POTPOURRI

Cerita Pendek : Tamu dari Hulu

“Kawan-kawan Aki sudah pada datang. Permisi….” Kakek-kakek itu mengajak bersalaman kepada Abah Uca, yang diam terpana. Apalagi, ketika terasa telapak tangan kakek-kakek itu, dingin dan basah. Mencair.

Oleh  : Usép Romli HM

Tampak jelas oleh  Abah Uca dari serambi  rumahnya. Ada kakek-kakek bongkok berbadan kerempeng, di pemandian Sungai Cikuncir. Mungkin sedang wudlu. Kemudian berjalan pelan. Menanjak. Menuju masjid di sebelah atas kampung.

“Orang dari mana itu?” Abah Uca mengernyitkan jidat. Jika dari atas, tak perlu turun ke sungai. Mau wudlu, mau mandi, ada tempatnya di samping masjid. Airnya dari mata air, yang bersumber pada pohon bungur tua di sisi tebing. Jernih. Lebih bersih daripada air Sungai Cikuncir yang bercampur lumpur. Apalagi pada musim penghujan begini.

Sambil memendam rasa heran, Abah Uca segera turun dari rumahnya. Menuju masjid. Waktu azan zuhur tinggal beberapa menit lagi. 

Ternyata kakek-kakek yang dilihatnya tadi di sungai, sudah ada di beranda. Duduk bersandar pada kaki bedug. Seperti kecapaian sekali. Badannya basah. Entah oleh keringat, entah oleh air bekas tadi di pemandian sungai.

“Assalamualaikum,”Abah Uca mengucap salam.

“Wa’alaikum salam warohmatullohi wa barokatuh,”jawab kakek-kakekitu, cepat. Dan cepat pula ia bekata : “Masjid ini ada di tengah kampung besar. Tapi rasanya kurang terurus. Kotor dan kusam….”

Mendengar itu, Abah Uca senyum kecut. Kemalu-maluan. Serasa dikata-katai dan ditelanjangi. Tapi apa boleh buat. Kenyataan tak bisa disembunyikan.

“Bagaimana menghelahnya?” Abah Uca tertegun. Tatapan matanya beradu dengan tatapan mata kakek-kakek tersebut. Hanya sepintas. Abah Uca menunduk. Merasa kalah aura.

“Tapi biarlah. Memang lumrah di manapun juga, masjid selalu  kosong. Kalau penuh namanya pasar dan toko,”kata kakek-kakek itu, seolah menghibur. Ia bangkit. Melangkah ke dalam. Melaksanakan salat tahiyatul masjid.

Setelah  yang salat selesai, Abah Uca adzan. Tak menggunakan spiker.

“Mengapa tak pakai toa?”tanya kakek-kakek itu.

“Boros strum, Aki.” Abah Uca menjawab sekenanya. “Pakai toa juga percuma.Tak akan ada yang datang berjamaah.”

“Astagfirulloh!” Kakek-kakek itu menggelengkan kepala. “Jangankan berjamaah, pada panggilannya juga abai, ya? Tapi sudahlah. Kita saja berdua berjamaah.”

Kakek-kakek itu melafalkan iqomat.Lalu mendorong pelan badan  Abah Uca ke depan. Agar menjadi imam.  Abah Uca balik  medorong kakek-kakek itu. Setelah dua tiga kali saling dorong, Abah Uca mengalah. Apalagi  kakek-kakek itu menye-butkan, yang berhak sekaligus berkewajiban  menjadi  imam adalah pribumi.

Usai salat, disambung wirid pendek sebentar, Abah Uca mengajak kakek-kakek itu ke rumahnya.

“Lumayan, ada air teh hangat, ”kata Abah Uca.

“Biarlah,tak usah.  Aki  mau di sini saja. Istirahat sambil menunggu kawan-kawan yang akan lewat,”jawab kakek-kakek itu.

“Kawan-kawan dari  mana?” Abah Uca penasaran.

