Bocah-bocah Bertumbuh Bersama Judi
JAKARTA— Seringkali saya merasa harus bersyukur dengan sungguh-sungguh, di kala dewasa saat ini tak sedikit pun menggemari permainan judi dalam apa pun bentuknya. Harus sangat berterima kasih, karena sejak kecil pun generasi seumuran saya di Kampung Putat, Kadipaten, Kabupaten Majalengka, sudah terkungkung aneka judi dalam berbagai bentuk permainan. Yang kasar atau pun halus hingga tak terasa sebagai perjudian.
Sejak balita, begitu keluar dari pintu rumah, anak-anak Putat saat itu sudah akan berhadapan dengan perjudian. Ibu-ibu rumah tangga—ibu, bibi dan bude mereka, setelah menyelesaikan tugas-tugas pagi dipastikan akan berkumpul sesamanya di beranda rumah salah seorang. Kadang mereka saling menelisik rambut, mencari kutu atau telornya (lisa—nama yang indah untuk telur kutu rambut). Bila dapat, dengan kegemasan yang tak bisa saya gambarkan, mereka akan menggigit kutu atau telur kutu itu remuk di antara geligi dan terdengar bunyi kecil ‘klik’, ‘tes’ atau sejenis itu.
Tetapi bila jumlah yang berkumpul lima orang atau lebih, mencari kutu bukanlah aktivitas favorit. Salah seorang akan mengeluarkan kartu Ceki, lalu mereka pun duduk melingkar dengan kartu di tangan. Kartu-kartu itu ramping bentuknya, sedikit lebih kecil, namun kebih tinggi dibanding kartu domino. Mulailah mereka saling meminta kartu untuk memenangkan permainan.
“Wajit!”
“Tah Jarum! Tah Bambu! Tuh Jarum! Tuh Bambu! Yang anehnya tak pernah di-Sundakan menjadi awi, misalnya.
“ Mana Glundung?”
“Kadieukeun Nyonya! Sini Nyonya!”, dan sebagainya, tergantung keperluan untuk menggenapi masing-masing kartu.
Bila anak-anak itu lulus untuk tidak ikut berkumpul bersama ibu atau bibinya berjudi Ceki, beberapa langkah di depan sudah menanti aneka jenis judi lain. Di warung-warung, dengan mudahnya anak-anak itu mencoba dirayu dengan aneka mainan menarik yang tergantung pada selembar kertas karton. Ada terompet, ada kapal-kapalan, ada pistol-pistolan dan lain-lain. Di pinggiran kertas karton itu berderet sekitar 100-200 bungkusan kecil berisi lima butir ‘telur cecak’ manis, terpacak dipaku staples. Harganya saat itu Rp 5, yang bila beruntung bisa mendapatkan aneka mainan tadi.
Tapi kadang sampai bungkus-bungkus kecil itu habis, beberapa mainan masih ada di tempat, menjadi milik pedagang. Kami, anak-anak kecil saat itu akan ngedumel,” Ah, eta mah pancing. Ah, itu sih pancingan.”
Sore hari, tak lama setelah waktu Ashar, di pinggiran jalan sudah ada berkelompok-kelompok orang mengitari seseorang. Mereka berjongkok, memasang taruhan pada selembar karton bertuliskan angka dari 1 hingga 50. Kadang pada beberapa bandar yang lebih serius, karton itu diganti papan tripleks yang dicat. Pasangan paling Rp 5 atau kelipatannya, sesuai keberanian orang-orang bertaruh. Bila Rp 5 yang diletakkan di sebuah nomor itu sesuai dengan berhentinya putaran ‘kincir’, uang itu kembali kepada pemasang ditambah hadiah sebutir telur asin. Telur yang diberikan itu sesuai kelipatan Rp 5 tadi. Itulah lotre telur, atau lotre endog dalam bahasa kami.
