Lama Malik terdiam, merasakan kehangatan pelukan ayahnya, sesuatu yang di masa kecilnya dulu rasanya tak pernah ia terima. Ia mendengar ayahnya menangis lirih.
Pengantar :
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—
Episode 19
Satu setengah hari adalah waktu yang diperlukan untuk berjalan kaki menempuh jarak Mekkah-Jeddah yang hanya 80-an kilometer itu. Bila pakai mobil, jarak itu bisa ditempuh kurang dari dua jam. Belum lagi menempuh 70 kilo, Malik menyerah. Demikian pula dua kawannya dari Aceh itu. Bahkan sebenarnya Malik pun menyerah karena mereka ibarat sapi mogok, tak mau lagi melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
“Kita naik bagal saja,” kata salah seorang di antaranya.
“Tak ada duit. Duitku tinggal berapa nih…” Malik merogoh saku celananya, menghitung uang yang tersisa.
“Biar aku yang tanggung. Saat kau tidur tadi aku cari penyewaan keledai. Sewanya ‘wahid singku’, seringgit seorang hingga Jeddah. Kupakai uangku. Sisanya 15 gulden masak sih nggak bisa sampai kau ke Medan dan aku ke Aceh, ke Blang Ara!” Jadilah akhirnya mereka bertiga menaiki keledai. Sekitar pukul 11 malam mereka pun sampai di Jeddah. Cukup lama juga Malik mencari Abdul Rauf, mengambil kopornya. Rauf sendiri terlihat sabar menungguinya berjam-jam hanya karena Malik memisahkan diri dari rombongan.
Tiga hari dua malam mereka beristirahat di Jeddah sambil menunggu kapal yang akan berlayar ke Indonesia. Pada hari ke-15, saat matahari baru meletik, kapal ‘Buitenzorg’ yang mereka tumpangi mendarat di Sabang. Sebagian orang turun, termasuk dua temannya yang akan pulang ke Aceh. Ketiganya sempat bertangisan saat berpisah. Entahlah, meski hanya mengenal kurang dari tiga pekan, kesulitan selama perjalanan membuat mereka merasa satu jiwa.
Di Sabang Malik pun sempat turun, menikmati kota Sabang, menikmati bagaimana orang-orang Sumatra bercakap-cakap setelah sekian lama hanya melihat bangsa-bangsa lain berbincang di antara mereka.
“Alhamdulillah, Allahu akbar,” Malik mendesis. Dihampirinya seorang penjual makanan, diambilnya sepotong kue timpan khas Aceh, dan dibayarnya. Malik merem melek merasai nikmat kue itu di lidahnya, membuat kedua temannya terbahak-bahak.
“Lagakmu, Malik. Macam sudah seabad saja tak ketemu kue negerimu,” kata seorang.
Dua orang itu memaksa mengepalkan dua lembar uang untuknya. “Buat kami sudah cukup. Berapalah ongkos ke Blang Ara,” kata mereka. Malik pun menerima. Memang dia juga benar-benar butuh.
Esok harinya Buitenzorg kembali berangkat menuju Belawan. Justru karena jarak sudah dekat, Malik dan para penumpang lainnya merasa kapal itu berjalan begitu lambatnya. Ia turun di Belawan tak beda dengan saat naik kapal ‘Karimata’ berangkat ke Jeddah dulu: sendirian, tanpa serban atau jubbah. Tak ada yang menjemput sebagaimana dulu pun ia tak diiringkan orang-orang. Ada juga yang persis sama, baik saat berangkat maupun pulang, Malik tetap saja tak berduit.
Bukan tiadanya penjemput yang menyiksa perasaan Malik. Namun aroma bumbu-bumbu Melayu yang menguar dari warung-warung sepanjang pelabuhan yang membuatnya tersiksa. Sekian lama tak bersua dengan rendang, gulai kepala ikan, tongkol sampadeh, cumi-cumi balado, sambal cabe hijau, kini harus mencium bau-bau merangsang selera makannya itu di saat kantongnya sudah kosong melompong. Malik sadar, ada dua lembar lagi uang di kantongnya. Tapi itu kan buat ongkos ke Padang Panjang.
