POTPOURRI

Duet Gowés ke Puncak Eurad – Cupunagara

Melintas Wangunharja tampaklah perkebunan dan hutan pinus nan rimbun. Hutan ini langsung mengingatkan aku ke rute ‘Tanjakan Langit’ di tengah hutan pinus waktu pertama kali diajak IHG  (klub gowés ITB 89) ke daerah sini.

Oleh  : Anwar Holid

JERNIH– Buat menguatkan diri gowes jauh dan nanjak, kemarin aku menemani gowes seorang teman yang mau mengecek kebun kopi milik rekannya. Namanya Alvin — pengusaha kopi, pemilik merek Brandon & Jason Coffee.

“Tempatnya asyik,” kata dia.

“Di mana itu?” tanyaku.

“Cupunagara, dari Lembang ke atas lagi.”

“Deket Cibodas?”

“Bukan. Beda jalur ini… via Puncak Eurad. Tahu Puncak Eurad?”

“Sering denger namanya… tapi belum pernah gowés ke sana,”kataku.

“Nah Cupunagara ini desa di sebelah Puncak Eurad.”

“OK siap… aku ikut gimana Marshal aja.”

Alvin pakai gravel, aku pakai road bike. Kami berangkat pukul 08.00 dari kedai kopinya di dekat pertigaan Geger Kalong Hilir. Kami menuju Lembang via Cipaku – Cijengkol yang lebih sepi dibanding jalan Ledeng -Setiabudhi. Kami gowés full tanpa istirahat sampai Pasar Sentral Lembang. Di sini kami pesan kelapa muda.

Seorang ibu di Cupunagara, asyikmemilih biji-biji kopi.

Terus lanjut belok ke Jalan Ciputri, yang ternyata sedang diperbaiki. Hikmahnya, ruas jalan mulusnya bisa dibilang sudah 95 persen. Ini beda banget dengan waktu terakhir kali aku gowés sorangan melintas jalan ini.

Jarak dari Ciputri ke Puncak Eurad ternyata jauh, nanjak, jalan berkelok kayak selang. Hanya diselingi jalan datar di Desa Wangunharja. Melintas Wangunharja tampaklah perkebunan dan hutan pinus nan rimbun. Hutan ini langsung mengingatkan aku ke rute ‘Tanjakan Langit’ di tengah hutan pinus waktu pertama kali diajak IHG  (klub gowés ITB 89) ke daerah sini.

‘Tanjakan Langit’ nyambung ke Cibodas — hanya aku sudah lupa lewat mana jalan masuknya. Sementara Wangunharja bersebelahan dengan Cibodas. Tampaknya ini hutan pinus yang berbeda.

Menanjak sampai hutan pinus bikin aku ngos-ngosan. Dada eungap, keringat bocor, pinggul mulai pegal. Alvin kelihatan biasa aja, meski kaos belakangnya kelihatan basah. Kami jeda cukup lama untuk menormalkan kondisi badanku. Alvin sering ditelepon keluarga selama istirahat. Dia gowes dengan disiplin protokol kesehatan, pakai dobel masker sepanjang perjalanan.

“Nanti kalau ada warung kita berhenti dulu ya,” kataku waktu lanjut gowés. Tapi rupanya tak ada warung hingga Puncak Eurad. Setelah tertatih-tatih melewati jalan mulus dan lingkungan asri, di puncak ini kami istirahat lagi. Beneran gempor. Aku menormalkan badan dengan mengambil udara segar sebanyak-banyaknya dan minta difoto. Alam segar, langit cerah, pemandangan indah — menghadapi bukit, lembah, perkebunan subur.

Dari Puncak Eurad kami turun. Berbelok-belok curam, tapi tak lama kemudian jalan yang mulus berganti makadam hancur…. parah. Bahaya buat ban belakang sepedaku yang sudah gundul. Pemandangan alam indah terkadang terganti oleh bayangan kekuatiran dan perjuangan kala nanti pulang. Harus nanjak dulu sebelum menggelundung sampai Bandung.

Cupunagara desa yang subur. Banyak perkebunan sayur, jeruk lemon, dan kopi, diselingi pisang, pohon keras, dan lain-lain. Kami langsung menuju kebun kopi milik rekan Alvin. Alvin ahli kopi. Dia bilang kondisi kebun ini kurang terawat, banyak pohon tampak kering. Dua kali panen terakhir hasilnya jelek dan sedikit. Dia ingin memastikan apa penyebabnya, entah karena faktor cuaca, proses pengolahan, atau faktor pekerja.

Setelah mendokumentasikan kondisi kebun, kami mampir ke Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang mengolah dan menjual kopi, mereknya ‘Kopi Canggah’ — dari Gunung Canggah yang ada di situ. Green beans-nya bagus, diolah dengan berbagai metode. Di desa ini ada banyak kebun kopi. Penduduk setempat jadi pengolah kebun atau buruh tani. Bumdes juga mengolah madu setempat, cascara, langganan internet. Di sini aku menyaksikan mesin sangray (roasting) karya Wahidin Hidayat, kepala Desa Cupunagara.

Mesin sangray (roasting) karya Wahidin Hidayat, kepala Desa Cupunagara.

Alvin menyeduh v60 arabika, menyajikannya buat kami di teras warung Pak Ucu, salah seorang tetua desa. Beliau menyuguhi kami air lemon plus madu. Pas ngobrol, Pak Ucu bilang bahwa Cupunagara ada di Kecamatan Cisalak, Subang. Lha, kaget aku. Tak mengira gowes sejauh itu. Cupunagara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, jalannya menghubungkan ke Darmaga yang bisa ke Subang kota dan Sumedang.

“Satu jam di sini  cukuplah buat olahraga dan refreshing,” kata Alvin. Habis duhur kami pamit pulang, aku beli Kopi Canggah. Nanjak balik ke Puncak Eurad beneran ‘PR’ buatku. Meskipun pendek — mungkin sekitar 2,3 km — di tiap belokan selalu bikin ngos-ngosan, pegal betis dan pinggul, memaksa aku istirahat. Sementara Alvin tampak ulet pelan-pelan melalap tanjakan tanpa berhenti. Mungkin karena darahnya lebih muda, jadi tenaga dan staminanya lebih kuat. Setelah istirahat menormalkan degup jantung dan mengeringkan keringat di Puncak Eurad, kami menggelinding ke Bandung.

Sehabis bebersih, baru terasa leher, bahu, dan betisku pegal-pegal. Harus dipijit sama Minyak Tawon dan Geliga ini mah.[ ]

Back to top button