Biasanya, di dekat ‘penjual’ lotre endog selalu ada lingkaran lain yang isinya orang-orang dewasa. Kalau bukan lotre koprok yang memakai dua dadu besar dikoprok-koprok sebelum ditaruh untuk ditebak, ada juga lotre kincir. Yang terakhir biasanya memakai kumparan atau kincir bergambar aneka binatang. Yang menang adalah mereka yang pilihan undinya ke gambar satu binatang—misalnya gajah, harimau, ditunjuk oleh jarum kumparan saat kincir berhenti berputar. Biasanya, karena ini permainan judi yang serius, taruhannya pun besar. Saat itu para pemasang biasa memasang Rp 50 (uang logam) atau uang kertas Rp 100 dan Rp 500.
Kami para bocah pun tak luput dari judi. Bila ‘gambaran’—kertas berisi potongan-potongan 100 gambar kecil yang nantinya dipotong per gambar, tengah menjadi trend atau musim karet gelang, biasanya saat itulah kami para bocah memainkan judi tanpa disadari. Judi yang sederhana saja, semacam Kiu-kiu. Caranya dengan memakai gambar itu sendiri yang masing-masing memiliki angka dari 01 sampai 100. Pemenang adalah pemilik angka terbesar dari penjumlahan dua angka terakhir di ‘kartu’—gambar, yang ia miliki.
Misalnya, kartu bernomor 17 dan 52 berarti Kiu-kiu alias angka 9, angka terbesar di permainan. Kartu bernomor 63 dan 35 berarti Kiu-Pe atau angka delapan, dengan peluang menang cukup besar karena hanya bisa dikalahkan angka ‘9’ sebagai hasil penjumlahan. Apa yang kami pertaruhkan? Gambar itu juga. Jumlahnya tak pernah dihitung, hanya segenggam, dua genggam atau setangkup besar lengan bila pemainnya merupakan bocah serakah.
Saya ingat, produsen gambar-gambar itu adalah CV GK—Gunung Kelud. Biasanya selembar besar gambar berisi 100 gambar kecil itu memuat cerita film yang sedang ‘in’ saat itu. Antara lain cerita Flash Gordon, atau pertarungan Muhammad Ali. Tetapi sering pula isinya berupa kumpulan gambar super-hero yang mereka beri judul ‘Kelompok Lakon-lakon’. Para pelukis yang tak pernah kami ketahui Namanya itu akan memberikan inisial di salah satu dari 100 gambar yang ada. Saya masih ingat, ada inisial ‘Obi’ pada sebuah serial gambar yang menceritakan pertarungan antara astronot dengan makhluk angkasa luar saat itu.
Tetapi bagaimana anak-anak tak akan terlibat permainan judi di Putat saat itu? Jufdi datang tanpa mengenal saat. Manakala waktu subuh usai dan sinar matahari perlahan menerangi halaman-halaman rumah kami (wanci carangcang tihang—Sunda), sebuah teriakan akan bergema mengelilingi kampung.
“Kiiiik! Kiiik! Arisan! Arisan!”
Itu teriakan Mang Kirat, penjaja judi Nalo (National Lottery). Sebenarnya bukan Nalo resmi yang sudah dihentikan tahun 1972. Itu lebih tepat disebut judi Toto Singapur (Tosing) yang diageninya dengan illegal. Tapi semua warga senang-senang saja. Apalagi Mang Kirat termasuk figur yang disukai karena jenakanya.
Nalo resmi dijual Rp 100 per lembar, dengan hadiah berupa uang sebesar Rp 5.000. Tetapi lebih banyak rakyat yang memasang taruhan sesuai dua-tiga angka terakhir Nalo kepada pengecer-pengecer semacam Mang Kirat. Mereka bisa memasang sesuai uang yang dimiliki, dengan hadiah berlipat bila menang.
Saat itulah tampaknya masyarakat Indonesia berada pada titik nadir rasionalitas mereka. Bagaimana tidak, bila mimpi sejenis apa pun akan diinterpretasi secara ganjil—‘dimistik’, dan ocehan orang gila kerap dihargai lebih dari seharusnya. Demam Nalo berhenti pada 1972, seiring dihentikannya undian tersebut.
Namun beberapa tahun kemudian, dengan dalih perlunya dana olahraga, undian Porkas pun muncul. Diprotes, kemudian berganti nama dan yayasan penyelenggara, menjadi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Untunglah, dengan dimotori para mahasiswa Bandung di awal 1990-an, SDSB pun mati dan hingga kini belum digantikan yang lain. [dsy]