“Sebagian dari hulu. Ya dari kawasan hulu sungai  Cikuncir. Aki dan kawan-kawan,  bertahun-tahun tinggal di sana. Namun makin hari makin susah. Hingga tak merasa betah lagi. Sebab pemukiman Aki dan kawan-kawan serta sanak saudara, terus-menerus diranjah orang-orang entah dari mana. Mereka membabat kayu-kayu besar.  Tanah di sekitarnya digali. Konon mencari  mineral berharga. Seperti intan, mas, batu akik, tembaga, dan lain sebagainya. Entah ketemu, entah tidak. Yang jelas pemukiman Aki sekeluarga dan kawan-kawan, hancur lebur. Hutan tak bersisa. Gunung-gunung  gundul. Yang dulu penuh pohon kayu, rimbun teduh, kini kering gersang. Kayu-kayu bermutu menahun, semacam saninten, jamuju, hiur, berubah menjadi tanaman musiman, semisal sawi, bawang, tomat, kol, kentang.”

“Tanah menjadi keras ditimpa panas matahari. Kerontang di musim kemarau, mudah tergerus pada musim  penghujan. Pekampungan kediaman Aki sering menderita kekeringan selama kemarau,dan longsor serta  banjir jika musim  hujan tiba…..”

“Tak ada yang bisa mencegah?” suara Abah Uca agak serak. Merasa prihatin.

“Siapa yang mampu? Yang punya kekuasaan menjalankan undang-undang menjaga  hutan dari pembalakan liar, tak berdaya. Maklum para penjarah itu orang-orang pemilik uang.  Bisa mengerahkan massa pembalak, bisa membeli izin konsesi dan macam-macam lagi. Mereka tak ragu menghamburkan dana. Biar harus memberi komisi, dan suap sogok kepada pejabat setinggi apa pun, yang siap dibeli kendati harus merusak alam lingkungan…..”

Abah Uca tertegun. Iba melihat kakek-kakek itu, yang tampak amat menderita. Hingga matanya basah. Tubuhnya pun semakin basah. Menetes ke ubin.

“Terpaksalah sekarang Aki dan kawan-kawan semua, pergi. Mengembara ke mana-mana. Ingin memulangkan rasa sakit dan perih. Kepada siapa saja……..”suara kakek-kakek itu bergetar.

“Kepada siapa saja?“ Abah Uca terkejut. ”Mengapa tidak kepada orang-orang yang merusak saja, yang tadi Aki sebutkan? Yang punya modal dan kekuasaan?”

“Karena kelakuan mereka dibiarkan oleh semua orang. Oleh siapa saja. Seoloh-olah menyetujui kelakuan  para durjana itu. Tapi jika ketemu berhadapan wajah, mereka yang akan paling dulu kami gulung!”  Suara kakek-kakek itu meninggi. Menunjukkan kekesalan luar biasa.

Abah Uca semakin tertegun. Tercenung lama. Rasa heran bercampur kalut memikirkan ucapan kakek-kakek itu..

Tiba-tiba hujan turun. Mendadak besar. Diikuti kilatan cahaya dan bahana petir.

“Nah, kawan-kawan Aki akan segera berdatangan.” Mata kakek-kakek itu, berpendar. Memandang ke sekeliling. “Dua tiga jam lagi ke sini. Akan mengajak Aki berangkat…..”

Kakek-kakek itu merebahkan badannya ke atas tikar. Dan tampak semakin basah.

“Istirahat di rumahku saja, Aki..”Abah Uca menawari.

“Ah, biarlah di sini. Cuma sebentar. Agar mudah nanti mencegat  kawan-kawan di pinggir Cikuncir…”

Mendengar ucapan itu, dan nada suaranya itu, bulu kuduk Abah Uca tiba-tiba meriding.

“Sudah berapa lama masjid ini kosong dari orang salat?” Kakek-kakek itu bertanya, sambil matanya terlayap.

“Kira-kira tiga tahunan,“jawab  Abah Uca.