Akhirnya anak muda itu galau. Bagaimana kalau ia beberapa lama di sini dulu, di Medan, mencari pekerjaan? Bukankah dengan begitu ia bisa makan makanan Melayu yang membuat air liurnya tak hanya terbit tetapi menetes-netes itu?
“Hai, Ajengan Malik!” sebuah suara berteriak memanggilnya. Malik terkejut dan menoleh.
Amir, ternyata, teman seperjalanannya saat berangkat dengan kapal Karimata! Malik melihat Amir berlari menghambur menghampirinya.
“Wah, apakabar Ajengan Malik yang telah bermukim lima tahun di Mekkah ini?” Tanya Amir. Mulutnya terbuka lebar, bukan hanya menyunggingkan senyum. Begitu pula kedua tangannya yang terbentang hendak memeluk Malik.
“Kabar baik,” kata Malik dengan senyum tak kalah lebar. Ia memeluk teman akrabnya itu.
“Ajengan Malik sudah merasa yakin untuk kembali.” Kepalang disindir, lebih baik Malik menyindir dirinya sendiri.
“Benar-benar istiqamah keyakinanmu, Malik,” kata Amir, diamat-amatinya Malik dengan serius. Ia sampai termiring-miring memandang Malik dari atas ke bawah, kiri-kanan. “Mana serbanmu? Pasti kan kau menolak paksaan syekhmu untuk beserban.”
“Begitulah,” jawab Malik. Lalu tawa keduanya pecah berderai.
Ah, Malik memang beruntung, Amir segera menawarinya makan.
“Aku baru..”
“Aaah, macam pada siapa saja kau, Malik. Ayo! Memangnya aku tak tahu kau dari tadi melirik-lirik warung makan itu? Ayo makan! Biar aku yang bayar. Ini kotaku. Tak akan kubiarkan temanku kelaparan di kotaku,” kata Amir. Ia setengah menyeret tangan Malik memasuki warung makan itu. Dalam hati kecilnya Malik kembali bersyukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Tahu. Sebab tentu saja Amir pun hanya bisa menduga dirinya benarbenar lapar atau tidak. Sebab yang tahu pasti hanya dirinya, dan Allah yang kian disadarinya jauh lebih dekat dibanding urat lehernya sendiri.
**
Bukan karena urusan uang yang tersisa itu terpakai buat makan bila kemudian Malik memilih tinggal di Medan, entah untuk berapa lama. Tetapi ia kembali berpikir, apa yang akan ia lakukan di Padang Panjang? Ia justru sudah punya rencana bila tetap bermukim di Mekkah, bekerja di percetakan Syekh Hamid. Sementara di Padang Panjang tak terpikir apa yang bisa ia lakukan.
Tetapi itulah rencana Allah, kadang tak ada orang bisa menduga. Di hari pertama Malik menginjakkan kaki seturun dari kapal di Belawan, tepat saat diajak Amir makan, matanya tertumbuk sebuah koran yang disediakan warung makan itu untuk para pelanggan menunggu makanan disajikan . ‘Pelita Andalas’, nama koran yang kemudian diambil dan dibacanya itu. Isinya menarik. Beberapa berita kepulangan rombongan jemaah haji dari Arab menjadi headline hari itu.
“Kau kenal pengurus koran ini, Mir?” tanya Malik menunjuk ‘Pelita Andalas’. Ia memang membaca keredaksian koran itu dipimpin seorang Belanda tua, Tuan J. Koning. Bukan dia yang bisa didatanginya, tentu. Tetapi ada satu nama lain di jajaran redaksi, M Junus Is.
“Itu kerabat ibuku. Tentu saja kenal.”
“Bawa aku menghadap dia, Mir. Bantu aku,” kata Malik. Ia berharap bisa menawarkan diri untuk bekerja di koran itu.
