Chrisye: Potong Satu Generasi!
Seingat saya prinsip tersebut pernah dilanggarnya sekali saat perayaan perkawinan emas Om Harun Zain dan Tante Opet. Itu bentuk penghormatan Chrisye pada satu-satunya pasangan orang tua di keluarga besar yang masih hidup.
Oleh : Medrial Alamsyah
JERNIH– Bicara tentang Chrisye, saya termasuk yang beruntung bisa mengenal dan berinteraksi dengan almarhum cukup dekat. Hal itu tak lepas dari hubungan istri saya dengan istri Chrisye, yang akrab kami panggil Uni Yanti.
Istri saya, Linda, dan Uni Yanti sepupu kandung. Hubungan mereka sangat dekat karena waktu kecil pernah tinggal serumah di Jalan Anyer, Menteng, Jakarta. Uni Yanti tidak punya saudara perempuan sehingga hubungan itu lebih seperti adik dan kakak kandung.
Semasa gadis dulu, Linda sering menginap di rumah Uni Yanti dan Chrisye, mengasuh bayi Nissa (anak pertama mereka) saat Uni Yanti dan Chrisye ada acara di luar rumah, dan seterusnya. Ketika memutuskan menikah dengan saya “tim penilai“ wajib di luar keluarga inti adalah Uni Yanti dan Chrisye. Kelulusan dari seleksi itu ditandai dengan mengundang kami makan malam di sebuah restoran termahal di Jakarta Selatan saat itu.
Setelah menikah kedekatan itu terus berlanjut. Kami sering menginap di rumah Uni Yanti dan Chrisye, terutama saat Chrisye sedang ke luar kota, sehingga anak-anak mereka sangat dekat dengan kami.
Pernah suatu kali, Kak Chrisye, demikian kami memanggilnya, terheran-heran karena si kembar Pasya dan Masya (saat itu berumur 3 tahun) saya bikin tertawa terpingkal-pingkal sangat lama saat bermain di lantai atas rumahnya. “Diapain Med, tadi anak-anak sampai ketawa kayak gitu? Sama gue aja nggak pernah ketawa seperti itu,” tanya Kak Chrisye. Saya hanya senyum-senyum karena tak ada hal istimewa yang saya lakukan. Kami hanya main bola.
Salah satu kekhasan Uni Yanti dan Kak Chrisye adalah membeli peralatan bayi seperti box dan lemari pakaian bayi yang bermerek dan tahan lama, sehingga mereka hanya membeli sekali untuk keempat anaknya. Semua dirawat dengan baik sehingga selalu kelihatan baru. Semua peralatan itu dilungsurkan pada kami, bukan pada yang lain, pada saat anak pertama kami lahir. Dan peralatan itu masih kokoh terpakai untuk keempat anak kami.
Ada beberapa keunikan Kak Chrisye yang saya ingat. Kalau sholat Jumat di masjid dekat rumahnya, selalu datang pada waktu yang sama dan duduk di tempat yang sama pula. Di rumah, saat berkumpul bersama keluarga, rokok dan kopi nggak pernah putus. Soal kopi dia selalu membuat sendiri, karena menurutnya dibuatkan orang lain rasanya nggak pernah bisa pas. Bahkan walaupun dibuatkan oleh istri sendiri.
Di meja makan kami diskusi tentang banyak hal, kecuali soal musik. Kalaupun ada bagian yang membahas soal music, pasti hanya sepintas. Sebab bagi Chrisye, musik dan menyanyi adalah pekerjaan, dan dia tidak suka membahas pekerjaan di acara keluarga. Maka kami tidak pernah berharap Chrisye akan mau menyanyi di dalam acara keluarga.
Seingat saya prinsip tersebut pernah dilanggarnya sekali saat perayaan perkawinan emas Om Harun Zain dan Tante Opet. Itu bentuk penghormatan Chrisye pada satu-satunya pasangan orang tua di keluarga besar yang masih hidup.
Bagi saya pribadi, prinsip Chrisye itu adalah berkah karena saya memang nggak ngerti musik. Saya hanya sekedar suka musik dan musik apa saja, tergantung mood. Karena itu kesukaan saya pada pemusik dan penyanyi mana pun biasa-biasa saja, termasuk pada Chrisye. Dengan tidak membahas musik, saya terhindar dari kebingungan mau komentar apa saat berkumpul. Saya juga tidak suka berlagak ngerti atau berlagak mampu. Bisa Anda bayangkan jika mereka bahas musik, Uni Yanti adik kakak adalah pemusik semua dan bukan pemusik anak-abal. Kalau mereka nyanyi tidak mungkin saya harus memaksakan nyanyi dengan suara saya yang cempreng.
Di meja makan topik diskusi paling sering dibahas secara bersemangat oleh Chrisye adalah politik. Isinya tentu kritik terhadap penguasa otoriter dan korup pada saat itu. Bagi Chrisye, solusi terhadap masalah akut bangsa saat itu adalah “potong satu generasi”. Itu adalah kata-kata yang selalu dia ulang dengan nada geram.
Ketika berkumpul saat demonstrasi 98 berlangsung, tampak dia berubah lebih optimistik. Selama proses reformasi itu berlangsung, dia sangat suka dengan pernyataan Sarwono Kusumaatmaja yang terkenal saat mengomentari pernyataan Pak Harto yang akan memimpin secara langsung reformasi. Sarwono bilang: “Rakyat minta cabut gigi, bukan tambal gigi”. Kata-kata itu berulang dikutip Chrisye dengan penuh harap, dan selalu diucapkan diiringi tawa khasnya.
Sepertinya Chrisye sudah lupa dengan solusi tunggal “potong satu generasi” yang selalu dia ucapkan dengan geram pada setiap ngobrol politik di meja makan.
Saya yakin, andai Chrisye hidup kembali, dan berdiskusi di meja makan seperti dulu, dia akan balik geram dan mengulang solusi tunggalnya tanpa henti: potong satu generasi. [ ]