Desa Kolbano, Puasa Dalam Senyap
Hari kedua puasa saya mulai mengunjungi keluarga Muslim yang membuka rumah makan. Aktivitas warung dan rumah makan berjalan seperti biasa, tapi saya yakin keluarga ini tetap menjalankan kewajiban shaum Ramadhan. Saat saya tanya apa bedanya aktivitas saat Ramadhan dengan di luar Ramadhan, saya menemukan rupanya itu pertanyaan konyol yang oleh mereka terpikirkan pun tidak. Artinya aktivitas pada bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan sama sekali tidak berbeda bagi keluarga Muslim di tengah masyarakat mayoritas non-Muslim.
Oleh : Iwuk Sriharyuniwati
JERNIH– Setelah menulis kenangan tentang sahur di berbagai daerah Indonesia yang umumnya berada di wilayah mayoritas non-Muslim, timbul keinginan menulis memori tentang seperti apa rasanya berpuasa di wilayah yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Masih di wilayah Indonesia tentu saja. Saya penasaran apakah satu-dua keluarga minoritas Muslim yang ada di antara ribuan penduduk mayoritas non-Muslim itu juga bersilaturahmi satu sama lain sebagaimana sering diberitakan dilakukan komunitas minoritas Muslim ketika tinggal di luar negeri.
Desa Kolbano adalah desa pantai, terkenal dengan batu-batu bulat putih dan berwarna. Terletak di Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Selain memiliki pantai nan indah, di desa ini juga ada perbukitan yang konon sejarahnya adalah “patahan” sehingga dari lokasi patahan ini ditemukan sumur, bahkan sumur artesis serta mata air di bagian yang lebih tinggi. Jadi alam sudah memberikan modal untuk menghidupi penduduk Kolbano, baik curahan air tawar maupun batu-batu bulat berstruktur halus yang bisa dijual di kota besar di Timor Barat dan Jawa seperti Surabaya.
“Membelah” desa Kolbano adalah jalan raya yang dikenal sebagai jalur selatan, tembus hingga Kabupaten Malaka, Belu, hingga ke Atambua. Setelah Atambua ialah Mota’ain, desa yang persis berbatasan dengan negara tetangga Timor Leste.
Dari cerita yang terkumpul, Kolbano awalnya dihuni oleh tiga leluhur yang kini menjadi semacam nama keluarga besar, yaitu Taneo, Taupan, dan Boimau. Mereka dianggap sebagai tuan tanah. Keluarga lain yang datang setelahnya beberapa di antaranya juga mengklaim sebagai penerus pemilik tanah adat. Maka tak heran bila ikon pantai Kolbano, yaitu batu Fatu Hun diklaim milik perseorangan. Wah… jadi cerita tanah. Tapi, itulah kondisi terkini yang terjadi.
Pendatang berikutnya terjadi setelah jalan utama diperbaiki, sekitar 20 tahun lalu. Mereka datang dari Kupang. Ada penduduk lokal Kupang, juga suku Bugis maupun Jawa yang sudah lama bermukim di Kupang.
Di daerah yang dihuni masyarakat mayoritas non-Muslim, kehadiran satu-dua keluarga Muslim terlihat sangat mencolok. Di Kolbano ada satu rumah makan Jawa milik orang asal Demak dan satu rumah makan Padang yang masakannyatanpa rasa asam kandis atau pun daun kunyit. Satu lagi, toko kelontong milik Pak Burhan, seorang anggota polisi yang anaknya melatih beladiri SH Terate. SH disini singkatan dari Setia Hati.
Waktu itu selama di sana, sehari-hari saya tinggal di penginapan Villa Kolbano (VK). Saya adalah tamu pertama dari rumah sederhana milik keluarga Yanti Tefa yang bersuamikan pria Rusia. Mereka dikaruniai seorang anak usia tiga tahun yang sangat ceriwis, cerdas, dan pintar. Di VK ini disediakan makanan sederhana terdiri dari nasi, ikan atau ayam, dan sayur bunga pepaya yang banyak tumbuh di Kolbano.
Tahu-tempe hanya ada saat hari pasar, dibawa pedagang dari So’e, Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Buah-buahan yang banyak ditemui adalah pisang, alpukat dan semangka kecil yang manis. Hari pasar di Kolbano adalah Jumat. Pada hari ini pedagang hasil bumi ataupun tenun ikat dari desa-desa lain berkumpul dalam satu kegiatan dari pagi hingga siang.
Hari pertama sahur saya minta disediakan air panas termos saja. Saya sudah siapkan Energen, merek makanan instan dari sereal. Saat sore mereka tidak tahu apakah puasa sudah berakhir atau belum, sehingga perlu ditunjukkan dengan atraksi minum air mineral di hadapan mereka. Mengetahui kami hanya minum atau makan Energen, Mbak Yanti bertanya apa yang perlu disiapkan untuk makan sahur.
Akhirnya setiap sahur selalu disediakan makanan yang mengandung karbohidrat, seperti singkong dan kentang, serta protein dari telur rebus. Awalnya mereka menyangka bahwa untuk sahur kita hanya makan makanan tertentu seperti kurma atau makanan khas Arab lain. Satu pertanyaan lain yang tidak saya sangka sebelumnya adalah apa kalau sedang puasa itu tidak boleh minum juga?
Saat menunggu berbuka ada aktivitas menyenangkan, yaitu berjalan di bebatuan pinggir laut sambil menyapa para pengumpul batu yang kerja dari subuh hingga hari mulai terik—yaitu sekitar pukul 9-10—dan dilanjutkan kembali saat matahari mulai condong ke barat hingga menjelang malam. Rata-rata sehari bisa terkumpul dua karung seberat 20-30 kg. Harga batu per karung antara 5.000 – 7.500 rupiah di tempat.
Hari kedua puasa saya mulai mengunjungi keluarga Muslim yang membuka rumah makan. Aktivitas warung dan rumah makan berjalan seperti biasa, tapi saya yakin keluarga ini tetap menjalankan kewajiban shaum Ramadhan. Saat saya tanya apa bedanya aktivitas saat Ramadhan dengan di luar Ramadhan, saya menemukan rupanya itu pertanyaan konyol yang oleh mereka terpikirkan pun tidak. Artinya aktivitas pada bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan sama sekali tidak berbeda bagi keluarga Muslim di tengah masyarakat mayoritas non-Muslim.
Bagaimana dengan ibadah shalat Jumat? Saya tidak melihat masjid di Kolbano. Ternyata ibadah shalat Jumat masih bisa dilakukan di Masjid Al-Ikhlas, Desa Oehani yang berjarak sekitar 30-35 km dari Kolbano. Masjid yang berada di poros jalur utama ke Desa Kolbano ini terlihat sangat sederhana walaupun bangunannya terbuat dari tembok. Terlihat tua, tidak berkembang, padahal didirikan tahun 1962—mungkin sebelum gereja-gereja marak dibangun.
Sampai menjelang pulang ke Jakarta, yang hingga saat ini membuat saya penasaran adalah pertanyaan mengapa perkembangan syiar Islam begitu lambat di sana? Atau, saya saja yang hanya melihat di permukaan sehingga salah menyimpulkan? [ ]
Kupang, 6 April 2022
*Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas.