Ken Setiawan: Kasus Terorisme Turun, Intoleransi dan Radikalisme Naik Drastis
Jelang pilpres 2024, kelompok intoleransi dan radikalisme akan dimanfaatkan oleh aktor politikus busuk yang akan menggunakan politisasi agama untuk ambisi kekuasaan. Mereka itu simbiosis mutualisme saling memanfaatkan.
JERNIH-Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengapresiasi kinerja kepolisian terkait penindakan pelaku terorisme, namun Ken mengkritik minimnya pencegahan Intoleran dan radikalisme bahkan cenderung abai karena dianggap tidak membahayakan sehingga akhirnya kasus intoleransi dan radikalisme meningkat drastis.
Kehidupan kebangsaan dan keberagamaan kini mulai terancam oleh kelompok kelompok yang intoleran dan radikal sebab sikap dan paham radikal yang berkembang berpotensi menjadi gangguan terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat dan telah mencederai serta menodai martabat bangsa ini.
Ken tidak melihat adanya prioritas pemerintah dan aparat dalam hal pencegahan tentang bahaya intoleransi dan radikalisme, fokusnya saat ini dinilai hanya dipenindakan saja, sementara pencegahan sangat minim.
Hal ini ibarat sebuah pohon, ketika buahnya selalu di petik sementara akarnya tetap dibiarkan maka pohon itu akan tetap berbuah setiap musim.
Begitu juga seperti kasus terorisme, pelaku terorisme ditangkap tapi akar pemikiran intoleran dan radikalisme dibiarkan dan tidak dianggap bahaya oleh negara ini, padahal itu adalah pintu gerbang dan selangkah lagi mereka menjadi pelaku terorisme.
Pemerintah juga saat ini hanya fokus memperhatikan mantan kombatan radikal yang pernah di penjara dengan kasus terorisme, sementara mantan radikal seperti mantan NII yang justru habis habisan hartanya karena telah digunakan untuk infak sampai sekarang sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
Bahkan dapat dibilang, bantuan kepada mantan terorisme sampai berlebihan, kementerian dan lembaga malah berlomba lomba membantu para mantan narapidana teroris, termasuk jaminan usaha dan pendidikan keluarganya.
Sementara mantan radikal yang belum pernah dipenjara dengan kasus terorisme tidak diperhatikan, padahal mereka seperti buah yang matang, tinggal petik, dan faktanya kelompok inilah yang akhirnya di petik oleh kelompok seperti JI, JAD dan lainya untuk menjadi teroris.
Ken menyadari bahwa dalam UU nomer 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, bahwa yang bisa ditindak adalah tindakan terorisme, sementara pahamnya belum bisa ditindak. Hal inilah yang akhirnya membuat subur paham intoleransi dan radikalisme karena belum ada payung hukum yang menjerat mereka, selalu dalam argumentasi mereka menggunakan alasan demokrasi dan kekebasan berpendapat.
Apalagi jelang pilpres 2024 Ken yakin kelompok intoleransi dan radikalisme akan dimanfaatkan oleh aktor politikus busuk yang akan menggunakan politisasi agama untuk ambisi kekuasaan, mereka itu simbiosis mutualisme saling memanfaatkan, bila dibiarkan maka akan membuat negara ditidak aman karena kelompok tersebut menghalalkan segala cara termasuk produksi berita hoax untuk mencapai tujuanya.
Fatalnya kasus intoleransi dan radikalisme atas nama agama di Indonesia saat ini karena belum ada payung hukum yang bisa menindaknya, paling hanya bisa ditindak dengan UU ITE pun saat ini masih tebang pilih dan bisa diinterfensi oleh massa.
Sebagai contoh pengina negara Palestina langsung ditangkap, sementara yang menghina negara Indonesia bahkan menghina presiden dengan caci maki hujatan dan ujaran kebencian dibiarkan merajalela.
Jadi akhirnya oleh politisi busuk seperti membuat ternak radikal, kalau ternak berarti ada yang memelihara, membiayai, memberi makan dan memanfaatkan, ini adalah hal yang jahat sekali karena politisi busuk berambisi kekuasaan dengan berkedok agama.
Bersama sahabatnya di NII Crisis Center, Ken menyadari bahwa kapasitas dirinya bukan siapa siapa dan bukan apa apa, saat ini yang dilakukan hanya menerima laporan dari masyarakat dan mendampungi korban gerakan radikal serta berbuat dengan kegiatan positif sesuai kemampuan di lingkungan terdekat agar terhindar dari bahaya intoleransi dan radikalisme.