang, semua ikut berperan.
Penyair-penyair ini kadang membuat tafsir sebuah ayat Qur’an atau hadis dalam bentuk cerita dan sebagainya itu. Misalnya kisah-kisah Rumi tentang Nabi Sulaiman, malaikat dan seorang tamu (Lukman 31 :34); al-Jumu’ah [62):8), Gajah di kandang yang gelap (bandingkan al-Jasiyah 45:24), Nabi Isa dan orang bodoh yang keras kepala (al-A‘raf (7):199; Singa dan Kancil, Doa Gembala dan sebagainya (dari hadis Nabi), tentang egoisme dan sebagainya.
Ada orang mengetuk pintu: “Siapa?” tayanya. “Aku”, jawab kawannya. Pintu tak dibuka. Kawan itu kembali jagi mengetuk. ’Siapa?” tanyanya. ”Kau”, jawab kawannya. Pintu pun dipuka karena kawan sejati seperti cermin, ”kau” adalah “aku”.
Kisah Ali bin Abu Talib, ketika dalam suatu peperangan sudah mengangkat pedang hendak membunuh musuhnya, Ali diludahi. Ia tak jadi membunuh. Si musuh terkejut, bertanya keheranan apa sebabnya. Ali menjawab: ”Aku melawan kau di jalan Allah. Tapi setelah kau meludahiku, tugas yang semula telah bercampur dengan nafsu hendak membalas dendam. Aku takkan bertindak karena motif-motif pribadi”.
Seorang sarjana bahasa naik perahu. Karena bahasa nelayan kurang sedap, sang sarjana bertanya: “Pernahkah belajar gramatika?” Nelayan menjawab tersipu-sipu: ”Tidak”. “Wah”, ujar sang sarjana, “separo hidupmu hilang cuma-cuma”. Sang nelayan menekur penuh penyesalan. Tak lama kemudian datang angin ribut dan ombak besar. Perahu jadi oleng, akan segera karam. Sekarang nelayan yang bertanya kepada sarjana: ”Pernahkah belajar berenang?” Dengan gugup sang sarjana bahasa menjawab: ”Tidak”. “Wah”, tukas nelayan, “sekarang seluruh hidupmu pasti habis”.
Dalam mencari kedamaian jiwa Rumi berpaling pada firman Allah tentang tingkat nafsu manusia dari yang rendah sampai ke tingkat jiwa yang tertinggi. “Wahai jiwa yang damai. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa rela dan senang. Tuhan pun menerimamu dengan rela dan senang. Masuklah kamu ke tengah-tengah hamba-Ku. Masuklah ke dalam Surga-Ku”.
Tersentuh jiwa Rumi memenuhi seruan rahmat Tuhan, puisi berikut ini merupakan salah satu ilustrasi:
“Sudah sekian lama aku mencari bayangan jiwaku.
Jiwaku tak dipantulkan siapa pun.
Cermin jiwa yang sia-sia.
Tapi wajah kawan yang jauh nun di negeri sana.
Kulihat bayanganku sendiri di matamu.
Aku berkata: “AKhirnya kutemui diriku.
Dalam matamu kutemui jalan sinar itu”.
Bayanganku berteriak keras dari matamu:
Aku adalah kau, Kau adalah Aku, dalam kesatuan menyeluruh”
Ini sama dengan ungkapan Rumi yang lain:
“Saat bahagia bila kita duduk di istana, kau dan Aku
Dalam dua bentuk, dalam dua wujud, kau dan Aku”
Puisi-puisi sufi memang belum banyak dikenal orang di Indonesia. Orang lebih banyak mengenal ajaran-ajaran tasauf tapi bukan sastranya, yang bila kita kaji lebih jauh sangat mengasyikkan. Sastrawan-sastrawan sufi itu mempunyai keberanian moral serta kedalaman pemikiran dalam mengungkapkan sesuatu, dipadu oleh gaya bahasa puisi yang indah.
