Dari “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari ke “September”-nya Noorca
Novel “September” karya Noorca M Massardi (cetakan pertama tahun 2017), dianggap “mendobrak” versi resmi kisah “G-30-S” yang selalu memojokkan PKI. Menurut Wijaya Herlambang, penulis buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965” (2015), Noorca (lahir 1954 di Subang, Jawa Barat) dalam “September” menggunakan selubung sinonim dan anagram, untuk menggambarkan tokoh dan tempat dalam struktur cerita
Oleh : Usep Romli H.M.*
JERNIH– “Ronggeng Dukuh Paruk” adalah novel trilogi karya Ahmad Tohari (lahir 1948). Semula diterbitkan terpisah-pisah. Masing-masing “Ronggeng Dukuh Paruk”, “Lintang Kemukus Dinihari”, dan “Jentera Bianglala” (1985). Sejak 2011 penerbitannya digabung. Buku pertama, yang semula berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”, pada edisi gabungan menjadi “Catatan Buat Emak”. Hingga Desember 2016, buku ini sudah mencapai cetakan ke-12.
“Ronggeng Dukuh Paruk” mengisahkan perjalanan hidup seorang penari ronggeng bernama Srintil. Di bawah asuhan pawang ronggeng, suami istri Kartareja, Srintil mencapai ketenaran. Menghidupkan kembali tradisi “kecabulan” Dukuh Paruk, desa miskin terpencil, yang penuh derita.
Melalui berbagai masalah dan konflik kehidupan, ronggeng Srintil terperangkap dalam suasana politik tahun 1960-an. Upaya Sakarya, sesepuh Dukuh Paruk, dan Kartareja, pimpinan rombongan ronggeng, untuk bersikap netral, gagal total. Srintil dan rombongan ronggengnya, harus takluk di bawah slogan “seniman rakyat”. Diaku sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menginduk ke Partai Komunis Indonesia (PKI), tanpa mengetahui apa, siapa dan bagaimana paham komunis yang melibatkan dirinya.
Maka, tatkala terjadi geger nasional, pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira TNI AD di Jakarta, September 1965, Srintil dan seluruh Dukuh Paruk harus menerima akibatnya. Srintil, Sakarya dan Kartadireja, ditangkap tentara. Dukuh Paruk dibakar orang tak dikenal. Sakarya dan Kartareja, ditahan beberapa bulan. Tapi Srintil harus mendekam di penjara, tanpa diadili, hingga dua tahunan.
Setelah keluar dari penjara, Srintil berupaya hidup baik-baik. Dunia ronggeng yang penuh kemesuman dan kecabulan, ditinggalkannya. Ia merindukan hidup berumah tangga. Ia berharap kepada Bajus untuk menjadi suaminya suatu saat kelak. Namun jalinan hubungan asmara yang sedang dibinanya, hancur berantakan, setelah lelaki pemborong bangunan itu–yang ternyata impoten, akan menyerahkan Srintil kepada majikannya.
Srintil sangat terguncang. Ia langsung beku membisu . Hilang ingatan. Menderita gangguan jiwa berat yang tak tersembuhkan oleh jampi-jampi para dukun. Akhirnya, Srintil dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus, lelaki cinta pertama Srintil, yang menjadi angota tentara.
Novel setebal 404 halaman ini, secara rinci dan detail, melukiskan keadaan masyarakat kecil di tengah hiruk pikuk politik tahun 1960-an. Warga Dukuh Paruk yang serba melarat menjadi sasaran ambisi para pemegang kuasa politik komunis yang bersembunyi di balik slogan “Nasakom” (Nasionalis, Agama, Komunis). Para pengusung paham itu, di kawasan desa dan kecamatan di Jawa Tengah, menemukan sasaran cocok dan empuk di Dukuh Paruk yang masih memegang kepercayaan kepada arwah leluhur. Kesenian ronggeng dianggap kesenian rakyat yang amat berharga untuk mengam-panyekan komunisme ala “Nasakom”.
Bencana kegagalan pemberontakan “G-30-S”, bukan hanya menimpa para elit PKI di tiap tingkatan. Di pusat, para tokoh PKI ditangkapi dan dibunuh (antara lain Ketua CC PKI DN Aidit ditembak tentara di Solo), Nyoto, Nyono, MH Lukman, dsb, hilang tanpa kabar. Tapi juga menimpa kalangan “alit” yang tak tahu apa-apa. Yang hanya ikut bersorak-sorai meneriakkan yel-yel “Hidup Nasakom!” Srintil, Kartareja, Sakarya, juga Sakum, orang buta penabuh calung pengiring tarian Srintil, ikut terbawa-bawa. Harus ikut bertanggung jawab atas pembunuhan para jenderal yang tak mereka kenal dan ketahui sama sekali.
Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” amat berhasil menampilkan suasana pertarungan politik tahun 1960-an, yang dikendalikan Presiden Sukarno (1945-1966) yang didukung penuh PKI. Hingga terjadilah “senjata makan tuan”. Sukarno dimakzulkan seiring dengan pembubaran total PKI dan pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme melalui TAP MPRS No.XXV tahun 1966. Nasib presiden pertama RI yang pernah amat berkuasa tersebut, akhir hayatnya sangat mengenaskan. Wafat sakit berat dalam tahanan penguasa Orde Baru, tanpa disaksikan sanak keluarganya.
Novel “September” karya Noorca M Massardi (cetakan pertama tahun 2017), dianggap “mendobrak” versi resmi kisah “G-30-S” yang selalu memojokkan PKI. Menurut Wijaya Herlambang, penulis buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965” (2015), Noorca (lahir 1954 di Subang, Jawa Barat) dalam “September” menggunakan selubung sinonim dan anagram, untuk menggambarkan tokoh dan tempat dalam struktur cerita, namun mudah diikuti dan ditebak siapa-siapanya. Terutama bagi pembaca yang memilki referensi tentang peristiwa “G-30-S”, baik sebelumnya maupun sesudahnya.
Tokoh utama cerita, empat orang jurnalis : Niko, Bo Gesti, Tamara dan Nadya, mengupas berbagai fakta tentang “G-30-S”, kedudukan Presiden Sukarno dan gerakan demo mahasiswa untuk menjatuhkan Sukarno yang dikendalikan Jenderal Rosa. Diungkapkan melalui narasi tokoh Darius yang mampu menembus ruang dan waktu, dengan cara “nyurup” ke tubuh para pelaku.
Novel setebal 857 halaman itu memang sarat dengan pembicaraan politik, mengungkap siapa yang memanipulasi sejarah “G-30-S” dan menunjukkan siapa sebenarnya yang jujur, yang menjadi korban dan mengorbankan orang lain demi ambisi pribadi, namun tidak “gersang”.
Di sana-sini terdapat adegan “manusiawi” anak-anak muda. Seperti hubungan intim Bo Gesti dengan Nadya dan bintang film Ratna Ayu, atau hubungan lesbi antara Nadya dan Ratna Ayu, menjadi selingan di antara “ketegangan” politik tingkat tinggi di sekitar Presiden Sukarno, dan Jendral Rosa.
Maka, antara “Ronggeng Dukuh Paruk” Ahmad Tohari, dengan “September” Noorca M Massardi, seolah ada jalinan kisah dan informasi beragam tentang peristiwa “G-30-S” yang masih jadi misteri hingga kini. [ ]
Almarhum, wartawan dan budayawan Jawa Barat. Tulisan ini pernah dimuat di Jernih