POTPOURRI

Imam Hambali dan Adik Perempuan Basyar al-Hafi yang Memilih Kejujuran

Imam Hambali menjawab,” Pada masa ini, ketika orang lain sibuk memupuk kekayaan, kalau perlu dengan menggerogoti uang negara dan membebani rakyat jelata, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau. Sungguh, sehelai rambut engkau yang terurai dari jilbabmu jauh lebih mulia dibandingkan dengan berlapis-lapis serban yang kupakai serta berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.   

JERNIH—Pada awal 1990-an, seseorang pernah mendatangi Kyai Anwar, Pemalang, dan bertanya,”Kyai, setahun lalu saya menemukan uang Rp 50 ribu di tepi jalan. Sudah saya umumkan ke mana-mana, tetapi taka da seorang pun yang mengakui uang itu sebagai miliknya. Apakah yang mesti saya lakukan terhadap uang itu?”

Kyai Anwar terkesan sekali oleh ucapan orang itu, sebab ia tahu bahwa orang itu sungguh miskin dan pekerjaannya hanya menarik becak dengan pendapatan yang amat kecil. Maka Kyai Anwar pun menjawab,”Pakailah uang itu untuk membelanjai keluargamu. Hukumnya sudah halal. Itu merupakan rejeki Allah bagimu.”

Orang itu termenung sejenak, lantas menjawab. “Maaf Kyai. Rasanya saya tidak sampai hati memakan uang ini sementara pemiliknya mungkin sangat berduka dan merasa kehilangan.”

“Kalau begitu, belanjakanlah di jalan Allah, misalnya untuk fakir miskin dan anak yatim,” ujar Kyai.

Akhirnya uang itu diserahkan kepada Kyai Anwar, agar beliau saja yang membagikan kepada mereka yang berhak.

Imam Hambali juga pernah dikunjungi seorang wanita salihah yang mengadu,”Seperti Tuan ketahui, saya adalah ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saya di malam hari saya merajut benang, karena di siang hari saya pergunakan untuk mengurus hal-hal lain. Karena saya tak mampu membeli lampu, pekerjaan itu selalu saya lakukan manakala terang bulan.”

Imam Hambali mengangguk-angguk penuh rasa kasihan. Ia adalah seorang ulama kaya yang dermawan. Sudah tergerak hatinya hendak memberikan sedekah kepada wanita itu, namun segera diurungkannya dulu karena wanita itu keburu melanjutkan pengaduannya.

“Pada suatu hari ada kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak dan sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka saya merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu. Tetapi sesudah selesai, saya bimbang. Apakah hasilnya kalau saya jual, boleh saya makan? Sebab saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tak lain dari uang rakyat.”

Imam Hambali terpesona oleh kemuliaan wanita yang begitu jujurnya di tengah masyarakat serba bobrok dan kebanyakan hanya memikirkan kesenangan semata, tanpa peduli halal-haram yang mereka nikmati. Padahal jelas, wanita itu sengsara dan amat melarat. Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Hambali bertanya,”Siapakah engkau sebenarnya?”

Dengan suara serak akibat penderitaannya yang berkepanjangan, wanita itu mengaku. “Saya adalah adik perempuan Basyar al-Hafi, yarhamullah…”

Imam Hambali makin terkejut. Basyar al-Hafi adalah gubernur yang sangat  adil dan dihormati rakyat semasa hidupnya. Rupanya pangkat tinggi itu tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan sanak familinya, sampai adik kandungnya pun tetap hidup dalam keadaan miskin.

Dengan berat hati Imam Hambali menjawab,” Pada masa ini, ketika orang lain sibuk memupuk kekayaan, kalau perlu dengan menggerogoti uang negara dan membebani rakyat jelata, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau. Sungguh, sehelai rambut engkau yang terurai dari jilbab engkau jauh lebih mulia dibandingkan dengan berlapis-lapis serban yang kupakai serta berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.  Demi Allah, untuk wanita semulia engkau, hasil rajutan itu haram kau makan meskipun sebenarnya bagi kami tidak apa-apa sebab yang kau lakukan itu tidak merugikan perbendaharaan negara.”

Pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz ada seorang perampok besar tertangkap dan diadili di depan hakim. Ketika hukuman sudah dijatuhkan, perampok itu minta menghadap khalifah. Mula-mula seluruh petugas keberatan, tetapi atas perkenan Khalifah, perampok itu diberi waktu untuk bertemu muka dengan pemimpin negara yang terkenal jujur dan adil tersebut.

“Ada perlu apa lagi, hai perampok nista? Bukankah engkau sudah terbukti bersalah dan sudah dijatuhi hukuman secara adil?” Khalifah menghardik.

Perampok itu menjawab,”Betul, Tuan. Hukuman sudah dijatuhkan dan keadilan sudah ditegakkan sesuai dengan kesalahan saya. Namun, keadilan itu baru berdiri di atas satu kaki dan belum sempurna.”

“Apa maksudmu?”

“Dari sisi hukum yang kelihatan, memang saya harus dipenjarakan. Tetapi dari sisi kebenaran, orang-orang yang saya rampok harus digantung,” kata Si Perampok.

“Coba jelaskan perkataanmu,” kata Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang tak suka berbaik-baik dengan kejahatan itu.

“Saya hanya mencuri harta para pejabat negara yang kekayaannya melebihi jumlah gaji yang diberikan oleh pemerintah. Kalau tidak percaya, silakan hitung gaji mereka dan bandingkan dengan kemewahan yang mereka nikmati.”

Khalifah tercenung. Ia kemudian memerintahkan para petugasnya untuk menyelidiki kekayaan orang-orang berpangkat, yang uangnya diambil perampok itu. Ternyata betul. Harta mereka tidak sepadan dengan pendapatan yang sah. Berarti mereka telah melakukan korupsi atau kejahatan lainnya, dan pasti merugikan rakyat. Maka perampok itu dihadapkan kembali ke istana.

Khalifah berkata,”Memang benar tuduhanmu. Pembesar-pembesarku telah berbuat curang. Mereka telah dijebloskan ke dalam sel, sehingga engkau sekarang bebas dari hukuman.”

Perampok itu, anehnya, malah menolak. “Tidak, saya tetap minta dihukum.”

Khalifah mendesak,” Mengapa?”

“Sebab saya telah mencuri waktu Tuan untuk kepentingan pribadi saya. Padahal, selaku Khalifah, waktu Tuan adalah untuk kepentingan negara, kecuali di luar masa tugas Tuan.”

Mendengar jawaban tersebut, Khalifah kian terpesona oleh kepribadian perampok yang jujur tersebut. Dipenjaralah si perampok beberapa lama. Setelah bebas, ia diangkat menjadi orang kepercayaan Khalifah Umar, dengan tugas mengurusi dan mengawasi berbagai penyelewengan di pemerintahan Umar. [dsy]

Dari “Hikmah Ketulusan”, KH Abdurrahman Arroisi, Penerbit Remaja Rosdakarya, 1990

Back to top button