POTPOURRIVeritas

Dari Kemudi Taksi Online ke Mimbar Wisuda: Doni Sutardiana dan Tiga Anak Unpad-nya

Doni pernah bekerja di beberapa kantor konsultan. Tapi pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Bukan hanya perekonomian keluarga—tapi juga peta hidupnya. Ia lalu menggenggam setir, mengantar pelanggan, menjemput satu demi satu rezeki, sembari menggiring tiga anaknya ke bangku kuliah.

JERNIH– Graha Sanusi Hardjadinata, Kampus Unpad lama di Jalan Dipati Ukur, Bandung, Selasa (6/5/2025) siang. Ribuan toga bergerak serempak, lambaian tangan, kilatan kamera, peluk haru. Tapi di antara gegap gempita itu, ada sepasang langkah yang melaju tanpa hiruk: tenang, bersahaja, dan sepenuhnya utuh. Doni Sutardiana datang mengenakan jas sederhana, bukan untuk gagah-gagahan, tapi karena hari itu baginya teramat penting. Di sampingnya, sang istri berjalan pelan, menggamit bangga dalam diam. Tak ada selempang kehormatan di Pundak. Tapi wibawa seorang ayah yang telah selesai menunaikan janji: mengantar dua anaknya ke panggung wisuda, terpancar kuat di wajah suami-istri itu.

Doni bukan pejabat, bukan tokoh, bukan pula alumni kehormatan. Ia hanya—dan itu sudah cukup—seorang sopir taksi online. “Saya cuma driver onlen,” kata Doni, pelan. Tapi tak ada yang “cuma” dalam dirinya hari itu.

Dua anaknya, Nafsan dan Hasya, baru saja diwisuda bersamaan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Yang satu dari jurusan Sejarah. Yang satu lagi, dari Sastra Arab, lulus dengan predikat cum laude.

Bukan jenis prestasi yang meledak di spanduk atau jadi umpan iklan perguruan tinggi. Tapi justru karena itulah, ia menohok. Diam-diam menampar logika kemalasan, menjewer telinga banyak pejabat yang gemar berkata “pendidikan itu mahal.”
**

Doni pernah bekerja di beberapa kantor konsultan. Tapi pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Bukan hanya perekonomian keluarga—tapi juga peta hidupnya. Ia menggenggam setir, mengantar pelanggan, menjemput satu demi satu rezeki, sembari menggiring tiga anaknya ke bangku kuliah.

“Ya, saya banting setir supaya anak-anak bisa lanjut kuliah,” kata Doni.

Bukan metafora. Ia benar-benar banting setir. Bukan ke arah jabatan baru. Tapi ke arah yang banyak orang enggan tempuh: menjadi sopir di usia yang tak lagi muda, demi menjaga api ilmu pada anak-anaknya tetap menyala.

Aliyah, anak ketiga Doni, juga kini kuliah di Unpad, Fakultas Ilmu Komunikasi, jalur SNBP. Tiga anak. Satu kampus. Satu garis arah: ilmu pengetahuan. “Alhamdulillah, rejeki anak-anak,” ujarnya. “Kalau harta mah, pan teu gaduh.”

Ia tertawa. Tapi semua tahu, itu bukan tawa ringan. Itu jenis tawa yang lahir dari puluhan ribu kilometer kerja dalam diam.
**

“Saya alumni Unpad juga. Sastra Rusia, angkatan 1989,” kata Doni, sedikit tersenyum.

Dari Sastra Rusia ke taksi online. Dari kursi mahasiswa ke bangku pengemudi. Tapi tak satu pun detik perjalanan itu membuatnya canggung ketika berdiri di kampus yang sama hari itu. Ia tidak kembali sebagai tamu. Ia kembali sebagai bukti.

Dalam satu hari, Doni menjemput tiga wisuda: dua anak dan satu kehormatan hidup. Dan seperti dikatakannya sendiri, “Profesi jalan terus, organisasi jalan terus. Driver online juga perlu berjejaring.”

Ia memang masih aktif di Ikatan Alumni Unpad dan juga Ikatan Alumni Fakultas Sastra dan Budaya. Ia tak minta panggung. Tapi panggung justru mengejarnya hari itu—karena diamnya lebih keras dari mikrofon mana pun.

**

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW disebutkan: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”

Maka Doni menanam ketiganya. Dalam bentuk tak terlihat. Dalam doa anak-anaknya. Dalam perjuangan membayar semester demi semester. Dalam gas mobil yang tak pernah protes meski tubuhnya sudah lelah.

Ketua Ika Sadaya, Nuning Hallet, menyebut Doni inspiratif. Tapi Doni tidak merasa sedang menginspirasi. Ia sedang menjalani hidup, dengan kompas moral yang utuh dan tanggung jawab yang nyaris kuno: mendidik anak sampai tuntas.

Di wisuda itu, Wakil Rektor Unpad berkata, “Lulusan Unpad harus siap bersaing di pasar global, bukan hanya sebagai pekerja, tetapi sebagai inovator dan pemimpin.”

Tentu saja. Tapi ada yang lebih dulu memimpin sebelum anak-anak itu lahir sebagai inovator. Ia yang tanpa suara mengantar mereka ke ruang kuliah. Ia yang tak dilatih menjadi pemimpin, tapi memilih jadi panglima di medan paling sunyi: rumah.

Hannah Arendt pernah menulis, “Education is the point at which we decide whether we love the world enough to assume responsibility for it.” Doni sudah menjawabnya. Ia mencintai dunia ini cukup dalam, hingga memilih bertanggung jawab atas tiga anak, atas kampus yang dulu mengajarinya berpikir, atas negeri yang—meski ringkih—masih layak dihidupi lewat kerja jujur.

Ia tak bersorak ketika dua anaknya berdiri di mimbar. Tapi barangkali seluruh dunia diam sejenak, memberi hormat, pada seorang ayah yang tahu ke mana arah setir harus diputar.

Karena ia, driver online itu, telah mengantar masa depan. Tepat waktu. Tanpa harus membunyikan klakson. [darmawan sepriyossa, sahabatnya sejak muda]

Back to top button