“Musim tarawih juga kosong?”

“Alhamdulillah, lumayan. Seminggu pertama suka penuh.”

“Lewat seminggu, kosong lagi? Pindah berjamaahnya ke  pasar dan mal, ya?”

Abah Uca tidak menjawab. Hanya senyum masam saja. “Insya Alloh, setelah kawan –kawan Aki lewat ke sini, masjid ini akan penuh.” Kakek-kakek itu menguap berkali-kali. Lalu tidur.

Hujan makin besar. Walau baru lewat tengah hari, cuaca sudah gelap seperti magrib saja. Membuat suasana mencekam. Suara Sungai Cikuncir beda dari biasa. Bergemuruh keras. Kilat diikuti petir mengelegar.

Bunyi kentongan di garduh sebelah bawah, dekat sungai, dipukul  terus-menerus.  Dikuti teriakan bersahutan.

“Banjir! Banjir!  Cikuncir banjir!”

Kakek-kakek itu, terbangun. Mengusap wajahnya berkali-kali.

“Kawan-kawan Aki sudah pada datang. Permisi….” Kakek-kakek itu mengajak bersalaman kepada Abah Uca, yang diam terpana. Apalagi, ketika terasa telapak tangan kakek-kakek itu, dingin dan basah. Mencair.

Tanpa mempedulikan hujan yang semakin membesar, kakek-kakek itu ke luar dari masjid. Berjalan menurun ke arah Sungai  Cikuncir yang  airnya sudah meluber. Merendam beberapa rumah terdekat. Penghuninya berlarian ke atas.  Menjauhi air yang semakin membah.

Cikuncir betul-betul banjir. Membabi buta ke sisi kiri dan sisi kanan. Melabrak apa yang menghalangi alirannya. Tapi kakek-kakek itu acuh tak acuh saja. Berjalan ke arah pemandian yang sudah lenyap. Kakek-kakek itu turun ke sana. Menengok ke belakang. Melambaikan tangan kepada Abah Musa yang berdiri kaku di serambi  masjid.

Bersamaan dengan  kilat menerangi langit kelam,  tubuh kakek-kakek itu, tampak tegak di atas gumpalan bah  Cikuncir. Tapi tidak tenggelam. Ia melangkah tenang ke hilir, mengikuti aliran air hitam bergelombang..

Hampir semua penghuni  kampung di bagian bawah dekat sungai, masuk ke masjid. Hingga penuh sesak.

Abah Uca semakin gugup. Ingat ucapan kakek-kakek itu tadi. Katanya. Jika kawan-kawannya sudah datang, lewat ke sini, masjid akan penuh. Ia masih terpaku. Melempar pandangan ke aliran air Cikuncir yang semakin membabi-buta. Tak peduli kepada orang-orang yang berdatangan mengungsi, Berdesakan di masjid.

Malam harinya televisi ramai nmemberitakan banjir Cikuncir. Menghanyutkan puluhan rumah. Menghanyutkan puluhan orang. Dua puluh orang langsung diketemukan sudah menjadi mayat. Sisanya masih hilang.

Abah Uca memeluk lutut di tengah rumah. Matanya menatap  gambar di televisi. Tapi pikirannya melayang kepada kakek-kakek yang baru bertemu tadi. Salat berjamaah berdua. Dan menyaksikannya turun ke gumpalan air bah Cikunir.

Abah Uca merenung panjang. Hingga tersentak oleh jerit tangis orang-orang di luar yang hiruk pikuk dan hilir mudik di tengah amukan dahsyat Sungai Cikunir. [ ]

PS: Cerpen ini dikirimkan Kang Usep beberapa hari lalu. Saat ini ybs tengah menderita sakit. Mohon doa dari pembaca semua untuk kesembuhan beliau.

10.42: Para pembaca, Kang Usep Romli HM telah berpulang. Mohon doa para pembaca semua untuk perjalanan almarhum menuju Yang MAHA SEGALA

Back to top button