Gorengan, Makanan Kuno Asal Tionghoa
Tekhnik menggoreng dalam memasak sebagai salah satu cara mematangkan makanan ternyata di Indonesia merupakan tekhnik yang datang belakangan. Berdasarkan catatan sejarah yang ada, tekhnik menggoreng di masa klasik belum dikenal di nusantara.
Jernih — Siapa tak kenal gorengan? Makanan satu ini sangat populer dan meski kandunganya minyaknya kurang baik bagi kesehatan bila dikonsumsi berlebihan, namun, penggemarnya tak mengenal usia dan latar belakang. Anak-anak, muda, tua, laki-laki, perempuan, pemulung sampah maupun pejabat tinggi, sama-sama menyukai gorengan.
Selain rasanya yang menyenangkan lidah, gorengan relatif mudah dibuat. Kalaupun membeli, makanan ini murah meriah dan mudah didapat. Varian gorengan pun kian kemari kian beragam. Gorengan berupa bala-bala (bakwan), gehu (toge dalam tahu), tempe, dan pisang yang “wajib” ada di gerobak pedagang gorengan, kini memiliki banyak “saingan”.
Di zaman moderen kini, mengolah makanan dengan cara menggoreng nyaris tak bisa dipisahkan dari dunia kuliner, baik di restoran-restoran maupun di rumah. Namun, teknik ini ternyata merupakan teknik masak yang belakang dikenal masyarakat Nusantara.
Tekhnik menggoreng di nunsatara ini relatif masih muda dibanding teknik mengukus, memanggang, dan mengasinkan atau mengasapi bahkan teknik mengolah makanan dengan cara fermentasi.
Risa Herdahita Putri dalam tulisan berjudul “Awal Mula Orang Nusantara Mengenal Gorengan” yang dimuat di Historia berupaya melacak asal muasal teknik ini di Nusantara.
Beberapa prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa dan Bali memuat beberapa jenis makanan sebagai sesaji ritual atau makanan dalam sebuah kegiatan monumental.
Prasasti Rukam yang bertiti mangsa 829 Saka atau 907 Masehi menyebut jenis panganan yang disajikan dalam acara penetapan sima (tanah bebas pajak). Makanan itu diolah dengan cara diasinkan dan dipanggang.
Sementara Prasasti Trunyan yang ditemukan di Bali yang diduga berasal dari abad ke-10 menyebut-nyebut pepes ikan dan ikan yang diasinkan sebagai salah satu hidangan yang harus dipersembahkan masyarakat setempat kepada Sang Hyang I Turunan.
Eny Christyawaty, peneliti Balai Arkeologi Medan dalam Jejak Pangan dalam Arkeologi yang menyebut, orang-orang Mentawai tradisional hingga kini tidak mengenal teknik menggoreng dalam pengolahan makanan.
Dalam naskah sunda kuno Swawarcinta, tertulis salah satu cara memasak sisik ikan Mas yaitu dengan cara diraramandi, tekhnik ini diduga cara memasak dengan menggoreng sisik ikan kancra sampai kering dan renyah.
Dr. Riadi Darwis, M.Pd, penulis buku Khazanah Kuliner Keraton Kasultanan Cirebon dan Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik menyampaikan kepada Jernih bahwa ia belum menemukan literatur yang menyebutkan tekhnik menggoreng sebagai budaya asli kuliner kuno nusantara.
“Belum menemukan menggoreng sebagai tekhnik asli nusantara. Menggoreng makanan merupakan tekhnik yang datang dari luar, seperti Cina” Kata Darwis yang juga dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung
Namun tekhnik menggoreng sudah dikenal luas didunia jauh sebelum masehi. Reay Tannahill, dalam Food in History (1995) telah menyebutkan bahwa menggoreng diyakini pertama kali muncul di dapur Mesir Kuno , pada masa Kerajaan Lama , sekitar 2500 SM.
Risa dalam tulisannya mengutip buku Nusa Jawa: Jaringan Asia karya sejarahwan Denys Lombard yang memuat informasi bahwa teknik menggoreng makanan diadopsi orang-orang Nusantara dari budaya Tionghoa. Alat masak berupa kuali dan penggorengan pun dibawa oleh orang-orang Negeri Tirai Bambu tersebut.
Sementara Sinolog Thomas O. Hӧllmann dalam bukunya The Land of the Five Flavors: a Cultural History of Chinese Cuisine yang juga dirujuk Rita, menyebut bahwa orang-orang Tionghoa telah lama mengenal teknik menggoreng.
Sejak lama mereka telah mengenak teknik stir-fry (jian chao) dan deep-fry (zha). Jian chao adalah teknik menggoreng makanan dengan sedikit minyak yang dipanaskan di atas api bersuhu tinggi, lalu makanan itu diaduk dengan cepat. Belakangan teknik ini biasa dikenal dengan istilah menumis.
Ahli sejarah dan budaya makanan Tionghoa di Zhejiang Gongshang University, Rongguang Zhao, dalam bukunya A History of Food Culture In China menyatakan, teknik ini adalah yang utama dalam kuliner Tionghoa.
Adapun, teknik zha dilakukan dengan cara mencelupkan makanan ke genangan minyak panas. Karena makanan yang digoreng harus tercelup sempurna maka wajan atau tempat menggorengnya pun harus memiliki cekungan yang cukup dalam.
Untuk mendapatkan minyak goreng, orang-orang di Tiongkok Kuno mendapatkannya dari minyak yang keluar dari lemak daging. Uniknya, setiap musim tertentu, mereka menggunakan minyak berbeda untuk menggoreng.
Minyak dari lemak akan digunakan di musim panas untuk mengoreng ayam dan ikan kering. Minyak dari lemak babi akan digunakan di musim gugur untuk memasak daging rusa dan sapi. Sedangkang minyak dari lemak domba akan digunakan di musim dingin untuk memasak daging angsa dan ikan segar.
Masakan Tiongkok kuno juga terkenal dengan minyak wijen sebagai salah satu minyak nabati tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Sedangkan di Indonesia, terutama di masa kolonial minyak kelapa lebih dulu dikenal sebelum minyak kelapa sawit
“Salah satu pemanfaatan minyak dalammasakan tidak saja untuk menggoreng, namun digunakan dalam proses menanak nasi. Misalnya dalam pembuatan Sega Jimat dalam tradisi keraton di Cirebon, saat nasi setengah matang dikarih dengan minyak kelapa (keletik) di kancah besar sambil diaduk-aduk” paparnya.
Salah satu teks Nusantara yang memuat keterangan makanan yang diolah dengan cara digoreng adalah Serat Centini asal Surakarta yang diselesaikan pada tahun 1814. Salah satu bagiannya menceritakan tentang sesaji dalam upacara.
Ada beragam panganan yang disajikan dalam kendurian upacara pernikahan. Salah satunya masakan berbahan dasar daging yang diolah dengan cara ditusuk, disapit, dibakar, direbus, dikukus, dan digoreng. Sementara makanan berbahan sayuran, disebutkan di sana, salah satunya diolah dengan cara ditumis.
Dalam tulisan Risa tersebut, tidak disebutan secara pasti kapan awalnya gorengan atau teknik menggoreng makanan diadopsi orang-orang di Nusantara. Namun, teknik ini diasumsikan berkembang seiring dengan pemanfaan buah kelapa dan masuknya kelapa sawit pada abad ke-19 ke Nusantara. [ ]