POTPOURRI

Ketika Wali Sufi Ibrahim bin Adham Bersyukur Karena Dipukuli

“Karena kambing lebih memilih tidur di awal petang dan selalu bangun sebelum fajar. Di saat itulah ia mendapati waktu yang penuh dengan rahmat, hingga akhirnya turunlah berkah kepadanya.

JERNIH—Suatu ketika wali sufi Ibrahim bin Adham terlibat dalam dialog dengan seorang kafir zindiq yang tidak percaya akan eksistensi barokah. Di hadapan Ibrahim, orang itu berkata bahwa apa yang disebut keberkahan (barokah) tak lebih dari sekadar mitos.

Mendengar hal itu Ibrahim bertanya kepadanya,”Pernahkah Anda melihat anjing dan kambing?”

“Tentu,” jawab orang itu.

“Mana dari dari keduanya yang lebih banyak melahirkan anak-anak mereka?”

“Anjing lebih banyak melahirkan. Mereka bisa melahirkan bahkan sampai tujuh anak sekaligus. Sedangkan kambing hanya mampu melahirkan paling banyak pun tiga ekor anak kambing,” jawab orang itu.

“Coba perhatikan lagi di sekelilingmu, manakah yang lebih banyak populasinya antara anjing dan kambing?” tanya Ibrahim.

“Aku lihat kambing lebih banyak. Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak dibandingkan anjing.”

“Bukankah kambing itu sering disembelih? Entah untuk dijual dagingnya di pasar, untuk kebutuhan menjamu tamu, menjadi hewan korban saat Idul Adha, mengaqiqahi  seorang anak, atau sekadar pesta kambing guling?”tanya Ibrahim. “Tapi yang ajaib, spesies kambing tidak kunjung punah, bahkan jumlahnya rata-rata melebihi anjing.”

“Iya, benar betul sekali,” kata orang tersebut.

“Itulah gambaran keberkahan,” kata Ibrahim.

“Jika tamsilnya demikian, mengapa justru kambing yang dikatakan mendapat berkah, bukan anjing?” tanya orang kafir tersebut.

Ibrahim bin Adham menutup dialog di antara mereka dengan jawaban demikian: “Karena kambing lebih memilih tidur di awal petang dan selalu bangun sebelum fajar. Di saat itulah ia mendapati waktu yang penuh dengan rahmat, hingga akhirnya turunlah berkah kepadanya. Beda halnya dengan anjing, ia doyan menggonggong sepanjang malam, tetapi di saat menjelang fajar ia malah pergi tidur melewatkan saat-saat turunnya kucuran rahmat, sehingga ia pun tidak kebagian berkah.”

                                                **

Dalam kitab “Al-Mawaidh al-‘Ushfuriyyah” yang ditulis Syekh Muhammad bin Abu Bakr al-Ushfury, disebutkan, sebelum berhijrah menjadi seorang ahli ibadah, wali sufi Ibrahim bin Adham memiliki 72 budak. Semua budak itu ia merdekakan begitu bertobat. Suatu hari, Ibrahim bertemu dengan bekas budaknya, seorang peminum arak kelas berat. Barangkali karena mabuk,  bekas budaknya itu tidak mengenali mantan majikannya.

Dalam keadaan sempoyongan karena mabuk berat, si bekas budak itu meminta Ibrahim mengantarnya pulang ke rumah. Ibrahim tak membawa bekas budaknya itu ke rumahnya, melainkan dibawanya ke pekuburan. Saat sampai, bekas budak itu marah dan memukul Ibrahim.

”Aku sudah bilang, antarkan aku ke rumahku. Mengapa engkau malah membawaku ke kuburan?” kata bekas budak itu sengit.

Ibrahim menjawab, ”Wahai orang tolol, inilah rumahmu yang hakiki. Rumah-rumah yang lain hanyalah fatamorgana!”

Si pemabuk itu tak mempedulikan ucapan Ibrahim. Ia marah dan memukuli sang Wali Sufi. Namun bukannya melawan, atau setidaknya marah, Ibrahim malah terus berdoa setiap kali pukulan bekas budaknya itu menghantam tubuhnya.

”Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu,” kata Ibrahim setiap kali sebuah pukulan ia rasakan.

Seorang bekas budak Ibrahim yang lain melihat peristiwa itu dan berusaha menghentikannya. “Hai Fulan, apa yang kamu lakukan? Mengapa  kamu memukuli majikan yang telah memerdekakanmu?”

Pemabuk itu bertanya, “Memang siapa orang ini?”

“Dia adalah Ibrahim bin Adham.”

Kaget dengan apa yang telah dilakukannya, pemabuk berat itu menangis meminta maaf. Ia bertanya, mengapa Ibrahim justru mendoakannya setiap kali ia pukuli.

“Bagaimana aku tidak  mendoakanmu,” kata Ibrahim,”Sementara engkau telah memberiku jalan masuk Sorga dengan pukulan dan penganiayaanmu kepadaku?” [ ]

Back to top button