Kwitang, dari Permukiman Keturunan Arab Hingga Pusat Gereja Protestan
Nama Kwitang juga tidak bisa dipisahkan dari peran penerbit dan toko buku Gunung Agung, sebelumnya bernama Thay San Kongsi. Perusahaan ini didirikan secara resmi pada 1953, dipelopori H. Masagung.
JERNIH—Hubungan Kampung Kwitang dengan Kampung Kalipasir di seberangnya, di masa lalu dilakukan melalui eretan. Ini sarana transportasi berupa perahu atau getek yang ditarik tambang untuk menyeberang dari dan ke sisi sungai lain.
Dulu lebar Sungai Ciliwung mungkin dua kali sekarang. Sekitar 50 meter dari eretan terdapat sebuah jembatan, tempat lewatnya trem listrik yang menghubungkan Menteng dan Kramat. Kedalaman Ciliwung pun masih tinggi, sehingga bila kita meloncat dari ketinggian lima meter belum akan menyentuh dasamya.
Di tepi sungai, dekat jembatan trem, terdapat pangkalan bahan-bahan bangunan milik Baba Hidup alias Phang Tjeng Yam. Perusahaan bangunan ini menyuplai bangunan pintu gerbang untuk Pasar Gambir. Tiap tahun dia membikin gerbang dari berbagai bentuk khas daerah Nusantara.
Tidak cuma permukiman Tionghoa dan Arab, peninggalan Belanda juga terdapat di sini. Gereja Kristen Protestan di Jalan Kwitang No. 28, dibangun pada 1877 oleh Zending dari Belanda. Bangunan gereja yang ada sekarang didirikan pada 1886 oleh pendeta kedua, D. Huysing. Bagian muka gereja dibangun pada 1924 dan pernah dipugar pada 1960.
Nama Kwitang juga tidak bisa dipisahkan dari peran penerbit dan toko buku Gunung Agung, sebelumnya bernama Thay San Kongsi. Perusahaan ini didirikan secara resmi pada 1953, dipelopori H. Masagung. Pada mulanya, usahanya terbatas pada perdagangan dan penerbitan buku, kemudian menjangkau alat perkantoran dan sekolah. Kantor pusat yang merupakan cikal bakalnya terletak di Jalan Kwitang No. 8, Jakarta 10420.
Lahir pula di Kwitang penerbit buku Kristen pertama dan tertua di Indonesia, yang sekarang bernama BPK Gunung Mulia. Sejarah pendiriannya dimulai pada 1946 ketika para tokoh Kristen merasakan kebutuhan akan bacaan dalam bahasa Indonesia, lalu mendirikan Noodlectuurcommissie voor Kerk en Zending (Komisi Darurat untuk Gereja dan Zending) di Jakarta.
Akhir 1949 komisi darurat tersebut berubah menjadi Yayasan Badan Penerbit Kristen dan berkantor di Jalan Kwitang No. 22. Mulai 1982 seluruh badan usaha itu diubah secara resmi menjadi perseroan terbatas yang dimiliki dan dikelola oleh Yayasan BPK Gunung Mulia. Nama “Gunung Mulia” dipilih untuk mengenang jasa Prof. Dr. Mr. Todung Sutan Gunung Mulia, seorang tokoh nasional dan tokoh Kristen terkemuka. [ ]
Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, mantan wartawan ‘Mutiara’, di blog yang bersangkutan.