Kevin W. Fogg: Perjuangan Revolusi Indonesia Adalah Perjuangan Islam
Dalam bukunya,”Indonesia’s Islamic Revolution” yang diterbitkan Cambridge University Press, 2020 lalu, Fogg meninjau ulang Revolusi Indonesia (1945-49) sebagai perjuangan Islam, yang di dalamnya kaum Muslim taat, yang merupakan separuh lebih populasi, berperang dan terorganisasi secara relijius. Para pejuang Muslim di medan perang teryakinkan dengan seruan para pemimpin mereka bahwa mereka sedang menjalankan Perang Sabil.
JERNIH—Meski secara common sense pun sebenarnya bisa dilihat begitu utamanya peran umat Muslim dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, entah mengapa, seringkali muncul lontaran yang mempertanyakan peran umat Islam dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Isu tersebut sering muncul-tenggelam, seolah untuk membuat warga negara berkali-kali mempertanyakan sumbangan umat Islam bagi keberadaan Tanah Airnya sendiri saat ini.
Barangkali hal itu juga disebabkan imaji tentang kemerdekaan Indonesia yang seringkali dicitrakan sangat nasionalis-sekuler, yang dirayakan setiap 17 Agustus. Hanya sesekali, itu pun melalui media-media massa Muslim yang terbatas, dimunculkan ingatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus itu bertepatan dengan hari dan bulan sakral dalam ajaran dan tradisi Muslim: bulan Ramadhan, dan hari Jumat.
Meski peran signifikan umat Islam Indonesia itu tidak dibantah sejarawan mana pun, baru Kevin W Fogg, ahli sejarah Asia Tenggara di Asia Center Universitas Carolina Utara dan sebelumnya bekerja di Pusat Studi Islam Universitas Oxford, yang menyatakan secara eksplisit bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya identik, melainkan sejatinya perjuangan Islam.
Dalam bukunya,”Indonesia’s Islamic Revolution” yang diterbitkan Cambridge University Press, 2020 lalu, Fogg meninjau ulang Revolusi Indonesia (1945-49) sebagai perjuangan Islam, yang di dalamnya kaum Muslim taat, yang merupakan separuh lebih populasi, berperang dan terorganisasi secara relijius. Para pejuang Muslim di medan perang teryakinkan dengan seruan para pemimpin ereka bahwa mereka sedang menjalankan Perang Sabil.
Hanya di kancah politik, para pemimpin nasional gagal memasukkan Islam ke dalam dokumen-dokumen pendirian Indonesia—tapi mereka terus memberikan preseden-preseden revolusi yang terus berdampak pada negara sampai saat ini. Studi Fogg tentang perang anti-penjajah negeri berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini, diakui telah menunjukkan bagaimana Islam berfungsi sebagai ideology revolusi pada era modern.
Dalam pandangan Fogg, revolusi Islam Indonesia adalah revolusi dalam dua pengertian. Pertama, dalam memandang perang kemerdekaan, kaum santri yang berjuang melawan Belanda memahami ini sebagai perjuangan untuk tujuan-tujuan Islam dan mengorganisasi diri dengan cara-cara Islam. Jadi, perubahan negara yang terjadi melalui perjuangan militer memiliki cita rasa islami bagi sebagian partisipan yang lumayan besar (antara seperempat sampai setengah rakyat Indonesia, jika merujuk data kaum santri pada 1950-an).
Kedua, dalam memandang revolusi politik dengan berdirinya sebuah negara baru, ada transformasi-transformasi fundamental dalam hal Islam memengaruhi politik dan dalam hal politik memengaruhi kehidupan Islam. Transformasi-transformasi ini menyebabkan sebuah revolusi dalam praktik dan pemahaman Islam di Indonesia, mengonsolidasi struktur-struktur untuk menerapkan ortodoksi yang didefinisikan negara, mendahulukan non-ulama sebagai pemimpin politik untuk masyarakat Muslim, dan memecah kesatuan politik kaum santri. Para pemimpin kaum santri yang terkemuka dalam revolusi politik juga menganut pemahaman Islam yang berbeda dengan kaum santri yang terlibat di tingkat akar rumput; mereka menekankan rasionalitas dan modernitas.
Mobilisasi dengan agama itulah, yang tidak saja terjadi di Aceh pada saat perang dengan (Kompeni) Belanda di abad 19 hingga awal abad 20. Mobilisasi agama pula yang terjadi pada Resolusi Jihad di kalangan santri di Surabaya, pada saat armada imperealis Belanda datang dengan membonceng kekuatan sekutu setelah kelompok itu memang dalam PD II dan bermaksud melucuti kekuatan bersenjata lawannya.
Wajar bila kajian Fogg disambut banyak intelektual, terutama intelektual di Asia Tenggara. Muhamad Ali, professor madya studi agama dan direktur Program Studi Timur Tengah di University of California, Riverside, menyatakan, buku Fogg merupakan kajian sejarah teks dan lisan tentang posisi para ulama dan aktivis akar rumput kelompok Muslim yang jumlahnya begitu besar, dalam mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan negara Republik Indonesia yang baru lahir.
“Sebagai kritik terhadap pendekatan sekuler dan radikal kiri—yang selama ini berkembang, red Jernih—buku ini menawarkan peran penting pemahaman dan aktivisme keagamaan dalam Revolusi Indonesia,” tulis Muhamad Ali.
“Buku ini mengajak kita untuk memikirkan kembali hubungan antara kesalehan dan revolusi; sebuah tema yang tetap penting dalam lanskap politik Indonesia. Revolusi berdampak pada politik Islam, sama halnya dengan Islam berdampak pada Revolusi,” tulis Dr Faizah binte Zakaria, asisten professor, School of Humanities di Nanyang Technological University.
“Kevin Fogg bisa menemukan sesuatu yang terlewatkan para sejarawan lain, di antaranya tentang bagaimana gerakan-gerakan Islam di Indonesia membangun ‘ideologi Revolusi’, dan bagaimana ideologi itu menjadi kekuatan di akar rumput,” tulis Ahmad Najib Burhani, professor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Pengamat politik Fachry Ali mengomentari karya Fogg ini dengan antusias. “Karya Fogg ini menukik,” tulisnya. “Dengan pendekatan ‘antropologi jiwa’ Kevin mengungkapkan bagaimana rakyat kebanyakan melihat Revolusi Nasional 1945-49 lebih sebagai ungkapan ideology politik dalam motivasi Islam.” Ini, kata Fachri, berbeda dengan sikap elite baik terhadap Islam maupun terhadap Revolusi itu sendiri.
“Secara sarkasme perbedaan ini dapat diungkapkan antara Tan Malaka dan Stalin. Sementara Tan Malaka melihat potensi revolusioner pada Islam, Stalin justru menyepelekannya.”
Sementara dari kalangan santri, Ismail Fajrie Alatas yang saat ini merupakan assisten professor di Middle Eastern and Islamic Studies New York University, mengatakan bahwa Fogg berhasil menunjukkan bahwa kaum santri di Indonesia memahami revolusi sebagai perjuangan relijius. [dsy]