POTPOURRI

Indonesia, Benarkah Berawal dari ‘Hindunesia’, Kepulauan Hindu?

Menurut Denys Lombard dalam “Nusa Jawa Silang Budaya” jilid 3, Thomas Standford Raffles memang gemar mengangkat topik ‘Indianisasi’ ini. Mungkin untuk lebih mengaitkan Jawa dengan kemaharajaan “Hindia” Inggris. Memang, saking ‘dekatnya’ Indonesia dengan India, usai merebut Yogyakarta pada 1812, beberapa perwira Inggris, di antaranya Subadar atau Kapten Dhaugkul Sing, terkejut melihat Jawa adalah ‘Tanah Brahma’ dan sunan penguasanya adalah keturunan Rama. Dengan dukungan tersembunyi dari Keraton Surakarta, mereka merumuskan gagasan pemberontakan terhadap orang Inggris, demi memulihkan ‘kekuasaan Hindu’.

JERNIH— Pada 1820, seorang Inggris bernama George Samuel Windsor Earl pernah melontarkan dua nama yang dianggapnya layak diberikan kepada rangkaian kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, yakni ‘Hindunesian’ dan ‘Malaynesian’. Nama pertama diusulkannya berdasarkan kenyataan kuatnya unsur Hinduistis yang tampak di Pulau Jawa, yang saat itu dikuasai Inggris.

Lebih jauh, pada tahun 1850 muncullah nama “Indonesia” untuk pertama kalinya secara ‘resmi’, di sebuah majalah ilmiah tahunan, “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” (JIAEA), yang terbit di Singapura. Penemu nama itu dua orang Inggris: James Richardson Logan dan—lagi–George Samuel Windsor Earl.

Mengapa nama itu yang dipilih setelah sekian tahun berselang? Konon, karena nama Hindia—nama wilayah Nusantara saat itu—sering tertukar dengan nama tempat lain. Karena itu, keduanya berpikir perlu pemberian nama tersendiri. Earl mengusulkan dua nama: Indunesia—dari Hindunesia, atau Malayunesia. Earl sendiri memilih Malayunesia. Sedangkan Logan yang memilih nama Indunesia. Belakangan, Logan mengganti huruf “u” dari nama tersebut menjadi “o”. Jadilah: Indonesia.

Nama itu yang kemudian dipopulerkan seorang etnolog Jerman, Adolf Bastian, melalui bukunya, “Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels dan Die Volkev des Ostl Asien” (1884).

Dari sejarahlah kemudian kita tahu bahwa unsur kebudayaan Hindu atau India-lah yang menjadi sumber awal kelahiran nama Indonesia. Hubungan budaya sekuat itu tentu bersumber kepada hubungan sejarah yang terletak jauh di masa lampau. Tanah Air dan bangsa kita memang pernah menerima dan mengalami persentuhan budaya dari India. Yang kemudian banyak dipersoalkan para ahli adalah dengan cara bagaimana sentuhan itu terjadi.

Ada (ahli) yang menampilkan kelompok ksatria penakluk, ada yang menampilkan kelompok agamawan atau Brahmana alias pendita kelana, ada yang menampilkan kelompok pedagang yang aktif menularkan agama anutannya kepada masyarakat relasi mereka di tanah seberang. Ada pula yang mempertemukan raja-raja Indonesia dengan para pandita India lewat undangan yang disampaikan dengan perantaraan kaum saudagar langganannya.

Bahkan Prof Poerbatjaraka dalam bukunya “Kepustakaan Jawa” berbicara tentang ‘sinyo-sinyo’ dan ‘noni-noni’ Hindu yanh lahir dari perkawinan antara pria India dengan perempuan Indonesia saat itu.   

Namun ada dua hal pokok yang disepakati para ahli. Pertama, jejak kebudayaan Hinduistis yang terdapat di Indonesia itu, terutama di Jawa, menunjukkan karakter ‘selera tinggi’ yang di India pun hanya dimiliki kelompok Brahmana. Kedua, sentuhan budaya yang menjalarkan arus Hinduisasi itu terjadi di sepanjang jalur perdagangan internasional yang terbangun saat itu. Jadi, hubungan daganglah yang menjambatani peristiwa persentuhan budaya itu.

Van Leur dalam bukunya,”Indonesian Trade and Society” mengemukakan bahwa lembaga-lembaga perdagangan waktu itu bersifat commenda. Di satu pihak terdapat pemilik barang yang pada umumnya terdari dari para penguasa dan pembesar pelabuhan; di pihak lain ada para pedagang yang bertindak sebagai penjaja (padler).

Namun kisah awal Hinduisasi itu tetap kabur karena sumber otentik yang mengungkapkan hal itu memang tidak ada. Prof Poerbatjaraka dalam disertasinya,”Agastya in den Archipel” (1921) mengemukakan bahwa lakon wayang yang mengisahkan kepergian Bambang Kumbayana dari Negeri Atas Angin ke Nusa Jawa, sebenarnya berkaitan erat dengan masa awal sentuhan budaya Hindu di Nusantara. Menurut legenda yang dikenal di India selatan dan Bali, penyebaran agama Hindu di daerah-daerah seberang (luar India) dilakukan oleh Maharesi Agastya alias Resi Kumbayoni. Tangan kini sosok wayang Kumbayana yang kaku itu adalah tiruan dari tangan kiri patung Agastya yang selalu menenteng kendi air suci. Pada wayang Kumbayana, kendi itu dihilangkan untuk keleluasaan gerak.