“Boleh. Tetapi kau yakin mau bekerja di koran? Upahnya tak banyak.”
“Itu lebih baik saat ini daripada tidak.”
Hari itu juga Amir membawa Malik menemui M Junus yang ternyata pimpinan sehari-hari koran di bawah usaha patungan dengan seorang Tionghoa itu. Junus dengan terbuka menerima tawaran Malik. Apalagi karena Amir yang sebetulnya ia minta menuliskan pengalamannya berhaji tak juga kelar menulis karena kesibukan lain.
“Jadi kau bertemu juga dengan Haji Agus Salim?” tanya Junus setelah Malik selesai menceritakan dengan singkat apa saja yang bisa ia tulis tentang pengalamnnya berhaji.
“Bahkan dengan Amir Faisal,” kata Malik, bangga.
“Baiklah,” kata Junus antusias. “Tulislah dalam bentuk serial beberapa tulisan. Satu di antaranya harus sudah selesai hari ini, untuk bisa terbit besok. Oh ya, untuk tulisan pertama kita anggap percobaan ya. Tak ada honor buatmu sementara. Tapi bisa kupesankan kopi susu dari warung Tionghoa di seberang jalan. Itu kopi susu terenak yang kau minum selama hidup.”
Malik tak begitu yakin, malah sempat terbersit di hatinya rasa kecewa. Tanpa honor? Lalu apa yang mesti ia makan tanpa uang honor menulis? Namun pengalaman mengajarkan Malik untuk tak pernah putus asa, apalagi berpikir bahwa apa yang dikerjakan itu sia-sia. “Buat sajalah dulu,” ia membatin. “Paling tidak semangkuk kopi susu terenak di dunia dan tempatku tidur malam ini sudah terjamin.” Malik pun menyanggupi.
Esoknya Malik benar-benar girang saat membaca tulisannya dimuat di halaman pertama Pelita Andalas. Bagaimana tidak bila tulisannya itu dimuat utuh dan lengkap.
“Kau hebat Malik,” kata M Junus memuji. “Sejak pagi aku menerima banyak telepon, juga dari Tuang Koning. Semua memuji caramu menulis. Mengalir, bertutur. Mereka minta kau menulis lagi, terus sampai pengalamanmu selama haji tandas kau ceritakan. Untung saja sejak awal aku memintamu menulis tulisan berseri ya.” M Junus tertawa. Malik senang mendengarnya. Tak sia-sia selama ini ia membaca beragam buku dari pelbagai pengarang, mencermati tulisan mereka dan belajar untuk tahu mana yang menyenangkan untuk dibaca, mana yang tidak.
“Tetapi sementara kau berpikir apalagi yang hendak kau tulis, ayo kutraktir kau minum kopi susu terenak di dunia!” M Junus menarik tangan Malik. Gayanya jelas menunjukkan dirinya tengah disaput kegembiraan. “Ayo Mir, sekalian!” katanya.
Siang itu Malik dan Amir ditraktir semangkuk kopi susu. Benar kata Junus, itu kopi susu terenak yang pernah ia minum!
Besoknya, juga lusa dan hari-hari berikutnya tulisan Malik menghiasi koran itu. Mulailah Malik menuai honor yang bisa dia pakai guna pembeli nasi, sikat, odol dan sabun. Kini Malik menolak dengan halus tawaran Amir untuk terus menginap di rumahnya. Tak enak rasanya terus menerus menyusahkan orang, meski orang itu ikhlas. Apalagi untuk bermalam M Junus mengizinkan Malik tinggal di kantor, atau sesekali bahkan di gedung percetakan kalau pimpinan koran itu memintanya mengecek ke sana.
Rupanya tulisan Malik dibaca dan mendapatkan perhatian Haji Muhammad Ismail Lubis, pengurus majalah Seruan Islam di Pangkalan Brandan. Orang itu menelepon langsung M Junus yang kemudian diserahkan kepada Malik. Malik meminta pertimbangan Junus terlebih dulu. Baru setelah diizinkan, ia pun menyanggupi permintaan Seruan Islam untuk menulis di sana.