Walaupun tidak dalam pengertian sufi yang penuh, di Indonesia kita lihat penyair Amir Hamzah mempunyai kecenderungan demikian dalam puisi-puisinya. Penyair Taufiq Ismail ketika awal tahun ini di TIM dalam membacakan puisi-puisinya menyertakan juga saduran puisi-puisi sufi dari Rumi dan Rabi‘ah. Yang demikian masih bisa digali lebih dalam, lebih banyak lagi, juga karya penyair-penyair sufi lain.
Apabila kita mencari mata rantai dari masa penyair sufi terakhir, Jami, pada akhir abad ke-15 hingga sekarang, barangkali dalam arti yang utuh baru kita jumpai lagi pujangga Iqbal, yang seperti pengakuannya sendiri menganggap Jalaluddin Rumi sebagai gurunya dalam arti spiritual. Nama lain yang semasa dengan Iqbal dapat kita sebut misalnya penyair Ahmad Syauqi di Mesir, yang sering diberi sebutan Prince de Poete. Dapat tidaknya penyair ini kita golongkan ke dalam penyair sufi –sama halnya dengan Bushiri dalam abad ke-13 di Mesir dan Nuriddin ar-Ranin dalam abad ke-17 di Indonesia — masih dapat ditelaah lebih lanjut.
Muhammad Iqbal serta sebagian karya-karyanya banyak diperkenalkan di Indonesia oleh almarhum Bahrum Rangkuti, demikian juga karya-karya ar-Raniri.
Sekadar ilustrasi lain kita kutip karya-karya penyair Sadi di bawah ini sebagai penutup:
Begitulah bermulanya kezaliman
Tersebutlah bahwa suatu hari Raja Anusyirwan yang adil pergi berburu.
Sementara para pengiring sedang membakar daging hasil buruan.
Garam yang tentu diperlukan tidak terbawa.
Seorang anak disuruh mengambil segenygam garam dari
kampung terdekat. Sebelum anak berangkat, Kata Raja: “Belilah harga garam rakyat itu menurut harganya.
Jangan menjadi kebiasaan mengambil milik orang lain.
Kampung itu akan binasa Karenanya.”
Mereka pun bertanya kepada Raja tak mengerti maksudnya:
“Apa salahnya mengambil barang remeh hanya segenggam garam”.
“Kezaliman di dunia ini dimulai dari yang kecil” jawab Baginda.
“Tapi yang datang Kemudian akan mengambil lebih besar dari yang dahulu”.
Jika Raja mengambil hanya segenggam garam, para pejabat akan merampas tanah sebahu. Kalau Raja mengambil sebuah tufah dari pohon di kebun orang.
Pejabat akan mencabut pohon itu dengan akarnya. Kalau Raja membolehkan mengambil lima butir telur. Maka seribu ekor ayam akan menyusul dipanggang. Orang yang zalim memang tak ada yang kekal. Tapi kutukan karena kezaliman akan abadi.”
Cerita keledai yang bijak
Ada orang yang tertinggal di tengah perjalanan menangis sambil berkata: “Siapakah orang yang bernasib lebih malang dari aku di padang pasir air ini!” Seekor keledai beban yang sedang lewat menjawab: “Oh manusia yang tak tahu diri! Sampai kapan kau menangisi kekejaman nasib ini.
Pergilah, dan bersyukurlah. Walaupun kau tak menunggang keledai, engkau bukan keledai yang ditunggangi orang.”
Kebodohan itu menular
Ada seorang Menteri. Anaknya bodoh sekali.
Seorang guru dapat perintah supaya menerimanya di sekolah. Setelah lama anak belajar. Tak sepotong ilmu yang dapat dikejar.
Pengaruh guru tak berbekas. Sang guru menghadap Menteri sambil bertukas: “Anak ini memang tak berbakat dalam ilmu. Bahkan berbalik membuat saya yang sekarang jadi dungu”. Kalau dari semula memang otaknya yang tak berbakat. Pelajaran yang diberikan hanya seperti besi karat. [ ]
*Almarhum, sastrawan Angkatan 66 dan penerjemah terkemuka
**Judul asli “Sepintas Lalu Sastra Sufi”, dimuat di Harian Kompas, 11 Agustus 1980. Tulisan tidak harus mencerminkan sikap redaksi Jernih.co