Pustaka Rajyarajya i-Bhumi Nusantara” yang disusun Pangeran Wangsakerta  mengisahkan proses Hinduisasi penduduk Jawa sebagai berikut:

“Dalam awal tarikh Saka datang orang-orang dari barat, yaitu dari negeri Singa (Srilangka), Salihwahana dan Benggala di bumi Bharatawarca (India).  Mereka datang dengan perahu. Mula-mula mereka menuju Jawa Timur, kemudian ke Jawa Barat karena kegiatan perdagangannya dengan penduduk asli. ‘Pribumi’ di sini asal-usulnya juga orang-orang pendatang dari kawasan benua utara yang leluhurnya tiba di sini ratusan tahun lebih dulu….”

“Para pendatang dari India itu ada juga yang mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkannya kepada penduduk di desa-desa. Mereka mengajarkan pujaannya yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa, yang disebut Trimurticwara. Juga masih banyak dewa lain yang dipuja selain itu. Walaupun demikian mereka tidak saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya karena mereka berhasil menemukan cara yang tepat…”

“Penduduk di sini keturunan kaum pendatang juga. Sejak dulu merejka memuja roh, api, bulan, matahari dan sebagainya. Kaum pendatang dari India, yang menguasai lebih banyak ilmu itu tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di sini. Dengan cara demikian mereka tidak mengalami kesulitan untuk mempelajarinya. Pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewi Agni, pemujaan Matahari disamakan dengan pemujaan Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan seterusnya. Adapun pemujaan roh-besar disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa atau Hyang Brahma, atau pemujaan Trimurti. Tak lama kemudian banyaklah penduduk di sini yang memeluk agama baru itu…”

Kitab “Pusaka Rajyarajya” kemudian bercerita tentang datangnya tokoh Dewawarman dari India.  Di sini ia bersahabat erat dengan penduduk pesisir Jawa Barat, Nusa Api (Krakatau) dan pesisir selatan Pulau Sumatera. Penghuku atau penguasa daerah pesisir Jawa Barat saat itu adalah Aki Tirem, alias Aki Luhur Mulya. Putrinya bernama Pohaci Larasati, yang kemudian diperistri Dewawarman. Dari tokoh Dewawarman inilah kemudian berkembang konsep kerajaan, yang berawal dan bersumber kepada tradisi India.

Menurut Denys Lombard dalam “Nusa Jawa Silang Budaya” jilid 3, Thomas Standford Raffles memang gemar mengangkat topik ‘Indianisasi’ ini. Mungkin untuk lebih mengaitkan Jawa dengan kemaharajaan “Hindia” Inggris. Memang, saking ‘dekatnya’ Indonesia dengan India, saat itu, usai merebut Yogyakarta pada 1812, beberapa perwira Inggris, di antaranya Subadar atau Kapten Dhaugkul Sing, terkejut melihat Jawa adalah ‘Tanah Brahma’ dan sunan penguasanya adalah keturunan Rama. Dengan dukungan tersembunyi dari Keraton Surakarta, mereka merumuskan gagasan pemberontakan terhadap orang Inggris, demi memulihkan ‘kekuasaan Hindu’. Pemberontakan itu gagal, tetapi peristiwa itu perlu diberi tempat khusus dalam mitos Indianisasi.

Hal lain yang selalu dikaitkan sebagai bukti eratnya kaitan budaya dengan India, menurut Lombard, aturan-aturan persajakan kakawin kuno hampir sama dengan yang dipakai dalam persajakan Sansakerta dan memainkan huruf panjang dan pendek, sedangkan bahasa Jawa, seperti juga bahasa-bahasa Nusantara lainnya, tidak mengenal perbedaan ini.

Pujangga India pemenang Nobel, Rabindranath Tagore, bahkan pernah menyempatkan diri datang ke Jawa, pada 1930, untuk melihat dengan mata kepala sendiri. Ditinggalkannya sebuah cerita menarik dengan catatan bahwa “ia memang merasakan kehadiran India di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh menemukannya kembali.”

Baru pada 1942, mulailah berkembang penentangan paham Indianisasi ini, terutama dikomandoi Sutan Takdir Alisjahbana, yang sebagaimana Soekarno, tak mau menerima gagasan ‘Indianisasi’ itu untuk bangsa yang bakalan lahir kemudian: Indonesia.

Paham Indianisasi inilah yang seringkali membuat terjadinya kesalahan pikir (fallacy). Misalnya, menganggap bahwa Padjadjaran atau Kerajaan Sunda sepenuhnya, dari awal hingga hilang, adalah kerajaan Hindu. Banyak ahli sepakat bahwa Tarusbawa, pendiri Kerajaan Sunda setelah memindahkan ibukota Kerajaan Tarumanegara, adalah pemeluk Hindu. Dengan demikian, kerajaannya pun adalah kerajaan Hindu.

Namun, Prabu Wretikandayun, penguasa kerajaan Galuh, pada waktu yang tak berselang lama, memerdekakan Galuh dari Kerajaan Tarumanagara—yang sudah jadi Kerajaan Sunda. Putranya, Sempakwaja, bagi sebagian orang diyakini sebagai Kean Santang, dan disebut-sebut pernah berguru kepada Ali bin Abi Thalib. Tentang hal ini, kita akan ungkap lain kali. [dsy]  

Sumber : –“Sejarah Jawa Barat”, Saleh Danasasmita dkk

               –“Nusa Jawa Silang Budaya”, Denys Lombard, jilid 3

Back to top button