Setiap hari Malik menulis buat Pelita Andalas. Namun ia pun tak henti menulis berbagai karangan untuk ‘Suara Muhammadiyah’, majalah yang dipimpin A. Abdul Aziz di Yogyakarta dan ‘Bintang Islam’ yang dipimpin KH Fachruddin. Tak hanya artikel, melainkan beberapa juga karangan fiksi. M Junus selalu memberinya izin.
“Asal bukan menulis buat koran harian, meski sebenarnya untuk harian pun kalau berjauhan letaknya, yang satu di Jawa, lainnya di Sumatra, ya boleh-boleh saja,” katanya. Pada saat para pelajar Islam di Yogya menerbitkan Majalah ‘Nibras’, Malik sudah langsung sebagai koresponden majalah itu di Medan.
Kian hari, semakin banyak koran dan majalah yang memintanya menulis buat mereka. Selama itu pula, bila waktunya memungkinkan, Malik tak pernah sekali pun menolak. Dari honor-honor itulah ia hidup. Dari situ pula ia bisa makan, menyewa kamar dan membeli buku-buku yang kian menambah sarat isi kepalanya.
Entah dari mana alamatnya didapatkan, karena bahkan mengabari ayahnya tentang kepulangannya pun tidak, Malik tiba-tiba menerima sepucuk surat dari kakaknya, Fatimah.
Dari Pekalongan kakaknya itu menyuruhnya segera pulang ke Padang Panjang, membantu ayah mereka. Malik membalas surat itu dengan sindiran. “Apa gunanya pulang? Orang-orang di kampung, bahkan ayah, belum tentu menerima saya pulang. Saya bukan orang alim yang mereka perlukan. Belum lagi saya malu, tunangan yang sejak kecil dijodohkan, kini sudah menjadi milik orang, menikah dengan saudagar kaya.” Demikian Malik menjawab.
Namun tampaknya surat itu sampai juga ke Haji Rasul. Suatu hari, saat ia tengah enakenak menulis, datanglah kakak iparnya, Sutan Mansur. Kakak iparnya yang sangat aktif di Muhammadiyah itu baru pulang dari Aceh, mendirikan Perserikatan Muhammadiyah cabang Aceh. Ia sengaja mampir di Medan, mencari alamatnya yang kini dengan mudah bisa ditemukan. Malik tak kuasa menolak. Ikutlah ia pulang dengan kakak iparnya itu.
**
Malik tiba di Padang Panjang hari Jumat pagi. Ayahnya tengah berada di teras rumah saat datang diiringkan kakak iparnya. Ayahnya sontak bangkit saat keduanya memasuki halaman.
Haji Rasul bergegas menjemput Malik, anak yang lama hilang itu. Ia harus mengakui kekerasan hati anak laki-laki tertuanya itu. Malik pun tak kalah bergegas, meraih tangan Haji Rasul dan menciumnya. Lalu tiba-tiba ia merasa tubuhnya hangat dipeluk.
Lama Malik terdiam, merasakan kehangatan pelukan ayahnya, sesuatu yang di masa kecilnya dulu rasanya tak pernah ia terima. Ia mendengar ayahnya menangis lirih.
“Mengapa kau tak memberi tahu? Tujuanmu berangkat ke Tanah Suci itu mulia. Kau telah menggantikan ayah, melunasi janji ayah untuk memberangkatkan kau ke Mekkah..”
“Ayah saat itu sedang susah, miskin. Gempa menghancurkan rumah kita.”
“Kalau memang itu, bukankah tak kayu jejang dikeping, tak emas bungkal diasah[1], Malik?” kata ayahnya.
