Debu Gurun Sahara, ‘Pupuk Alami’ Hutan Amazon
Panas dan kering, itulah kesan pertama yang umum muncul ketika mendengar frasa gurun pasir. Gurun pasir merupakan salah satu ekosistem utama yang ada di planet bumi selain hutan tropis, tundung es, dan lain sebagainya.
Gurun pasir tersebar di berbagai belahan bumi, kecuali benua Antartika. Di Australia, 18% wilayahnya merupakan gurun pasir dan jumlah total seluruh wilayah gurun di Australia mencapai 1.371.000 km2. Great Victoria merupakan nama gurun pasir terluas yang ada di benua kanguru tersebut. Luasnya mencapai 348.750 km2.
Namun, di antara banyak gurun pasir di dunia, Gurun Sahara merupakan yang luas. Terletak di benua Afrika bagian utara, Sahara dinobatkan UNESCO sebagai gurun pasir terluas di dunia. Luasnya hampir setara dengan luas wilayah Amerika Serikat, yakni 9,2 juta km2.
Tempat yang dalam bahasa Arab berarti padang pasir ini melintasi banyak negara di benua Afrika, di antaranya Algeria, Mesir, Libya, Maroko, Sudan, Chad, Tunisia, dan negara lainnya. Padang ini membentang dari Samudera Atlantik ke Laut Merah, dari Laut Tengah di utara sampai Sahel di selatan.
Laporan yang dirilis pada 2015 oleh Goddard Space Flight Centre (GSFC), laboratorium utama penelitian luar angkasa milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, NASA, menyebut bahwa tiap tahunnya gurun Sahara “menerbangkan” 182 juta ton debu ke udara. Debu-debu itu terbang melintasi Samudera Atlantik.
Di antara ratusan ton debu tersebut, 27 ton terampung di hutan hujan tropis lembah Amazon, Amerika Selatan. Dengan luas 5,5 juta km2,kawasan ini merupakan hutan hujan tropis terluas di muka bumi.
Siapa sangka, debu dari daerah sangat kering akan sangat bermanfaat bagi ekosistem daerah yang sangat basah. Curah hujan di Gurun Sahara diperkirakan kurang dari 20 milimeter per tahun. Sedangkan curah hujan di Amazon rata-rata mencapai 1.200 milimeter per tahun. Meski demikian, studi GSFC menunjukan debu-debu Sahara “memupuki” tumbuhan di Amazon secara alami.
Studi menunjukan debu Sahara menambahkan fosfor ke tanah Amazon. Fosfor ini menggantikan fosfor yang hilang akibat hujan lebat dan banjir akibat luapan sungai yang rutin terjadi tiap tahun di Amazon.
“Debu Sahara mengandung fosfor yang merupakan nutrisi penting bagi tumbuhan. Di daerah tropis, fosfor cukup langka. Inilah mengapa meneliti seberapa banyak debu yang pindah dari Sahara ke Amazon sangatlah penting,” ungkap Dr. Hongbin Yu, ilmuwan peneliti di GSFC dalam sebuah video yang diunggah kanal YouTube NASA Goddard.
Meski butiran debu ini berukuran sepersepuluh diameter rambut manusia, namun pergerakannya dapat terpantau dari luar angkasa. Sejak 2007 hingga 2013, satelit CALIPSO milik NASA yang diluncurkan pada 2006, mempelajari struktur vertikal awan dan partikel debu Sahara di atmosfer bumi.
Dari observasi tersebut, salah satu kesimpulan dari pengolahan data menyebut bahwa jumlah debu yang diterbangkan dari Sahara bervariasi tiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan curah hujan yang terjadi di Sahel, istilah untuh daerah Sahara sebelah selatan yang lebih sejuk.
“Jika Sahel kering, debu yang akan dipindahkan ke Amazon akan meningkat pada tahun berikutnya. Ketika basah, perpindahan debu akan berkurang,” ungkap Dr. Hongbin Yu.