“Tak apa, Ayah. Ibu pernah berkata, tatkala saya dilahirkan ayah berjanji untuk mengirimku belajar di sana selama 10 tahun. Bila kemudian itu tak bisa ayah tunaikan karena kemiskinan, tak apa. Saya telah menebusnya, meski tak bisa 10 tahun. Hanya setahun kurang.”
Ayahnya melepaskan pelukan, lalu membawa Malik dan kakak iparnya masuk rumah.
“Mana serbanmu, Malik? Mana jubah? Menurut adat kau seharusnya datang dengan serban dan jubah, baju ghamis. Pakaian itu tak hanya buatmu, melainkan buat pengobat hati orang-orang kampung karena kau telah menjadi haji dan berhasil pulang kembali.”
“Tak ada serban, Ayah. Tak ada jubah karena memang tak ada buat pembelinya,” kata Malik.
Penuh haru Haji Rasul membuka lemarinya. Mengubek-ubeknya sebelum mengeluarkan jubah warna anggur, lengkap dengan serban putihnya. Serban Halabi. “Pakailah,” katanya sambil menyerahkannya pada Malik. “Hanya ayah pakai kalau hari raya.”
Dengan pakaian itulah Malik berangkat shalat Jumat, diiringkan ayahnya. Sepanjang jalan orang-orang menyalaminya dan bertanya. Beberapa mencium tangannya, seorang yang baru pulang berhaji, sebagian mencium lehernya. Di belakangnya, Haji Rasul melihat dengan bangga. Air matanya menggenang, jatuh satu-satu sepanjang perjalanan kaki ke masjid.
Hari itu Malik didaulat ayahnya memberikan khotbah.
**
Hidup di Padang Panjang tak membuat Malik melupakan karier sebagai penulis yang telah dirintisnya di Medan. Ia tetap mengisi ‘Pelita Andalas’, juga berbagai surat kabar dan majalah lain yang memintanya. Saat beberapa teman yang dulu sama-sama mengelola ‘Tabligh Muhammadiyah’ memintanya kembali menghidupkan majalah itu, ia pun menyanggupi. Syaratnya, jangan dirinya yang ditaruh sebagai pemimpin redaksi.
Kehidupan lama menemani ayahnya berdakwah pun berjalan lagi. Kali ini, karena kesehatan Haji Rasul agak menurun, tak jarang ia menggantikan ayahnya itu berkeliling nagari, menempuh ngarai dan lembah. Tak jarang Malik pun harus bepergian keluar kota, keluar provinsi untuk berdakwah. Semua membuat namanya kian menjulang, di tataran nasional, apalagi di Minang.
Hari itu di meja kerja Malik sudah tergolek mesin tik yang sudah diberinya kertas dan lapisan kertas karbon. Ia sudah lama mencoba hendak menulis roman. Ditulisnya judul dari sebuah cerita yang telah lama menggedor-gedor kepalanya. “Di Bawah Lindungan Ka’bah”.
Namun tiba-tiba dirinya teringat bahwa besok adalah hari terakhir tenggatnya menulis sebuah artikel untuk ‘Pelita Andalas’. Segera diambilnya kertas yang sudah bertuliskan judul roman yang ada di kepalanya itu. Tidak dibuang, kertas itu masih bisa dipakai untuk banyak keperluan.
Ditulisnya judul artikel pesanan ‘Pelita Andalas’ itu dengan yakin. Sebaris di bawahnya Malik telah bersiap mengetikkan nama pengarang yang selalu dipakainya di berbagai artikel: Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namun saat jemarinya hendak menuliskan huruf ‘A’ setelah ‘H’ yang barusan ia ketik, Malik tertegun. Terbersit di kepalanya sebuah ide.
Mungkin tidak cemerlang, tapi setidaknya sandi asma itu terdengar enak dibacakan, selain pendek ditik.
Dengan kecepatan yang menunjukkan keyakinan dirinya, Malik mengetikkan sebuah kata: HAMKA.
[Selesai]
[1] Di saat terdesak, apa pun bisa digunakan atau dijual untuk meneruskan hidup.